Puntung Terakhir

Puntung Terakhir

Tak luput, kedatangannya memang selalu menarik perhatian. Bagaimana tidak? Wanita itu berbeda dari perempuan desa lainnya. Dia adalah Ladia, berprofesi sebagai tukang pijat, masih lajang, dan selalu menjadi pusat perhatian. Bukan karena berpenampilan cantik, namun sebaliknya. Ladia terlihat seperti preman, wajah manisnya menjadi tenggelam oleh bajunya yang kebesaran dan kusut, seperti tak pernah disetrika. Saat gadis desa lainnya bersolek untuk mencari perhatian lelaki, Ladia akan pergi ke pasar dengan wajah tak mandi dan celana sobek sana-sini.

Ladia jarang terlihat di tempat umum. Tempat yang agak sering dia kunjungi adalah pasar. Karena terlalu terbiasa, Ladia hanya menggaruk telinga saat bisik-bisik terdengar dari balik punggungnya. Habis dari pasar, Ladia langsung pulang. Dia sengaja tak membagi waktunya untuk arisan para gadis atau semacamnya, bisa berbahaya jika ada orang dengan tulang yang bergeser tengah menantinya saat dia asyik bergosip dengan ibu-ibu tetangga.

Para tetangga berpendapat bahwa rumah Ladia terlihat menyeramkan. Kata mereka, jika hening maka terlihat mencekam, jika tidak hening maka ramai oleh teriak kesakitan. Ladia tak peduli, toh mereka akan masuk tanpa diminta saat mengantar anaknya yang baru jatuh. Bagi orang yang objektif, sebenarnya tak ada yang salah dengan Ladia, kebaikannya hanya tertutupi oleh penampilan luarnya. Apalagi saat sedang sepi pelanggan, Ladia akan bersantai di teras rumahnya dengan rokok di sela jarinya. Seperti sore ini, Ladia mengisap dalam-dalam rokoknya saat Pak Tua lewat dan berhenti sejenak.

“Ladia, berhentilah merokok! Bahaya!” kata Pak Tua.

“Kau sendiri, Pak Tua?” jawab Ladia santai seraya mengedikkan dagunya ke arah saku Pak Tua. Pak Tua terdiam sejenak sebelum menjawab, “Terserah kaulah.” sebelum akhirnya pergi. Dan percakapan itu akan berulang lagi jika Pak Tua mendapatinya merokok.

“Ladia!”

Suara mendayu nan anggun itu milik teman Ladia, yaitu Intan. Teman perempuan Ladia satu-satunya. Cantik, anak juragan buah, lalu baik. Entah bagaimana mereka bisa berteman dekat, Ladia pun lupa. Mereka hendak masuk jika suara berat tidak menghentikan mereka.

“Selamat sore, semua!”

Dia Budi, teman Ladia lainnya. Rambutnya ikal, tinggi, dan matanya teduh. Mereka bertemu pertama kali di rumah Ladia, dengan Budi yang berteriak karena kakinya keseleo. Ladia tersenyum senang. Tak perlu banyak-banyak, dia cukup bahagia memiliki dua teman. Teman yang sama-sama tuli saat orang-orang sibuk bertanya kenapa mereka suka berteman perokok dan mirip preman.

Hari-hari Ladia dan warga desa berjalan seperti biasa sebelum hari itu. Hari yang sangat bersejarah, dan tak akan pernah dilupakan para tetangga. Tepatnya Senin, di pasar, pada pagi hari, Ladia seperti orang kesetanan mencari Intan yang tengah menawar ikan. Dan…

Plak!

Ladia menampar Intan dengan keras disertai wajah marah. Intan mematung saking kagetnya kaget. Bu Sitti, si penjual ikan, berteriak spontan melihat kejadian tepat di depan matanya. Penghuni pasar sama kagetnya. Sekeliling Ladia hening, mereka menunggu dan bertanya-tanya dalam benak masing-masing. Mungkinkah mereka sedang bersandiwara? Atau Ladia sedang memberi kejutan seperti di tivi agar mereka kaget?

“Jadi begitu balasan pertemanan kita, In? Aku tak ingin mengatakan ini tapi kau memang pelacur! Dasar hina! Pintar benar kau bersandiwara, kalian berdua sama saja! Rendahan!” dan kata-kata kasar lainnya yang membuat penghuni pasar terperangah. Intan menunduk lalu menangis. Namun Ladia semakin kalap melihatnya. Dia mendorong Intan dengan kasar sampai terjatuh. Warga yang sadar bahwa itu bukanlah sandiwara segera melerai mereka. Tapi Ladia masih emosi, mulutnya sibuk mengumpat melihat Intan yang menangis dan menggumamkan kata maaf. Wajah Ladia semakin merah saat para ibu menyuruhnya berhenti, ada pula yang mengatainya.

“Ladia itu gila ya? Jelas sekali premannya. Kasihan sekali Intan. Pasti Intan menyesal itu…”

“Aku sudah memperingati Intan jangan dekat-dekat Ladia, nanti emasnya dicuri lagi!”

“Intan masih minta maaf padahal Ladia yang salah..”

“Dengar-dengar sih Ladia itu anak haram…”

Saat itulah Ladia berteriak kencang. Dia membebaskan dirinya dari cengkeraman banyak orang lalu berbalik pergi. Ladia pergi seraya berusaha menghapus air mata yang tak kunjung berhenti. Namun malangnya, detik itu warga sudah memberi cap tersangka pada Ladia dan Intan sebagai korbannya.

Sambil menunggu kedatangan senja, Ladia mengembuskan asap rokok dari hidungnya. Walau terkesan tak peduli, sebenarnya hatinya tengah gundah. Masalah yang dia kira telah selesai malah membesar. Saat ini tak ada yang tak tahu kisah tamparannya. Sudah empat hari sejak peristiwa itu dan Ladia telah melewati banyak hal sulit.

Sore hari setelah keributan di pasar, Pak Toha, ayah Intan, diikuti orang-orangnya datang ke rumahnya dengan wajah merah padam. Belum sempat memberi salam, sebuah tamparan mendarat keras di pipi kirinya.

“Kalau saja kau laki-laki, kubunuh kau!”

Pak Toha pergi setelah mengatakan itu.

Keesokan harinya, sebuah berita hangat menyebar.

“Ternyata… Ladia itu cemburu pada Intan. Ladia menyukai Budi tapi si Budi cintanya pada Intan dan mereka menjadi sepasang kekasih. Intan sungguh tak tahu jika Ladia menyukai Budi makanya dia bilang ‘maaf… maaf…’ terus waktu itu. Jadi, Ladia itu benar-benar tak tahu diri ya?”

Bahkan Nyah, si penjual tempe, sengaja menyaringkan suaranya dan mendengus jijik saat Ladia lewat di depannya.

“Kau sih… banyak bertingkah!” Bu Entun sibuk ngomel seraya memasukkan sayur mayur ke plastik. Ladia memberi senyum kecut. Hanya Bu Entun yang masih sudi melayaninya saat penjual lain sibuk memalingkan muka dan tak peduli, terutama penjual buah, mereka tak lelah memaki-maki.

Keesokannya lagi, Bu Entun ke rumahnya dengan omelan lebih panjang daripada yang kemarin. Bu Entun dicium sebuah sepeda motor saat hendak pulang dari pasar. Bukannya menolong, si pengendara sempat-sempatnya berkata, “Sok baik ngelayanin Ladia sih! Kena kan?”

“Kau sih… masih banyak kok orang ganteng. Kenapa malah ingin rebut pacar orang? Pacar anak juragan lagi! Pacaran saja sama anakku tuh. Ucok tak jelek-jelek amatlah!” omelnya di sela ringisan akibat tangan Ladia.

Hari ketiga, orang paling tak ingin Ladia lihat datang dengan mata sembab. Dia adalah Intan. Ladia langsung kehilangan selera merokoknya setelah melihat wajah orang itu. Ladia lekas berdiri, bersiap akan menendang Intan jika dia berani menginjak terasnya. Masa bodoh Intan hanya berdiri di halaman. Tetangga mulai keluar dari rumah masing-masing, penasaran.

“Maafkan aku, Ladia…”

Hening. Para penonton tak berani bersuara, takut melewatkan setitik suara mereka berdua. Tapi penonton harus kecewa, karena tanpa berkata apa pun, Ladia berbalik masuk ke rumahnya.

Dan hari ini, Pak Tua lewat. Dia berhenti sejenak untuk menyapa Ladia. Namun kali ini kalimatnya berbeda.

“Ladia, katanya kau suka Budi?”

Ingin rasanya Ladia berkata kasar, namun di depannya adalah Pak Tua. “Cepat pulang, Pak Tua.. sudah mau malam.”

“Mending suka Abang dia saja. Kau tahu Abangnya tentara?”

Dan Pak Tua berlalu.

Dan kisah terakhir Ladia akan habis malam itu. saat tetangga masih tertidur, bahkan fajar pun masih lama untuk menampakkan diri. Ladia sedang menghisap rokok ketiga seraya menikmati suara hewan malam. Ladia menutup matanya. Sejam yang lalu, Intan diam-diam menemuinya.

Intan memulai pembicaraan, dengan nada seakan tak ada masalah apapun di antara mereka. “Mas Budi akan pulang besok…”

Oh.

“Dan dia tak mau mendengar masalah seperti ini, dia capek.”

Lalu apa masalahku?

“Lagi pula kau yang bersalah di sini. Memang apa yang bisa kulakukan? Mereka juga tidak akan percaya walau kukatakan yang sebenarnya. Walau sambil menangis tersedu aku berkata ‘sebenarnya aku yang bersalah, aku yang merebut Budi dari Ladia.. Budi adalah kekasih Ladia dan aku menggodanya diam-diam’, tak akan ada percaya. Malah kuyakin akan ada rumor bahwa aku hanya ingin melindungimu karena aku sangat menyayangimu. Seharusnya kau sangat paham dengan situasinya, benar kan, Ladia?”

Padahal aku akan mengalah jika kau berkata dengan jujur, tanpa menusukku dari belakang. Itu suara hati Ladia.

“Kau tahu posisimu kan, Ladia? Kau adalah pihak yang kalah di sini. Ladia, jawab aku!”

Tapi Ladia terlalu malas untuk membuka mulutnya. Dia masuk tanpa suara, menunggu Intan pergi dari rumahnya.

Rokoknya hampir habis. Ladia merasa kesemutan. Merasa waktu yang tepat, dengan rokok terselip di bibir, tas yang tergeletak di samping kakinya dia ambil. Sudah tak berselera, Ladia membuang rokoknya lalu menginjaknya. Lupakan Budi, lupakan Intan yang satu jam lalu baru saja membuka wajah aslinya.

Saatnya pergi. Desa ini bukan kebahagiaan yang dia cari.


Durroh Halim, lahir tahun 2000, sudah menjadi seorang mahasiswi pendidikan matematika tahun ini. Dia juga dan masih hobi membaca. Jika ingin menghubunginya bisa melewati akun facebook dengan nama akun Durroh Haliim atau nomor hp 082333531061

Facebook Comments

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.