Lelang Jodoh dengan Mahar Termahal

Lelang Jodoh dengan Mahar Termahal

 

Ketahuilah, bahwa kekuatan cinta masih berada di atas segalanya.

***

Barangkali memang benar, seorang ayah yang mempunyai anak perempuan yang telah menginjak usia dua puluh empat tahun, pasti merasa risi saat anak perempuannya belum kunjung juga memperkenalkan sosok lelaki yang menjadi pilihan untuk teman hidupnya. Begitu pula ayahku. Selain karena selalu ditanyakan oleh saudara-saudaranya perihal kapan pernikahanku, mungkin Ayah juga ingin supaya aku secepatnya mendapatkan kebahagiaan yang tidak bisa aku dapatkan darinya. Padahal untuk sejauh ini, aku tidak pernah merasa kekurangan atas cinta kasih darinya. Aku akui, dulu aku adalah seorang perempuan yang sering gonta-ganti pasangan hingga terkadang Ayah turut serta menasihatiku untuk tidak lagi melakukannya. Sampai usiaku menginjak titik awal sebuah kedewasaan, aku mengerti bahwasanya arti cinta yang sesungguhnya tidak hanya sekadar rasa suka dan memiliki, namun lebih dari itu. Dan setelah angin mengubah arah pemikiranku, aku tidak lagi menemukan cinta yang sesuai dengan pemikiran yang kumaksud.

Setelah hari itu, entah ada hujan dari mana, banyak lelaki yang sama sekali tidak kukenali berdatangan ke rumah dengan maksud untuk melamarku. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Namun setelah kucermati berulang kali pertanyaan yang dilontarkan Ayah ternyata sama saja kepada mereka, “Berapa mahar yang sanggup kausiapkan untuk anakku?” seakan Ayah melelangku kepada mereka dengan syarat agar menyanggupi mahar setinggi-tingginya.

“Ayah, hentikan semua ini!” Ayah menghentikan langkahnya sesaat setelah ia menolak lamaran dari lelaki yang ke sekian kalinya.

“Diam kau! Ayah seperti ini untuk kebaikanmu juga.” Ia membalikkan tubuhnya dan memandangiku dalam-dalam.

“Kebaikan seperti apa yang Ayah maksud? Ini konyol, Ayah!” Ia tidak menjawab pertanyaanku, melainkan meninggalkanku dengan banyaknya pertanyaan yang belum kutemui jawabannya.

***

Suatu waktu, aku menemui Ayah yang sedang menempelkan kertas karton putih di pintu depan rumah dengan ukuran 2×2 m yang berisikan:

Lelang jodoh dengan mahar termahal

Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya, namun meski sikapnya seperti itu aku harus tetap menghormatinya sebagai seorang ayah. Semakin hari, semakin banyak yang berdatangan dan sudah hampir seratus orang yang dia tolak. Bahkan, ada yang pernah menyanggupi mahar seharga sepuluh miliar dengan tiga rumah baru dan empat mobil BMW, tapi Ayah tetap menolaknya. Aku tidak tahu apa yang diinginkannya. Seperti apa mahar yang cukup untuk membeli hatinya? Apakah seisi dunia? Melihat dari bagaimana sikapnya menolak semua lelaki yang pernah datang ke rumah, mungkin memang seperti itu.

“Ayah, apa yang sebenarnya Ayah inginkan? Tolong jawab pertanyaanku! Setidaknya dengan Ayah menjawab pertanyaanku, aku mengerti seperti apa sosok lelaki yang Ayah maksud untukku.”

“Ayah menginginkan yang terbaik untukmu, Sayang. Biarkan Ayah yang memilih siapa lelaki yang pantas untuk menikahimu.” Ia berusaha meyakinkanku.

“Tapi yang seperti apa, Ayah? Bukankah lelaki yang barusan kautolak itu adalah lelaki yang paling tinggi maharnya? Lalu mengapa kau menolaknya?”

“Itu belum cukup untukmu. Nanti juga kau akan mendapatkan jawabannya sendiri. Percayalah pada Ayah!” ia mengusap kepalaku, sebelum pada akhirnya ia pergi meninggalkanku seorang diri di ruang tamu.

“Tok … tok … tok …” suara dari pintu depan yang baru saja kututup.

“Bisa bertemu dengan ayahmu?” seorang lelaki dengan dua orang yang lebih tua darinya dan mungkin itu adalah kedua orang tuanya. Namun lelaki itu datang tanpa berkendaraan apa pun dan tentu saja dengan tangan kosong. Pakaiannya pun sangat sederhana dan aku sudah menduga bahwa sebelum dia menjelaskan niatnya pada Ayah, Ayah akan langsung menyuruhnya pulang.

“Silakan duduk!” sebelum kupanggilkan Ayah, ia datang dengan sendirinya. Aku pun turut serta duduk untuk menyaksikan semuanya. Siapa sangka seorang lelaki yang tidak membawa apa pun, namun Ayah menyambutnya dengan begitu hangat. Sekali lagi, aku tidak mengerti apa yang ada dalam pikirannya. Entahlah, dia benar-benar membuatku bingung.

“Berapa mahar yang sanggup kausiapkan untuk anakku?” Ayah kembali memberikan pertanyaan yang sama seperti orang-orang sebelum dia. Lelaki itu terdiam sejenak, sedetik kemudian ia memandang Ayah pertanda bahwa ia akan menjawab pertanyaannya.

“Cinta yang tulus. Saya akan memberikan cinta yang tulus kepada anakmu. Sama seperti Bapak memberikan cinta kasih kepadanya, maka saya juga akan melakukan hal yang sama, bahkan mungkin lebih. Harta mungkin bisa dicari di setiap penjuru bumi, bahkan selama langit masih utuh tanah pun siap memberikan hartanya untuk manusia. Tetapi cinta yang tulus tidak mudah kautemui di dunia ini. Aku mengerti bahwa arti cinta dalam pandangan kebanyakan orang itu tidak jauh lebih berharga dari pada harta. Dengan harta seseorang bisa membeli semua isi dunia, tetapi dengan cinta seseorang bahkan bisa membeli seisi langit dan bumi. Aku ingin memberikan cinta itu pada anakmu. Anakmu tidak pantas dibeli dengan harta karena itu terlalu murah, ia hanya pantas mendapatkan cinta, sesuatu yang tidak setiap orang bisa merasakan arti cinta yang sesungguhnya.” Dia memandangku dengan penuh cinta, dari matanya aku melihat sesuatu yang belum pernah kudapatkan dari siapa pun. Aku tidak ingin terburu-buru menyebutnya sebagai cinta, namun entah mengapa, aku menemukan jalan yang selama ini aku cari. Ia memberhentikan seluruh pencarianku dan menitik beratkan hatiku bahwa yang selama ini aku tunggu kehadirannya, ia telah nyata di depan mata.

“Inilah yang sekian lama saya cari untuk anak saya. Kau tidak hanya mendapatkan hati saya, namun dengan hati anak saya pula. Apakah kau akan menerimanya, Sayang?” selama kehadiran banyaknya lelaki yang pernah datang ke rumah, Ayah tidak pernah memberiku pilihan, ia selalu memutuskannya sendiri. Dan ini kali pertama Ayah memberiku pilihan.

“Tentu, Ayah.” Aku tidak tahu ada kekuatan dari mana yang membuatku dengan yakin menerimanya.

“Baiklah, saya memutuskan bahwa acara pernikahan akan segera dilaksanakan.”

“Saya turut bahagia dengan penerimaan lamaran ini, meski sebelumnya kita pernah membicarakan perjodohan ini. Namun, terhambat untuk beberapa waktu karena anak saya masih menjalankan pendidikannya. Terima kasih untuk semuanya.” Ayah dari lelaki itu menyodorkan tangannya pada ayahku, pertanda perjodohan yang selama ini tidak kuketahui telah mereka sepakati dengan persetujuan dariku.

“Ketahuilah, ini adalah lamaranku yang keseratus kalinya. Namun aku baru sekarang menampakkan diriku yang sebenarnya dengan membawa kedua orang tuaku.” Ia berbisik padaku sebelum pada akhirnya semua mahar yang pernah dibawa oleh para lelaki yang sebelum dia itu berdatangan semua menuju rumahku.

-Sukabumi, 1 September 2018.


Ulfah Mawalatul Khoiriyah, akrab disapa Khoi. Kelahiran 01 Juli 2000. Penyuka hujan, senja, kopi manis dingin dan kucing. Ia bisa dihubungi melalui facebook (Ulfah Mawalatul Khoi) dan e-mail: ulfahmawalatulkhoiriyah@gmail.com. Penulis buku solo antologi puisi, “Kata yang Tidak Pernah Aku Istirahatkan” dan antologi cerpen yang berjudul “IN-LOVE-NIA” bersama Nanda Insadani.

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.