Dunia Ashera
~ “Ashera, ayo bangun. Akan kuceritakan sebuah rahasia padamu…” ~
Cinta Pertama Tuhan
“Ayah, siapa cinta pertama Ayah?”
“Ibu kamu,” Dominic, pria dewasa itu menjawab dengan mudah. Ia mengambil peran sebagai ayah Ashera.
“Wau,” Ashera tampak kagum. “Lalu, siapa cinta pertama Tuhan?”
Kini lelaki itu terdiam, tampak bergumul di dalam kepalanya. Dahinya berkerut, matanya melirik sisi-sisi rumah, isyarat bahwa terjadi tubrukan-tubrukan pemahaman di dalam dirinya. Cinta pertama Tuhan? Masakan Tuhan memiliki cinta pertama?
Ashera, anak putri 11 tahun. Gadis manis yang lincah, rambutnya panjang mengombak berwarna hitam kecokelatan. Matanya jernih dengan warna iris biru yang mengagumkan, juga misterius. Putri tunggal dari sebuah keluarga yang damai, menjadikannya sosok gadis kecil polos yang ramah. Namun, tak semua orang sanggup menjadi imbang bicaranya. Ia suka bertanya hal di luar jangkau pikir orang dewasa dan mengatakan hal yang membuat banyak sesepuh termenung. Juga tidak ada orang dewasa yang akan mampu percaya bahwa anak putri bernama Ashera itu, seorang gadis mungil yang memiliki dunia begitu hidup di dalam mimpi. Seorang anak yang terkagum-kagum pada hal bernama terbang. “Satu-satunya hal yang membuat manusia benar-benar nyata disebut sebagai manusia adalah karena dia tidak dapat terbang.” Demikian gadis itu pernah berkata dalam pidato kelulusan murid terbaik di Taman Kanak-kanak.
Malam adalah hal yang sangat dirindukan Ashera. Itu adalah waktu untuk istirahat dan tidur. Ia tak pernah melewatkan waktu tidurnya. Hanya ketika tidur, dia dapat bangun di dunia nyata miliknya. Adalah Cannet[1], seekor kupu-kupu besar berwarna biru, sebiru iris mata Ashera, yang selalu menemaninya di dunia nyata dan berbincang dengannya. Sesekali Cannet mengambil rupa kanak-kanak perempuan untuk menemani Ashera berjalan kaki di dalam hutan kupu-kupu yang menakjubkan.
“Apa kau percaya adanya Tuhan, Ashera?”
“Ayah dan ibu selalu bercerita tentang Dia hampir setiap malam sebelum aku tidur.”
“Jadi kau mengenal Dia?”
“Aku percaya, meski tak pernah berjumpa.”
“Mau aku beri tahu rahasia para kupu-kupu tentang Dia? Kau pasti menyukai rahasia ini.”
“Apa?”
“Tuhan punya cinta pertama.”
Ashera berhenti berjalan, melihat Cannet dengan heran. Ia mencari ke dalam mata Cannet yang juga berwarna biru, jika saja ada terselip kebohongan atau candaan di sana. Karena pancaran mata adalah wujud perasaan yang tidak akan pernah berdusta. Dan nihil.
“Benarkah? Siapa nama gadis yang beruntung itu?”
“Pikirmu Tuhan itu sebangsa lelaki dunia?”
“Lalu? Apakah Dia wanita?”
“Tidak dan iya, untuk kedua-duanya. Tuhan tak dapat digolongkan hanya ke dalam satu kategori, karena Dia yang memiliki ide mencipta kategori-kategori itu. Setelah ide terwujud, tak berarti ide itu akan terpisah dari sosok pencetusnya. Ide itu tetaplah milik sang pemikir dan ide itu adalah bagian dari diri si pemikir. Maskulin dan feminin adalah ide milik Tuhan dan sifat ide itu tinggal di dalam diri-Nya.”
“Jika Dia bukan lelaki, juga bukan wanita; dan juga berarti Dia tidak memiliki kekasih seorang lelaki atau juga seorang wanita. Lalu, kepada siapa Dia jatuh cinta untuk pertama kalinya?”
“Kepada Manusia: lelaki, wanita, anak-anak, para tua renta. Kepada sebangsamu. Semua bangsamu.”
“Kenapa kepada manusia?”
“Karena di dalam dirimu terkandung rahmat. Rahmat itu bagian dari perasaan Ilahi. Ia menjadikan jagat maha raya; menabur langit dengan bimasakti; menjadikan matahari menyinari tunas-tunas bumi; para ikan bernapas di laut, dan segala sesuatu itu dicipta dengan rahmat-Nya. Dan dengan meniupkan rahmat itu pula, Ia menjadikanmu ada di dunia. Di dalam dirimu Tuhan menitip perasaan serta pancaran kemahakuasaan-Nya. Bahkan para malaikat surga pun tidak mengerti bagaimana perasaan terdalam Tuhan, karena malaikat tidak dicipta dengan rahmat yang lembut itu tetapi dengan nur yang mulia. Hanya manusia yang semestinya mampu memahami perasaan Sang Maha Khalik.”
~
Lelaki dewasa itu terkejut mendapati dirinya penuh kegamuman mendengar Ashera, putri kecilnya, menjelaskan suatu hal yang bahkan belum pernah tersentuh molekul atom di otaknya. Mengapa dia tak pernah berpikir hingga ke titik itu? Tiba-tiba ia tersadar, entah sudah berapa lama ia mengapung di atas gelombang arus logika. Ia hampir lupa caranya menyelam atau bahkan berenang melawan arus. Jika ternyata air terjun menanti di depan sana, akankah dia selamat dari kolam raksasa bernama bidah?
“Ketika Ayah berkata cinta kepada ibu, maka harusnya Ayah juga paham bagaimana cinta di hati Tuhan.”
“Mengapa begitu?”
“Karena rahmat Tuhan ada di dalam diri Ayah. Ada perasaan Ilahi ditiupkan ke dalam jiwa Ayah. Saat jatuh cinta kepada ibu, saat itulah Ayah tahu bagaimana perasaan Tuhan tentang cinta. Saat patah hati, Ayah akan mengerti bagaimana hati Tuhan yang terluka. Saat seseorang mengkhianati cinta Ayah, maka Ayah juga akan paham kecewa yang dialami Tuhan.[2] Manusia seyogianya jatuh hati kepada seseorang yang memahami perasaannya, ‘kan? Demikian juga dengan Tuhan. Tahukah Ayah, manusialah yang sesungguhnya paling memahami bagaimana perasaan di hati Tuhan, dan tapi manusia juga yang paling mampu melukai hati-Nya.”
Jantung lelaki itu berdebar cepat. Kesadarannya melompat, terbangun dari tidur lelap yang hampir abadi. Tiap-tiap hari ia bersujud, bersembah, menyebut nama Tuhan, tapi benarkah di dalam hatinya Tuhan memiliki tempat untuk duduk? Memorinya mulai mencari-cari kapan kali terakhir jantungnya berdebar hangat, penuh rindu, saat menyebut nama Tuhan. Ia lupa.
~
Benturan Ingatan
Ashera selalu takjub ketika terbangun di dunianya. Dunia mimpi adalah satu lagi misteri milik Pencipta yang tak akan pernah bisa dirangkum manusia hanya dengan satu teori. Dunia mimpi milik Ashera bukanlah dunia mimpi seperti milik kebanyakan orang yang telah menjadi ‘dewasa’. Keajaiban selalu memercik di dunia itu. Di sana tidak ada perputaran waktu, siang dan malam, gugur atau semi. Kau tinggal perlu melangkah satu kali untuk menikmati indahnya gugusan bintang malam di langit bersama kehidupan di dalamnya, mundur kembali satu langkah untuk kembali menikmati hangatnya mentari dan dunia yang disinarinya. Karena siang dan malam adalah dua hal karib di dunia itu; tak pernah saling menjauh atau juga saling bersembunyi. Pernah pula Ashera terbangun dan berdiri di tengah titik dunia empat musim. Semua musim bertemu dalam satu waktu di wilayahnya masing-masing. Juga pernah sekali waktu ia menyelami lautan dalam dan bermain bersama para biota laut; tak perlu takut dikejar ikan karena di dunia Ashera semua makhluk menjadi sahabat; tak perlu takut gelap karena cahaya matahari bersinar hingga ke dasar laut; tak perlu takut mati kehabisan napas karena mimpi tak pernah mengkhianati pemiliknya. Lagi, tidak perlu takut akan rasa sepi karena Cennet, sahabat mimpinya, selalu menemani Ashera dan menceritakan hal-hal hebat.
“Kau tahu, hari ini aku bertengkar dengan teman kelasku, Judith. Dia mendorongku, tanganku tergores karena jatuh. Aku tidak menyukai Judith. Dia orang yang jahat.”
“Hahaha!” Cennet tertawa. Merasa lucu dengan apa yang dikatakan Ashera.
“Kenapa kau tertawa?”
“Temanmu tidak jahat, Ashera. Dia hanya lupa, kalau dia adalah orang baik. Semula setiap anak terlahir hanya dengan membawa satu hal, yaitu kebaikan. Lalu anak-anak itu bertumbuh, yang katanya menjadi ‘dewasa’. Ingatkah kamu, orang dewasa sering sekali menjadi pelupa. Pikirnya, dewasa berarti bertumbuh, berkembang, menjadi orang tua berjanggut dan lalu beruban. Mereka lupa bahwa dewasa yang sebenarnya adalah menjadi satu langkah lebih dekat dengan Tuhan. Orang-orang ‘dewasa’ itu lupa jika waktu kanak-kanak ia tak keberatan berbagi makanan dengan temannya meski dia sendiri masih merasa kurang; juga lupa bagaimana dia dengan ikhlas memberi uang sakunya kepada orang tua renta yang duduk meminta di tepi jalan. Orang dewasa juga banyak kehilangan, termasuk kehilangan ketulusan yang menjadi sahabat setianya sewaktu ia masih bocah. Jika waktu mulai membawamu bertumbuh, ingatlah selalu kanak-kanakmu; yang polos, jujur, tulus, dan juga kuat. Saat itu kamu akan menemukan dewasa yang sebenarnya di dalam dirimu.”
“Jadi itu artinya Judith tidak jahat. Dia sedang bertumbuh ‘dewasa’, tetapi bukan menjadi dewasa?”
Cennet menjawab dengan anggukan sambil tersenyum. Lalu ia kembali menjadi kupu-kupu biru. Tiap kepak sayapnya mengeluarkan debu putih yang bersinar keemasan. Cennet bermain kejar tangkap dengan Ashera, membuat anak putri itu berlari dan melompat di padang berbunga. Kupu-kupu lainnya turut bermain bersama mereka. Milyaran debu berkilau bertaburan di udara. Ashera tertawa begitu bahagia.
~
Lilian, sang ibu baru saja selesai mendongeng kisah Peter Pan: seorang anak lelaki yang tidak bertumbuh dewasa, yang menghabiskan waktunya bermain dan bergembira bersama peri kecil sahabatnya, Tinkerbell, di negeri Neverland. Ashera senang mendengar bagian saat Peter terbang dan mengalahkan Kapten Hook.
“Kamu ingin menjadi apa saat dewasa nanti?” Ibu masih menemani Ashera di tempat tidur. Ia mengelus rambut Ashera.
“Ibu sendiri sekarang sudah menjadi orang dewasa yang seperti apa?”
“Aku? Emm… Ibu menjadi wanita yang cantik, bekerja sebagai dokter yang keren, dan juga memiliki kamu. Gadis kecil cantik yang selalu ingin tahu dan juga banyak tahu.”
Mereka berdua tertawa.
“Tapi kalau begitu, Ibu belum menjadi dewasa, hanya bertumbuh menjadi ‘dewasa’.”
“Maksud kamu?”
“Bertumbuh sekadar dewasa dan menjadi dewasa itu, dua hal yang tidak sama. Kenapa saat dewasa banyak orang menjadi jahat? Itu karena mereka kehilangan ketulusan jiwa kanak-kanaknya. Mereka lupa, betapa baiknya mereka saat masih kecil dulu. Dan saat tiba-tiba mereka tersadar jiwanya merindukan kebaikan, mereka berpikir sedang menerima ilham dari Tuhan, padahal sesungguhnya mereka sedang mengalami benturan ingatan. Mereka menemukan ingatan silam yang hampir memudar, yang memanggil mereka untuk pulang kepada jiwa kanak-kanak itu. Harusnya semakin seseorang dewasa, semakin dia kembali kepada jiwa kanak-kanak yang tulus hati.”
Ibu melihat lama sekali ke dalam mata Ashera. Ia dan ayah Ashera pernah saling tertanya, bagaimana bisa putri kecil mereka mengungkapkan gagasan yang begitu tua. Dari mana ia belajar tentang hal-hal itu, lantas gerangan siapa pula yang mengajarinya.
Karena ibu terus bergeming, Ashera melanjutkan kalimatnya. “Kelak tubuhku dan pikiranku akan menjadi dewasa, tapi jiwaku harus tetap polos seperti kanak-kanak yang baru terlahir. Dewasa bukan berarti Ibu berhasil meraih banyak kesuksesan, tetapi dewasa artinya menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Aku ingin menjadi orang dewasa yang seperti itu.” Ashera memberi senyum manis kepada ibu. “Selamat malam, Ibu.” Ashera memejamkan mata.
Ibu bergegas kembali dari ombak-ombak besar yang tengah menyapu pesisir pantai di kepalanya. “Selamat malam juga, Sayang. Semoga mimpi indah.” Ibu memberi ciuman kecil di dahi Ashera. Ia mematikan lampu, meninggalkan kamar Ashera, dan membiarkan putri kecil itu terlelap.
~
Hal Bernama Terbang
Sore itu begitu indah. Matahari senja bersinar jingga, menjadikan elok semua bunga di taman belakang rumah. Ayah, ibu, dan Ashera duduk bersama di kursi taman dengan meja bundar kecil di tengah mereka. Ayah menikmati secangkir kopi, ibu suka dengan teh hijau madu, dan segelas coklat panas untuk Ashera. Mata gadis kecil itu lekat memandangi gelas keramiknya, sekali ia menoleh melihat matahari. Cahayanya menyilaukan. Ia kembali lagi mengamati gelasnya. Ada bayangan di belakang gelas itu.
“Kenapa dengan gelas kamu, Ashera?” Ibu bertanya.
“Ada bayangan yang sedang bersembunyi di balik gelasku. Ibu tahu, banyak orang yang takut pada bayangan. Bayangan kegagalan, bayangan kesedihan, bayangan kematian.”
“Sepertinya, ayah menjadi salah satu yang penakut itu.” Ayah mengaku.
Ashera tersenyum dan menyentuh pipi ayah dengan tangan kanannya. “Kenapa harus takut? Di mana ada bayang-bayang kegelapan, di sana pasti ada cahaya. Ketakutan itu hanya bayangan yang sedang bersembunyi dari cahaya. Tuhan menjadikan cahaya, tetapi Dia juga menyelipkan bayangan agar kita percaya kalau cahaya itu benar-benar ada. Jadi, kalau Ayah takut pada bayang-bayang itu, cobalah berpaling, Ayah pasti akan melihat cahaya di belakang sana yang sedang menyinari Ayah.” Ashera sekali lagi menoleh melihat cahaya matahari yang telah menipis.
“Ashera, boleh ibu bertanya sesuatu? Dari siapa kamu belajar tentang hal-hal seperti tadi? Ayah dan ibu sering penasaran. Kamu sering mengatakan sesuatu yang membingungkan. Tapi, sekaligus mengagumkan. Kamu seperti bukan anak perempuan berusia 11 tahun, tapi lebih mirip seorang wanita tua bijaksana yang berumur 80 tahun.”
Ashera tersenyum. “Aku belajar dari Cennet.”
“Cennet? Surga?”
“Iya.” Ashera mengangguk. “Cennet pernah berkata kalau dirinya ada di mana-mana. Dia yang memberitahuku banyak hal dan berbisik di dekatku. Dia kupu-kupu biru yang sangat cantik.”
“Apa kami bisa bertemu dengannya?” Ayah bertanya.
“Dia pernah berkata, merindukan Ayah dan Ibu. Dia selalu menunggu di luar pintu hati kalian. Cennet akan masuk dengan sendirinya, saat Ayah membukakan pintu dan mengizinkan dia bertamu. Ayah akan terkejut saat dia mulai bercerita. Hahaha!”
“Kenapa dia merindukan kami juga?”
“Karena dia sahabat kalian. Cennet pernah bercerita kalau kalian berdua sering bermain dengannya saat masih kanak-kanak. Tapi setelah menjadi orang ‘dewasa’, kalian mulai meninggalkan dia dan lupa kepadanya.”
Ayah dan ibu kembali menghening. Mulai bertanya kepada diri masing-masing, benarkah mereka telah melupakan Cennet? Kedua orang dewasa itu memerintahkan otaknya untuk membuka berkas-berkas ingatan kehidupan, kapan terakhir kali mereka mengundang surga di hati mereka. Kapan kali terakhir mereka menjadi kanak-kanak mulia yang selalu gembira berlari mengejar cahaya; menatap setiap kerlip sinar; menyimpannya rapat-rapat dalam tidur malam; hingga esok pagi terbangun sebagai seseorang yang penuh kehangatan. Ah, mereka telah terlalu lama menjadi orang ‘dewasa’ yang dikejar bayang-bayang ternyata.
Ashera berdiri dan keluar dari kursinya. Ia berjalan mengitari ayah dan ibu satu kali. Si gadis kecil tersenyum melihat kedua orang dewasa itu, yang kini tengah larut dalam samudra ideologi mereka. Anak putri itu lalu mencium pipi ayahnya, membangunkan pria itu dari lamunannya. Ia berbisik di telinga pria itu, “Ayah tahu, Cennet berjanji akan mengajakku terbang suatu hari nanti. Jangan menangkapku, ya.” Dominic hanya tersenyum dan lalu mengangguk. “Aku mengasihi Ayah.” Gadis kecil memeluk ayahnya.
Ia menghampiri Lilian, melingkarkan tangannya memeluk bahu wanita itu dari belakang. Wanita itu tersadar dari alam imajinasinya. Ashera berbisik, “Aku akan pergi ke tempat yang belum dapat Ibu datangi. Jadi jangan menemuiku sebelum waktu Ibu tiba. I love you.” Ashera mencium manis pipi ibunya.
Matahari telah terbenam. Ashera mengajak ayah dan ibu berdiri. “Hari sudah gelap. Ayo kita masuk ke rumah. Aku merindukan terang. Kita tinggalkan kegelapan di luar rumah.”
*
Ashera dan Cennet berjalan bersama sambil bergandeng tangan. Banyak kupu-kupu biru mengiringi mereka.
“Cennet, kenapa manusia tidak bisa terbang?”
“Karena terbang, adalah hadiah istimewa dari Tuhan kepada setiap manusia. Kau akan terbang jika telah waktunya bagimu untuk minum teh bersama Tuhan.”
“Aku ingin minum teh bersama-Nya.”
“Kalau begitu, mari kita terbang bersama.”
* * *
Dominic merangkul bahu istrinya, Lilian. Wanita itu ingin melihat nisan ibunya, sebentar lagi saja. Wanita usia senja itu tetap mengagumkan meski dimensia membayangi sisa hidupnya.
Bermimpi dalam Damai. Ashera Huston. 80 tahun. []
~ “Ashera, ayo bangun. Kita terbang bersama…” ~
[1] Surga, dalam bahasa Turki, dibaca Jannet.
[2] P. Sandra D., Annais dan Himm : Filosofi Cinta dari Surga untuk Bumi, CV Jejak, Jawa Barat, 2018, hlm. 28.
Puspita Sandra Dewi, lebih dikenal dengan nama pena, P. Sandra D.
Menulis dan keheningan adalah teman baiknya. Wanita yang menikmati aroma hujan dan tetes gerimis. Pecandu dunia mimpi. Penulis saat ini tinggal di wilayah kota Medan. Bagi pembaca yang ingin berkirim pesan, silahkan kirim email ke puspitasandra25@gmail.com
Kunjungi juga galeri instagramnya, puspitasandra17