Serumpun Puisi Firmansyah Evangelia

KOTA TERAPUNG
;pelosok-pelosok berlimbah
Kami cemas berkuasa di kota terapung
Mabuk analogi berbagai mozaik tak lagi mambang mencipta ruang
Sebagaimana mendonder mimpi, memeras asa, serta menghentikan gemuruh mesin kapal perang di kepala
Barangkali, tangis drastis paling tragis
Sempurna memancar di zaman kami
Sinis, stanza resah memboyong kami di sepanjang lelah
Lenyap sukaria, kisah, cerita, Bahkan nyamuk-nyamuk kian pindah ke kota lain
Kini, tinggal sebuah luka yang bertaut di laut jiwa
Rotan menetak, memartil ironi tak tamat-tamat mencipta ngeri
Hingga ganas mata kemarau, terkurung erat menjadi nasib
Sungguh malang kotaku, kelam khazanah dari sejarah
Di sini, tinggal bising beringas yang tersisa;
Gong-gong anjing, raungan macan, desis ular, suara naga dan segalanya
Biarkan kami tetap merintis tragedi sengsara
Di kota-kota hilang makna
Sejenak, pirau menebar serejang dari semerbak kemenyan mantra-mantra tua
Sesekali, sejawat dendam pada lebam celah ronggang yang terus membara di dada
Gesa kolusi mengepul sionis mendidis menyisih Kristal sungai
Semalu merobek serpihan nama di belantara doa
Maka, cukup kutanggalkan segenap keresahan
Bahwa: tak pernah ada rumus perih paling taji
Selain tancap belati kerap gentayangan dalam mimpi.
Annuqayah, 2019
SEPOTONG SENJA DI PULAUKU
Sepotong senja di pulauku
Adalah kesetiaan paling sakral
Sebab, kesaksian mata silaunya
Menyimpan sebongkah perkasa diksi
Yang kerap melahirkan mozaik puisi tak kunjung usai
Hingga, majas-majas kerdil di tubuh kertas
Kembali mengembara ke jantung langit
Atas nama doa dan pengharapan
Aku mesti harus melangkah melampaui arah
Di mana tempatku mengeja duri-duri sakti
Dari segenap kesucian zikir yang hakiki
Barangkali, hidup adalah kematian
Ketika aku tak mampu bangkit dari keterpurukan
Sebab, rute-rute garis hidup
Tunggal tak kunjung tanggal di pekarangan nasib
Kali ini, aku masih getir, Tuhan
Melafal riwayat sekuntum daun
Sebab, bilamana sungai-sungai
Masihlah tak henti-henti mengalir ke hilir jiwa
Maka, cukuplah sepotong senja
Yang kan mewakili ranggas-riangnya kata-kata.
Annuqayah, 2019
SENANDUNG OMBAK
Seperti mutiara berkilauan di rongga-rongga mata
Matahari jatuh di permukaan laut
Menyulap ombak jadi warna pelangi
Di langit, bidadari-bidadari samudra berkejaran
Menjelma duyung jelita saat kaki menyentuh buih
Camar-camar beterbangan
Dengan keriangan bocah laut mengejar ikan
Di pantai, bulan menyelimuti bakau menyentuh pucuk-pucuk kelapa
Di cakrawala, gambar-gambar bintang menjelma mata angina
Wewangi hutan jadi sempurna bersama aroma cengkeh
Pohon-pohon dan ceruk goa runduk dalam bayang
Rumah-rumah sempurna dari tengkorak-tengkorak beserta jejak
Riwayat-riwayat tersimpan di kebisuan karang
Sabar menunggu hempas gelombang
Seperti perempuan sabar menghitung purnama
Menunggu kekasih datang dari balik pasang lautan
Bersama bau tuna bakar dan keringat nelayan
Esok, fajar adalah leret-leret cahaya surga
Bocah-bocah riang berjalan menenteng gate-gate atau jupi
Berebut, mencebur ke laut yang menjelma warna kupu-kupu.
Annuqayah, 2019
PEREMPUAN PUISI
“teruslah tumbuh dalam anganku,
sebagaimana laut tak pernah lepas dari asinnya”
Engkau adalah perempuan
Yang tak kunjung usai menjelma bayang-bayang dalam benakku
Alir nadiku, sebongkah lumbung jiwa
Bahkan, di sepanjang percakapan mimpi-mimpi paling hakiki
Maka, tak perlu kau heran dan tercengang
Bilamana, sering kali kusebut
Engkaulah puisiku yang sempurna
Sebab, dari sekujur tubuhmu diksi-diksiku hadir
Dari nyalang matamu majasku tumpah
Juga dari bara batinmu
Khayalku bercakap-cakap dengan sunyi
Menuntaskan kisah dan peristiwa
Dalam segenap peradaban.
Annuqayah, 2019
HAROKAH SECANGKIR KOPI
Barangkali, akulah penikmat pahit dan manismu
Ketika malam bertandang di ujung mata
Setandan pekat dari hasrat
Kelam jua pada keruh paling sendu
Sebelumnya, kuikat tali janji pada sunyi
Sebagaimana janji biji-biji kopi padaku
Maka, tak perlu lagi kuretas hirau
Sebab cemas di batinku
Sempurna ranggas di lumbung dada
Dari ampasnya, aku belajar kekar hidup
Menapaki beberapa jalan liku
Antara merdeka dan tumpah air mata.
Annuqayah, 2019
AKU ADALAH RIAK GELOMBANG DI LAUTAN
Asaku hempas gelombang
Dari kekar garang karang menghadang
Yang kerap bimbang menafakuri siang
Telah kutafsir berulang kali emosi laut
Asin garam mengembara di ceruk dada
Menerjemahkan resah langit
Pada kidung senandung mendung
Lalu, rinai hujan
Kembali menari-menari di pundak buih
Sauh-sauh yang menancap di kebisuan batu
Menenggelamkan nyinyir arus di ruas-ruas cendawan emas
Lantas, ikan pun ring jumpalitan
Bermain-main dengan harapan
Senja mulai susup di mataku
Gelora malam mulai hadir di jantung-jantung sunyi
Mencipta gerlap mata seribu bintang
Juga kesaksian riwayat hakiki di mata bulan.
Annuqayah, 2019
BATU PERADABAN
Sebagaimana batu
Aku kerap mengasah tangis dalam sunyi
Sebab bias dari penderitaan
Tak ingin kubagi dengan yang lain,
Cukup tubuhku rapuh mengasah peluh paling angkuh di dadaku
Mengirim mendung pada malam
Sebab adakalanya
Segalanya tak kan kekal
Biarkan aku terus membisu
Menahan seribu tanda tanya tentang perih
Mengabadikan luka paling dalam di ceruk jiwa
Mestinya, binatang-binatang hutan yang mengerti jeritanku
Sebab kemungkinan, aku telah tak pantas lagi berwujud manusia
Biarkan saja, aku tak kan pernah bicara walau setetes embun di pagi hari
Bilamana permainan musim
Masih lebih kuasa panas
Rahim kemarau yang menetas
Mencipta retak segala tetumbuhan dan tembakau-tembakau harapan subur di tubuhku
Bahkan, jikalau ada pemberantas musim bejat
Inginku tuangkan segalanya pada dadamu
Agar semestinya kau paham
Bahwa luka yang sebenarnya
Lebih ganas dari kematian.
Ingat!
Pikir matang-matang lagi sebelum berpijak
Sebab, bila kau salah menafakuri garis hidup
Maka, tak mustahil lagi
Untuk kau jumpa penderitaan
Serta huruf-huruf ritmis tangis yang terpendam di senjakala.
Annuqayah, 2019
Firmansah Evangelia. Nama pena dari Andre Yansyah, lahir di pulau giliyang, yang terkenal kadar Oksigennya setelah Yordania, 12 September 2002, tepatnya di dusun baru desa banra’as RT:03 RW:06, alumni MI, MTS pondok pesantren Nurul Iman, menyukai puisi dan tater sejak aktif di beberapa komunitas, di antaranya: PERSI (penyisir sastra iksabad ), LSA (lesehan sastra annuqayah), Ngaji puisi, Mangsen puisi, Sanggar kotemang, poar ikstida. Beberapa karyanya pernah di muat di : Radar Madura, Nusantara News, Majalah Sastra Simalaba, Buletin Leluhur, Buletin Bindhara, Majalah Pentas, Potrey Prairey, Harian pringadi, dll. Buku puisinya : Duri-duri bunga mawar (FAM publising 2019), Rubaiyat Rindu (Jendela Sastra Indonesia 2019). Bisa di hubungi lebih dekat di akun Fb: Andre Serizawa dan via Email: andreansyahpersi@gmail.com.
Siap