Puisi-Puisi Mohammad Cholis

Puisi-Puisi Mohammad Cholis

 

MERANTAU

_adakala kegelapan meraung keagungan
maka merantau di negeri tuhan adalah sebuah pilihan_

Kungkungan sunyi membuat aku terbuang, tapi tidak di buang
Dari jendela lebam, isak mata mengeja sisa puing-puing kejadian
Waktu berayun lunglai ikrarkan selaksa kerinduan anak jalang
Hanya hilir samudera keilmuan tak membuatku rentan

Kadang derak tanah bicara tentang bulan yang patah sebelum terang
Bunga-bunga teratai tertawa liar mengurai muasal pencitraan
Aku tak peduli seberapa tahun lesap belia menjamuh perjuangan
Sebab saut gema tuhan lebih menawan dari permata tuan

Sebelum larut semaput mengakar kembang semburat cakap
Kerap kali angin menjerit mahkota malam paling munajat
Lalu gigil tunjukkan kaki menuju ruang sekantong harap
Di sini aku belajar merakit sekawanan cahaya yang hampir tenggelam
Agar suram akan jelah, akan lorong menuju pulang
Dan mencegah aku untuk menjadi binatang

Annuqayah, 2019


KEPADA NELAYAN

Ole olang paraona alajhere
Ole olang paraona alajhere

Bila datang nyanyian angin selatan
Gong di tabuh permulaan pesta para nelayan

Musim terlentang dalam nyawa jala
Bising cerita para petualang bianglala

Tak kala gemuruh ombak membusur mata keruh
Kami tancapkan tekad perahu sekeras batu

Merajut sejarah melempar sauh seasin tubuh
Demi sari kembang yang terpikul bahu

Silau cakrawala menasihati waktu renta
Saat kemarau melambai mesra bercengkerama

Pantai Bintaro, 2019


ADORASI SECANGKIR KOPI
;karamel

Saat kemarau terpejam mengintai matahari
Gigil diksi rubaiat narasi keringat pagi
Yang baka hanya suar secangkir kopi

Sementara engkau serupa akara semu
Membancang rahsa aksa rindu
Sebelum ampas terdayung ke hulu

Kuseduh senyum wajah kental
Arumi batari perempuan penanam pagi
Terpopong mengusik ruang sepi
Hingga jiwa ambisi jadi bala belati
Kian merambat menyayat hati

Perlahan kunikmati gelabah asmaraloka
Seperti adorasi secangkir kopi tak kenal asa

Annuqayah, 2019


 

AKULAH AKSARA PALING KARAM BERSUFI
;karamel

Masih kuingat
Serakkan angka nyala lilin perempuan penanam pagi
Semoga tak lupa pada tumpukan jerami para petani
Wewangian dupa dan semerbak aroma kemenyan
Adalah ritual selamatan yang berdiri gagah di punggung puisi
Kusematkan cerita perjalanan padi

Sebelum sejumlah halaman terimpit perpisahan musim
Atau tangisan pulau mungil
Saat langit menabur kembang beribu mimpi
Rebahlah nyalang kedalaman kaki
Dengarlah ringkih panjatan puisi;
Akulah aksara paling karam bersufi
Selamat ulang tahun kekasih

Perempuanku……
Kepakkanlah sayap-sayapmu
Untuk meminang senja dan mematangkan usia perputaran masa
Tangan bukanlah mahkota bulan
Di perisalahan tempat hidangan
Tapi sebongkah pengharapan yang terselendang di gunung yang menjulang

Annuqayah, 2019


YANG TERPINANG
;karamel

_Apa hendak di mengerti, jika jari meminang janji,
Hanya namamu kekal dalam puisi _

Kara…..
Seumpama embun, aku mencari titik paling utuh
Demi sepasang mata sejuk kita untuk berteduh
Ah… namun taring terik melaju lebih dulu
Hingga luka adalah waktu yang kutempuh

Kara…..
Kini ruang sisakan tempat aku meradang
Angin menerjang layak bumerang sedang menyerang
Tertusuk apa yang sudah melintang
Suaramu terdengar lantang mencoba tuk datang
Sementara bertahan menjadi jawaban rapuhnya perjalanan panjang

Kara…..
Engkau tertunggu antara benalu yang terlalu
Jangan mengeluh sebelum tuhan menyuruh

Annuqayah, 2019


 

TIRTA AMARTA
;karamel

Kupanggil namamu seikhlas nabastala melepas hujan

Di langit musim membisik akan menidurkan luka kemarau
Gerimis memeram pada sepanjang lorong kabut akan kenangan
Menasihati gemetar pupus baya setegak pohon-pohon kelapa
Hanya ladang-ladang gersang menjerit menembus bianglala
Tak kala sumarah petani kutemukan di balik kerikil batu-batu candala

Sebagaimana Nuh melontarkan janji lepaslah hujan
Seperti itu ritual tembang-tembang hujan kerap dirapalkan
Perlahan langit belungsang menyumbal di palung jiwa paling terjal
Mengasa bibit pengharapan masygul tirta amarta yang pernah kutancapkan

Ke mana semut-semut tak berkeliaran?
Lihatlah sekarang bumi sedang bercinta dengan hujan
Gigil diksi tubuh genta perjalanan kata
Menuang janji romansa anak dara yang hendak berjalan tanpa arah
Entahlah itu rahsa atau mala
Tapi percayalah kara…
Antara mega dan kaca jendela
Tersembunyi padika rindu yang hendak menyapa

Tak ada yang perlu kau mengerti
Dari segerombolan sajak-sajakku yang berlari tertatih-tatih
Sebab pesta para burung masih tak henti menari dan menyanyi
Di bawah melodi yang kubawa lari setengah mati

Annuqayah, 2019


 

INDONESIAKU

Di tubuhmu, retina bulan mengatup kantuk
menunggu rahim fajar bangkit memahat rona selendang langit
Senandung angin memetik kecapi menggiring ritme kaki matahari
Yang tak lekang memperkenalkan diri pada semerbak bumi pertiwi
Kicau burung pun berdentum memadah epitaf sisa-sisa sejarah
Mengisar memoar reruang wangsit perenungan bunga bangsa

Ingatlah…..
Dahulu bambu badik dimainkan sebagai ujung peluru
Gelegak bocah-bocah menyusu darah menegak masa jaya
Demi tanah jadi tonggak sehelai bendera
Demi menyemai ranah benih Aceh sampai Papua
Hingga tumbulah engkau menunggangi renjana garuda
Menata lebur makna bhineka tunggal ika
Pada zamrud khatulistiwa yang baka

Oi, Indonesiaku
Biarkan aku menderu
Bagai cagak tegak di atas batu dalam derak jantung waktu

Annuqayah, 2019


Mohammad Cholis lahir di Desa Longos, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, santri di PP.Annuqayah sekaligus mahasiswa di Institut Sains Teknologi Annuqayah (IST), berproses di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Rumah Membaca Indonesia (RMI), sanggar andalas dan Komunitas Menulis pasra (KOMPAS). Beberapa karyanya dimuat di beberapa media seperti koran, majalah dan antologi bersama.
ID instagram : Mohammad.ccholis / kholismolex

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.