Hunian Sementara

Hunian Sementara

Dunia ini hanya tempat persinggahan saja, bukan?

***

Bagaimana caranya aku bisa mengerti apa yang mereka semua rasakan? Jika aku harus memahaminya satu per satu, sanggupkah aku? Rintih tangis penuh kesedihan, tawa dan senyum yang memaksa, apakah semua itu hanya sandiwara? Wajah yang rapuh dan layu itu, apakah semuanya palsu?

“Kau masih terlalu muda untuk memahaminya?”

“Saya?”

“Nanti kau juga akan mengerti kalau sudah seusiaku ini.”

Aku mendengus kesal sebab jawaban itu tak pernah kudapatkan. Semuanya seperti masih rahasia dan akan kuketahui nanti, kelak jika sudah menua. Seraya mencari jawaban yang masih mengambang, mataku melirik rajutan setengah jadi yang sedang dirajut Nek Lun. Anehnya jari jemari Nek Lun yang keriput mampu merajut dengan sangat cekatan dan rapi. Berbanding terbalik dengan aku yang tak dapat melakukan apa pun dengan sempurna.

“Apakah gadis muda sepertimu tak ingin pergi ke suatu tempat?” Nek Lun bertanya saat aku masih termenung memerhatikan kegiatan rajutnya.

“Tempat apa?”

“Tempat selain panti jompo ini?”

Sontak pertanyaan itu membuat hatiku ngilu. Jika dipikir-pikir, di luar sana memang banyak sekali tempat-tempat yang menakjubkan untuk dikunjungi. Aku bisa menikmati masa muda yang mengasyikkan. Menatap matahari senja di tepi pantai. Menikmati makanan enak seraya mendengarkan alunan musik syahdu. Berjumpa dan berteman dengan banyak orang. Mencari tantangan atau mengunjungi situs peradaban dunia yang masih tertinggal. Semua itu memang tawaran duniawi yang akan membuat siapa pun terlena.

Sementara di sini, yang kujumpai hanya jiwa yang siap untuk pergi. Pasrah akan takdir yang tak dapat ditolak. Seperti menanti musim gugur untuk layu demi memberikan kehidupan yang baru.

“Mungkin Nenek benar…” jawabku lesu. “Tapi, saya memilih untuk belajar hidup di sini.”

“Apa yang bisa kau pelajari dari kami? Orang-orang tua ini?” nada suara Nek Lun meninggi. “Kau hanya buang-buang waktu dan masa mudamu!”

“Tidak!” bantahku cepat. “Karena itu saya ingin tahu apa yang Nenek rasakan saat ini? Saya ingin tahu karena nanti, suatu saat nanti, saya pun akan mengalaminya. Waktu itu akan menjemput saya dan mengubah segalanya tanpa bisa saya tolak.”

Nek Lun menghentikan kegiatan merajutnya dan beralih menatapku tajam. “Seperti kau siap saja menjadi tua dan keriput sepertiku ini?”

“Jika Yang Kuasa berkehendak…”

“Kau masih belum bisa merasakannya. Bagaimanapun belum bisa. Perasaan ini hanya akan kau rasakan jika sudah tua nanti.”

“Kalau begitu biarkanlah saya menyelami perasaan Nenek saat ini agar saya mengerti dan turut merasakannya. Waktu-waktu lalu yang tak dapat diulur lagi. Waktu-waktu ini yang tak akan terulang lagi, dan waktu-waktu esok yang belum diketahui. Setidaknya itu akan menjadi pengalaman yang tak bisa saya temukan di luar sana.”

Nek Lun tersenyum, membuat garis keriput di wajahnya semakin tampak jelas. Ada pesan yang tersirat dari senyum itu, tapi aku tak bisa menemukan artinya. Seolah hanya angin lalu, Nek Lun kembali melanjutkan aktivitas merajutnya.

Aku pasrah. Kejadian seperti ini sudah terjadi berulang-ulang kali sejak aku datang ke sini. Setiap kejadian dan ucapan yang pernah kami bicarakan akan lenyap seketika dalam ingatannya. Tak ada yang tersisa selain kejadian esok dan esok lagi yang kemudian akan kembali terlupakan.

***

Gelak tawa memenuhi ruang keluarga di mana para lansia sedang berkumpul. Di sudut ruangan, aku berusaha menjadi pendengar yang baik dengan menyimak setiap cerita yang mereka ulas kembali. Para pendongeng yang amatir namun penuh pengalaman, saling menceritakan kembali kehidupan mereka di masa lampau. Aku mencoba membawa pikiranku menembus waktu dan ikut terlibat dalam alur kisah yang samar-samar.

“Kau terhibur?” tanya Nek Lun saat aku tengah asyik membawa pikiranku menembus kisah yang diceritakan.

“Ah, ya… Saya rasa begitu. Menyenangkan bisa mendengar pengalaman hidup orang lain, terutama mereka-mereka yang pernah menjelajahi hampir separuh bumi.”

“Iya. Setiap pengalaman hidup manusia memang layak untuk dikenang. Tak ada satu pun kenangan yang tak berharga. Hanya di tempat inilah kami yang sudah dimakan usia, bisa kembali hidup dan berkumpul. Berbagi kisah perjalanan hidup yang sementara ini.”

“Iya… Saya tahu.”

“Oh, Nak, kau masih terlalu muda untuk memahaminya?”

Lagi-lagi Nek Lun berkata begitu. Beliau selalu menganggapku tak tahu apa-apa tentang dunia yang kujalani selama ini. Meski usiaku belum mencapai separuh dari hidup yang dijalaninya, tapi aku ingin mengerti arti kehidupan yang sebenarnya.

“Apa Nenek punya kenangan indah yang tak pernah terlupakan?” tanyaku.

“Kau tak bisa berharap apa-apa karena semua kenangan itu perlahan menghilang dari ingatanku. Sekarang ini aku hanya ingin menghabiskan sisa waktuku dengan hidup bahagia. Siapa yang tahu kalau esok aku akan pergi ke tempat lain? Dunia ini hanya tempat persinggahan saja, bukan?”

Saat berkata begitu, Nek Lun terlihat tabah sekali. Aku tahu perasaan beliau. Tua dan kematian memang takdir yang tak bisa ditolak. Tak peduli duluan mana yang menjemput, ketakutan itu tetap ada karena sejatinya manusia pasti memikirkannya.

***

Wajah Nek Lun terlihat pucat. Sepanjang hari beliau hanya terbaring di tempat tidurnya. Tangannya yang selalu terasa hangat, kini mendingin.

“Jangan tatap aku seperti itu.” ujar Nek Lun ketus. “Tubuh ini hanya tak mematuhi apa yang kupinta saja.”

“Lebih baik Nenek ke rumah sakit.” pintaku.

“Tidak perlu. Bagiku panti ini adalah tempat terakhir yang ingin kutinggali. Aku tak mau pergi ke mana-mana lagi.”

Seperti bernafas di dalam air, dadaku terasa sesak. Air mata yang sedari tadi kutahan, perlahan mengalir membasahi pipiku. Rasa sakit merajang sekujur tubuhku. Aku tahu waktu seperti ini akan datang, tapi tak kusangka akan secepat ini.

“Apa yang kau tangiskan? Kalaupun akan berpisah, kita masih bisa bertemu lagi di dunia sana. Meskipun entah sampai kapan atau butuh waktu berapa lama, tapi percayalah.”

“Kenapa? Kenapa Nenek masih tenang-tenang saja?” isakku.

“Kan sudah kubilang kau masih terlalu muda untuk memahaminya. Bagiku kematian hanya soal waktu. Sebaliknya, kau yang masih muda harus menjalani hidupmu dengan sebaik-baiknya. Syukuri apa yang kau miliki saat ini karena esok mungkin kau tak akan bisa memilikinya lagi. Ngomong-ngomong aku belum tahu alasan kenapa kau memilih menghabiskan masa mudamu di panti jompo ini?”

Aku terdiam dan berusaha untuk mencari jawaban yang sekiranya mudah dipahami Nek Lun.

“Tak ada alasan khusus. Saya hanya ingin memahami perasaan mereka yang mungkin terlupakan bagi sebagian orang. Mungkin dengan begitu saya merasa hidup ini berguna untuk mereka yang tak bisa berbuat banyak di masa tuanya. Anggap saja pengorbanan.”

“Jangan terlalu memaksakan dirimu untuk memahami setiap perasaan orang lain. Kau tak akan sanggup karena pemikiran orang itu berbeda-beda.”

“Eh? Jadi selama ini Nenek menyadarinya?”

“Tentu saja. Kau terlalu memaksakan dirimu untuk memahami perasaan semua orang. Sekalipun palsu atau sandiwara, orang tua seperti aku ini akan berusaha untuk terlihat bahagia meski sebenarnya terluka. Perasaan itu cukup rumit untuk dipahami gadis muda sepertimu. Ada banyak hal yang tak bisa kau pahami meski telah kau pelajari. Itulah yang dinamakan hidup dan kau jangan menyesalinya.”

Ucapan Nek Lun membuka pemikiranku tentang bagaimana cara memahami perasaan para lansia. Meskipun tangis dan senyum itu hanya sandiwara, tapi itulah cara mereka untuk bahagia. Mungkin dengan begitu pula mereka bisa menghibur diri dari kemelut sepi.

“Sejujurnya aku senang saat kau datang kemari. Kehadiranmu seperti membawa angin segar di antara dedaunan kering. Terima kasih sudah meluangkan waktumu untuk mengurus kami di sini.” ucap Nek Lun dengan senyum teduhnya.

“Tidak. Sayalah yang harus mengucapkan terima kasih atas pengalaman berharga yang telah kalian berikan.”

Senyum Nek Lun yang mengembang perlahan meredup. Kugenggam jari-jemarinya yang terasa semakin dingin. Tarikan nafasnya mulai tak terdengar. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat ini, tapi aku tak ingin melepaskan tangan beliau.

Sosok Nek Lun yang telah tertidur dalam keabadian hanya mampu membuatku terpana. Waktu memang mengerikan. Hanya dalam sekejap, semuanya telah lenyap. Esok aku akan menjalani hidup dengan membawa kenangan yang beliau tinggalkan. Mungkin juga esok giliranku untuk meninggalkan kenangan. Bagaimanapun dunia ini hanya hunian sementara dan tempat persinggahan, kan?

***


Penulis yang akrab di sapa Naya, lahir di bumi Khatulistiwa, Pontianak. Berawal dari hobi membaca hingga akhirnya mulai suka menulis. Masih berkeinginan untuk terus berkarya dalam dunia literasi.

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.