Ratap Kuratap

Ratap Kuratap

 

Shollina- RatapKuratapSeingatku saat darah yang mengalir dari telunjuk jemariku, ada beda warna yang keluar di saat raungan suaraku yang kesakitan melengking hebat di kamar. Aku tak menggubris karena sakit yang kurasakan begitu terasa hingga tubuhku tak bisa menopang jati diriku. Terhempas dan tak sadarkan diri sudah pasti itu yang kualami saat itu. Kusempatkan diri keluar dari kamar dan berhasil. Hingga di tengah ruangan itu aku mulai memejamkan mata. Sempat suara yang parau ini berteriak namun sayang, nadanya tak cukup untuk memanggil keluargaku yang sibuk bersama diri mereka sendiri.

“Ambil air dalam botol di lemari Ibu Yok, cepaat!” Bentak Ibu pada adikku yang nomor 4.

Aku melihat betapa keluarga kecilku sangat memperdulikan jasadku saat itu. Dari alam yang berbeda aku bahkan merasakan kehangatan yang lebih dari keluargaku. Namun disaat alamku sama dengan keluargaku, entah kehangatan itu kapan aku bisa mendapatkannya. Aku menitikkan air mata sederas mungkin di samping jasadku yang terkulai lemas dan terpejam.

Ku usap airmata Ibu yang menetes ke arah mataku. Namun Aku tak bisa mengusapnya hingga airmata Ibu membasahi mataku.

“Tuhan.. berikanlah tanganku ini dapat menyentuh tangan Ibu yang sangat kudambakan menyentuh pipinya yang sudah lekang oleh masa“ pintaku dengan ringkih airmata terhujam di alam fana.

Bapak kulihat berlari menuju pembaringanku di lantai dan membawaku ke kamar saat ia mendadak harus pulang dari sawah.

“Astagfirullahal’adzhim“ ujarnya tak henti-henti dalam bibir yang dulu kulihat bersinar dan memerah merona. Namun kini entah kemana semua itu pergi meninggalkan perlahan-lahan dari tubuh kedua orang tuaku.

Di dapur kulihat adik-adikku tak kuasa menahan beban tangisnya saat melihat jasadku tergeletak di tengah lantai.

“Kak Lin.. hiks hiks..“ Isak tangis mereka begitu keras hingga ruangan dapur yang pengap telah ramai dan banjir oleh tangis ke-4 adik-adikku.

“Dik.. kau tak usah menangis, Kakak masih disini menemani kalian.” pekikku dengan nada lembut. Namun ternyata tak berhasil. Mereka tetap menangis dan berpelukan entah sampai kapan.

Dan akhirnya satu persatu mereka berlari menuju kamarku yang sudah terisi jasadku, Ibu dan Bapak. Mereka berlari dan mengambil posisi di samping jasadku. Hingga kini jasadku sudah dikelilingi oleh keluargaku yang dulunya mengacuhkanku dan kini memperdulikanku.

Mereka semua mengurungku sejak usia 5 tahun. Dan kini usiaku 18 tahun namun masih saja hidup dalam kepengapan kamar yang tak begitu luas. Mereka terpaksa mengurungku karena bercak-bercak di tubuhku tak kunjung menghilang. Hingga aku sudah remaja tak pernah mengenyam pendidikan. Adik-adikku yang lain mungkin sudah bosan mendapat pendidikan di luar sana.

Namun hati kecilku berkata “ilmu tak hanya kau dapat di bangku sekolah“

Dan akhirnya saat umurku tujuh tahun, aku dapat menjadikan di sekelilingku menjadi ilmu. Seperti kain-kain yang tak terpakai ku buat menjadi lap tangan. Hingga akhirnya aku telah bisa membaca dan menulis berkat suara-suara di luar sana ketika Ibu dan Bapak mengajar Adikku yang nomer 2 itu baca tulis.

Saat itulah aku sudah bisa menghasilkan tulisan dari secarik lembaran-lembaran yang kuminta dengan memelas dan momohon penuh linangan air mata pada Ibu.

“Jangan sentuh-sentuh… penyakitmu akan membahayakan Ibu. Jika Ibu tertular siapa yang mengurus adik-adikmu dan tentunya bagi kelangsungan hidupmu !” Ujar ibu menimpaliku dengan menyodorkan telunjuknya di kepalaku hingga raga ini tersungkur menjauh dari Ibu.

Ibu pergi dengan membuat hati ini tersakiti dan air mata kembali tertumpah ruah. Hati yang masih kecil dan tak tau apa, siapa dan bagaimana merasa sangat terkucilkan. Hingga saat itu masih ku ingat suara-suara Adikku yang memaksa untuk melihat bagaimana rupa Kakaknya, namun Ibu melarang dan tentu jika mereka berani-berani melihatku  ancaman Ibu akan terlaksana.

***

Hingga hari ke-5 jasadku tak kunjung membuka mata. Namun desisan nafas masih terdengar hingga detak jantungku masih normal. Kabel-kabel yang tak kutahu fungsinya untuk apa sudah terpasang sejak empat hari yang lalu. Seluruh tubuhku dililit oleh kabel-kabel ganas dari Rumah Sakit.

Tak sengaja kumelihat Adikku yang nomer 2 memasuki kamarku sambil berlari dan membawa buku tebal. Mungkin dari sekolahnya, karena seragam yang ia kenakan sangat rapi dan kulihat juga ia memakai sepatu dan tas. Ia berdiri sambil mengamati selang-selang dan kabel-kabel yang ada di samping jasadku. Dan sesekali melirik buku yang terbuka di tangannya. Ternyata ia mencocokkan materi yang ia dapat dengan apa yang terjadi di kenyataan. Namun nama penyakitku masih ia pertanyakan rupanya pada raut wajahnya yang membingungkan.

“Kak Liin.. ini Adikmu Nudia. Maafkan kami karena tak pernah melihatmu dan menjengukmu di kamar ini. Ternyata parasmu begitu indah seperti bidadari syurga yang kubaca pada novel.“

Nudia menitikkan air mata dan membuka tasnya. Mengeluarkan sesuatu yang kulihat ternyata sebuah kain berwarna hijau muda yang manis. Dia membentuknya menjadi segitiga. Dan membalut kepalaku hingga tampak hanya wajahku yang terlihat.

“Kak Liiiin .. hiks hiks.“ Dia menangis melihat kerudung itu menempel. Dia memelukku erat dengan isak tangis yang semakin menjadi-jadi.

“Aku tak perduli penyakitmu menular, yang terpenting Aku bisa bersamamu dalam suka maupun duka Kak.” Lirihnya.

Aku meneteskan air mata haru. Aku tidak menyalahkan Ibu yang melarangku bertemu kalian, Ibu yang mengurungku di kamar. Namun Aku ternyata juga menyadari bahwa ini demi kebaikan kalian semua. Takku sadari tanganku mendorong Adikku hingga tersungkur.

“Oh tidak..! Dik, maafkan Kakak. “

Tak menyangka Dia akan berteriak sekencang-kencangnya memanggil seluruh isi rumah. Hingga semua sudah berkumpul kembali.

“Apa salah Kak Lin Bu, Pak? Teganya Ibu dan Bapak mengurung Kak Lin hanya gara-gara sebuah penyakit yang Ibu dan Bapak belum tau itu menular atau tidak. Lihatlah paras wajah yang terbaring itu Bu, Pak. Begitu cantik dan indahnya wajah itu dipandang hingga Ibu dan Bapak setega ini mengurung Kak Lin selama 14 tahun. Ibu jahaat.. Bapak jahaat !“

Nudia pergi meninggalkan kamarku. Adik-adik yang lain menyusul Nudia ke halaman depan.  Hingga tersisa Ibu dan Bapak yang masih meneteskan air mata penyesalan. Aku ingin sekali memeluk mereka berdua dan mengusap air mata mereka.

“Apa yang kau lakukan sudah benar Bu, kau tak ingin keluarga ini tersakiti hanya gara-gara diriku. Kau rela menahan cemooh dari warga desa dan yang tak kuduga, kau masih rela merawatku walau dengan cara terpaksa. Aku berterima kasih Bu!“ Airmataku ikut tertumpah.

Tak kusangka pada jasadku air mata itu nyata dan kini menetes mengikuti airmataku yang tumpah di alam fana ini. Ibu dan Bapak mulai berteriak memanggil Adik-adikku. Mereka semua memelukku. Yah! Pelukan yang tak pernah kudapatkan selama 14 tahun ragaku dan jasadku bersatu. Aku menangis tersedu-sedu hingga airmata itu kembali deras mengalir pada jasadku. Mereka telah lupa akan seharusnya setiap apa yang terjadi pada diriku agar memberi tahu Dokter.

Kini tanganku perlahan-lahan mendekap satu persatu keluargaku yang masih menyisakan isak tangis di hadapanku. Mereka merasakan dingin yang begitu dingin karena pelukanku. Anehnya mereka tak takut akan apa yang mereka rasakan. Mereka bahkan memelukku kembali lebih erat.

“Buk, Kak Lin masih hidup! Dia ada di samping Ibu menangis“ ujar Hajid adikku yang bungsu.

Tangis ibu kembali pecah mendengar tuturan Hajid. Dia bisa melihat bayanganku. Aku akan pergunakan kesempatan ini.

“Hajid, kasih tau Ibu dan Bapak sama Kakak-kakak yang lain. Kalau Kak Lin sayaaang banget sama mereka“ ujarku membisikkan di telinga Hajid.

Pesan itu langsung disampaikan oleh Hajid. Mereka ternyata membalas dengan mengatakan.

“Kami semua menyayangimu nak, kembalilah agar engkau bisa merasakan semua yang tidak pernah kau rasakan! Naak“ Balas Ibu.

Hajid mengajakku pergi keluar kamar. Dia mengambil telunjuk jemariku yang terluka saat itu. Aku tak merasakan sakitnya lagi. Dan kini Aku dan Adik Hajid yang masih umur empat tahun menatapku dengan wajah yang begitu sedih.

“Adik jangan bersedih, kakak pasti akan kembali“

“Kakak kembali ke dunia atau ke akhirat? Kakaaaaak..“ Tangisnya pecah hingga ia memelukku dengan erat. Adikku kecil namun bisa mengetahui dunia dan akhirat. Aku terharu mendengarnya.

“Adik minta maaf. Ibu selalu bilang bahwa Kakak tidak ada. Kakak sudah mati, mati, dan mati. Tapi Kak Dia bilang Kakak ada di kamar. Apa dulu Kakak pernah mendengar suara panggilan adik dari luar kamar?“

“Ia Dik, kakak mendengarnya.!“

“Lalu kenapa Kakak tidak menyahut?“

Kini gilaranku yang memeluk Adik Hajid.

“Kakak menjawab namun Adik sudah pergi meninggalkan Kakak bersama Ibu.“

***

Pusaran hitam itu kini mendatangiku, aku berlari sejauh mungkin namun tetap saja pusaran itu mengajakku berputar dalam kegelapan. Suara dengkinganku tak mampu membawa diriku pada hati yang tenang. Telunjukku perlahan-lahan terasa periih yang sangaat. Hingga aku terbangun dari tidurku selama 5 bulan.

Mungkin keluargaku mendengar dengkingan sakitku yang begitu keras. Aku mulai memanggil satu persatu keluargaku dengan suara parau. Nada suaraku kembali mengecil dan mataku mulai terang.

“Aku tak ingin ada lagi tangis yang tertumpah. Cobalah untuk memberikanku senyuman sebelum aku menciptakan kesedihan.“ Pintaku pada keluargaku.

Mereka tersenyum dan tertawa di depanku. Adik Hajid tertawa di depanku dan berusaha menceritakan kisah yang di dapat dari guru ngajinya.

***

Hari itu bertepatan dengan tanggal 24 Maret 2015. Lina hanya bisa merasakan kehangatan dari keluarganya secara nyata selama 15 menit. Kemudian ia berpamitan dan memohon maaf pada keluarganya. Ia tak ingin sebelum ia menutup mata, keluarganya bersedih. Hingga permohonannya pertama kali itupun terwujud. Ia kembali pada Sang Pencipta dengan senyuman syahadat dan sholawat.

Barulah semua isak tangis yang tertahan selama 15 menit itu tertumpah ruah dengan sederas-derasnya. Sosok yang hanya hadir selama 15 menit dapat memberikan sebuah perubahan pada keluarga kecil itu. 15 menit merasakan dan 15 tahun terkurungkan membuat sosok wanita itu begitu tegar menjalani masa-masa hidupnya. Dalam kesedihan dan kesendiriannya, ia mampu menulis kisah hidupnya dalam secarik kertas dan kain-kain yang tak lagi digunakan.

***

Kebahagiaan bergantung pada diri kita sendiri. (Aristoteles)


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Foto ShollinaSemoga sahabat pembaca dalam lindungan Sang Pemilik Hati. Saya izin perkenalkan diri agar sahabat pembaca dapat bertegur sapa saat berjumpa lain waktu. Nama lengkap saya Shollina, simpelkan? Sahabat bisa panggil dengan Lina, Na, Olin atau bisa juga Shollina langsung. Lahir tanggal 24 maret 1998 bertepatan dengan Hari Aids sedunia. sahabat mungkin bisa bersosmed dengan Na lewat akun Facebook Sholli Wasallim serta twitter @Na.sholina. Semoga dapat bersua sahabat pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Facebook Comments

JejakPublisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.