Karakter Baik Seorang Siswa
“Walaupun sedang mati listrik, bel sekolah tidak berbunyi, jika sudah menunjukkan pukul 12 tepat, itu artinya seluruh kegiatan pembelajaran dihentikan. Lekas pergi ke ruang ibadah. Tidak boleh ada aktivitas selain beribadah. Tidak boleh ada yang berbicara selain berbicara pada Tuhan.”
Kami bersungut menghentikan makan siang dan berjalan perlahan menuju ruang ibadah.
***
Hari Senin, awal bulan Oktober.
Kami merencanakan sebuah pemberontakan sistem pendidikan di sekolah kami. Setelah menghasut teman-teman sesama kelas XII, akhirnya saya mempunyai tim untuk memberontak pada pihak sekolah.
Rencana pemberontakan itu belum sepenuhnya selesai. Kami masih perlu memperhitungkan segala hal yang akan terjadi. Bukti yang kami kumpulkan masih kurang. Tidak banyak siswa kelas XII yang mau bergabung dalam tim kami. Namun saya tidak perlu banyak orang untuk melancarkan aksi pemberontakan ini. Kami akan berhasil, saya yakin itu.
Ada yang tidak beres dari sekolah kami. Bukan karena kurikulum sekolah kami tidak baik. Bukan juga karena guru-guru kami tidak profesional. Bukan karena kami malas dan nakal. Tapi sistem ibadah yang dilakukan di sekolah kami, saya merasa ada keanehan.
Kembali pada dua bulan yang lalu, ketika saya menjadi murid baru pindahan dari desa.
Saat itu bel sekolah berbunyi. Murid-murid dari berbagai kelas berbondong-bondong pergi ke ruang ibadah. Taman sekolah bahkan kantin terlihat sepi, tidak ada siswa yang menuju ke sana.
Seorang laki-laki merangkul bahu saya, mengajak saya ke ruang ibadah yang berada di depan lapangan sekolah. Saya sempat mengelak, saya akan beribadah setelah saya makan siang. Teman saya tersenyum,
“Tidak ada makan siang sebelum beribadah,”
“Mengapa?”
“Karena itu peraturan sekolah, bung.”
Lantas ia tarik tubuhku kembali, menuju kerumunan yang melihatnya saja saya malas untuk bergabung.
“Untuk apa kita mengantre?”
Seorang laki-laki berkacamata berbalik ke arah saya
“Oh, rupanya kau murid pindahan itu,”
“Bukankah lebih baik kita segera masuk?”
Lelaki itu menggeleng perlahan, “Kita harus mengantre dulu. Lihat, tidak hanya siswa di agama kita, anak-anak di ruang ibadah lain juga harus mengantre sebelum masuk dan beribadah.”
“Untuk apa kita mengantre?” saya mengulang pertanyaan pertama saya.
“Untuk presensi, bung” laki-laki yang mengajak saya ke ruang ibadah tadi akhirnya berbicara, “Untuk presensi dengan teknologi masa kini, finger sprint.”
“Presensi menggunakan sidik jempol? Untuk apa?”
“Untuk apa lagi kita ada di sekolah? Untuk mendapat nilai, lulus dengan nilai baik, diterima kerja, hidup bahagia. Bukan begitu?”
“Apakah sistem presensi juga diberlakukan di ruang ibadah lain?”
“Tentu saja!” laki-laki berkacamata itu melotot, “Kau tidak bisa melihat apa yang sedang kami lakukan?”
Antrean di depanku tersisa satu orang. Laki-laki itu mencoba untuk menempelkan jempolnya pada sebuah mesin kotak. Mesin itu mengatakan bahwa terjadi kesalahan pada sidik jari laki-laki itu. Ia terus berusaha, keringat mengucur deras di dahinya, sesekali ia usap lalu mengeluarkan napas panjang.
“Rio, tidak apa-apa. Mungkin mesinnya rusak.” ucap laki-laki di belakangku.
“Tidak. Tidak mungkin rusak. Aku melihat orang-orang lancar menggunakan mesin ini,”
“Tapi baru sekali mesin itu tidak bisa mendeteksi sidik jarimu” seorang perempuan menyahut dari pintu sebelah kami, “Itu artinya, baru sekali kau absen dalam beribadah.”
“Tidak! Aku tidak akan membiarkan nilaiku turun di semester ini. Aku tidak terima kalau mesin ini rusak dan membuat masa depanku suram!”
Beberapa laki-laki di belakangku mencoba menenangkan Rio. Setelah teman-temannya membujuk cukup lama, akhirnya Rio menyerah. Ia menangis setelah berulang kali gagal menaklukkan mesin dan menyerah langsung masuk ke ruangan tanpa dianggap melakukan ibadah dalam catatan presensi.
“Kasihan, padahal dia juara umum dari kelas IPA,”
“Pasti nilainya berkurang di seluruh mata pelajarannya.”
Hari Jumat, akhir bulan Oktober.
Setiap hari Jumat, sekolah kami selalu mengadakan Jumat Rohani. Jumat Rohani merupakan ibadah rutin yang dilakukan oleh seluruh siswa pada pukul 11.00 hingga 13.00 di ruang ibadah masing-masing. Tidak seperti ibadah siang lainnya, selain waktu yang dilakukan lebih lama, jika ada siswa yang tidak hadir dalam ibadah Jumat Rohani, kami akan langsung dikeluarkan dari sekolah.
“Mau ke mana, Ki?”
“Ibadah. Presensi sama Tuhan,” jawab saya seadanya.
Hari ini saya berencana untuk tidak hadir dalam Jumat Rohani. Diam-diam saya mengamati bagaimana sistem ibadah dilakukan di sekolah kami. Banyak siswa yang tidak paham esensi beribadah. Apa yang mereka tahu adalah bagaimana meningkatkan nilai di seluruh mata pelajaran dan mempertahankan eksistensinya di sekolah. Jika mereka ingin tetap berada di sekolah ini, maka mereka harus rajin-rajin mengisi presensi di ruang ibadah.
Mungkin malaikat sedang menahan tawa, jijik, dan benci melihat tingkah laku mereka.
Jika hari ini saya tidak melakukan Jumat Rohani, maka saya akan langsung dikeluarkan dari sekolah. Kami akan memperkuat bukti untuk mempersoalkan masalah ibadah ini. Maka saya tidak akan ragu untuk menjadi umpan.
“Maafkan kami, kami sudah berusaha semampu kami,”
Saya mendengar suara laki-laki dewasa dari arah kantor. Terdengar pula suara jeritan dan tangis guru-guru. Mereka meronta kesakitan sambil sesekali meminta maaf. Saya diam-diam memperhatikan dari balik pintu.
“Tolong maafkan kami, Tuan.” guru olahraga memohon, di belakangnya terlihat guru-guru lain juga bersimpuh, “Rio adalah murid teladan, saya yakin dia tidak pernah absen dalam beribadah.”
Seketika langit menjadi mendung, petir berulang kali terdengar.
“Kami yakin, Tuan. Kami yakin ia melaksanakan kewajibannya pada Tuhan hari itu.”
Kilat menyambar.
“Mengapa kalian tidak mengurang nilainya, sedangkan ia pernah sekali tidak beribadah.”
Suara itu terdengar menakutkan, kaki saya tidak berhenti bergetar.
“Apa buktinya ia melakukan ibadah? Namanya tidak ada dalam presensi. Sekali tidak beribadah, ia tetap tidak beribadah. Anak itu telah menjadi kafir!”
Kulihat sosok itu perlahan. Ia terlihat sangat marah pada guru-guru kami. Berulang kali ia mengangkat tongkat ke setiap arah, sesekali terdengar suara petir.
“Maafkan kami, Tuan Malaikat. Maafkan kami.
Malaikat benar-benar murka.
Ulfa Rizqi Putri, lahir dan menetap di Surakarta sejak tanggal 4 Juli 1999. Menempuh pendidikan S1 di Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret. Aktif dalam Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret, anggota aktif minat teater dan kepenulisan di Bidang Kreativitas Mahasiswa. Beberapa karyanya telah dimuat di surat kabar seperti Solopos dan Radar Banyuwangi. Aktif di instagram @ulfarzqp. Dapat dihubungi melalui surel kikyulfa64@gmail.com.