Harga Sebuah Kesetiaan
Kau tahu berapa harga sebuah kesetiaan? Bagi seorang wanita, apalagi yang sudah pernah merasakan melahirkan seorang jabang bayi, bahkan hingga berlusin-lusin anak. Harga sebuah kesetiaan bagi mereka ialah sama halnya dengan harga kematian. Nyawa dibayar dengan nyawa, perselingkuhan dibalas dengan perselingkuhan, pengkhianatan merupakan hal yang patut dibayar mahal bagi sang pelaku.
Sepele saja jika perselingkuhan hanya dibalas dengan hal yang sama. Karena fenomenanya saat ini, perselingkuhan banyak yang dibayar dengan nyawa. Pembunuhan menjadi kasus yang lumrah di zaman sekarang, bukan hanya bagi mereka yang sudah bertahun-tahun menjalani hidup bersama, tetapi ada juga yang masih pacaran, ketahuan kekasihnya main serong, maka seketika itu juga nyawa akan sebegitu murah harganya.
“Rumput tetangga memang lebih hijau,” begitu kata Supardi. Lelaki berusia 45 tahun yang sudah dikaruniai empat orang anak. Sudah 25 tahun dia membina rumah tangga dengan seorang gadis desa, yang dulu merupakan sosok tercantik di kampungnya.
“Sumarni, istriku. Sekarang sudah tak cantik lagi seperti dulu. Lihat saja, setiap hari memakai daster. Lemak di tubuhnya sudah menjalar dimana-mana. Aku ingin cari daun muda, Bar !”
Bari, teman dekatnya sejak SMA tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Supardi. Kopi yang hendak diseruputnya batal ia minum, diletakkannya lagi di atas meja.
“Kau tidak takut kualat, Par?” tanya Bari, tangannya meraih kembali gagang cangkir kopi yang tadi batal diminum.
“Maksudmu kualat bagaimana?” Pardi ikut-ikutan menyeruput kopi yang tinggal setengah cangkir.
“Risikonya besar, Par. Kalau istrimu sampai tahu, bisa dicerai kau nanti,” Jawab Bari.
“Oh ya? Tapi kuperhatikan kau aman-aman saja, Bar. Istrimu sudah dua, dan sekarang kau masih main daun muda, apa mereka juga tidak marah?” Pardi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Bari kembali tertawa terbahak-bahak.” Itu karena mereka perempuan yang penurut, Par. Dirayu saja pakai uang, perhiasan, serta janji-janji palsu, mereka sudah bertekuk lutut.”
Supardi hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban Bari. Temannya yang satu ini memang pandai menaklukkan hati wanita.
“Aku pun ingin seperti kau, Bar ! dapat menaklukkan hati perempuan-perempuan cantik. Aku bosan dengan lemak-lemak di tubuh Sumarni, juga aroma bawang yang setiap kali kucium saat pulang kerja.”
Bari menepuk pundak sahabatnya. Ia membisikkan sesuatu di telinga Supardi. “Jangan sampai telat ya, Par. Gunakan pakaian terbaikmu, belilah kau parfum, jangan bau bawang pula kau nanti.” Ucap Bari seraya beranjak meninggalkan kedai.
Supardi bersungut-sungut dikatakan bau bawang, tapi dalam hati ia amat senang. Mulai malam ini kehidupannya yang membosankan akan segera berubah 180 derajat.
Malamnya Supardi menepati kata-kata yang diucapkan siang tadi di kedai kopi. Ia mengenakan kemeja berwarna abu-abu gelap, celana panjang hitam, dan sepatu kets, sudah mirip seperti anak muda lagi. Rambut yang biasanya dibiarkan kering dan kusut, kini sudah disisir rapi lengkap dengan minyak rambut aroma buah leci. Sudah lama sekali ia tak merasa setampan ini. Lalu ia berpamitan pada sang istri, mengatakan bahwa malam ini ia akan bertemu orang penting untuk urusan bisnis menjanjikan. Tentu saja kedua bola mata Sumarni bersinar layaknya bulan purnama, padahal malam itu sedang bulan sabit. Mendengar kalimat suaminya barusan, ia senang bukan kepalang. Dirapikan kerah baju Supardi berkali-kali, memastikan bahwa suaminya sudah tampil sebaik mungkin.
Tepat pukul delapan, mobil Bari sudah terparkir di halaman rumah Supardi. Tanpa rasa curiga sedikit pun, Sumarni mengantar kepergian sang suami.
Mobil yang dikendarai Bari melaju pelan, menembus jalanan kota yang macet. Sesekali Supardi bercermin merapikan rambut klimisnya. Bari hanya tertawa melihat tingkah laku Supardi, ia masih terlalu lugu untuk urusan satu ini.
Sesampainya di sebuah kafe, mobil tersebut berhenti. Supardi celingukan, melihat banyak pasangan berlalu-lalang di hadapannya.
“Bar, kau tidak salah mengajakku ke sini? Aku kan tidak membawa pasangan,” kata Supardi.
“Tenang saja, Pardi. Tidak lama lagi kau juga kan dapat pasangan yang jauh lebih cantik dan seksi daripada istrimu Sumarni,” Bari meraih ponsel di sakunya. Menelepon seseorang, menanyakan keberadaannya. Tak lama kemudian Bari mengajak Supardi masuk ke dalam kafe.
Bari mengambil tempat di sudut ruangan. “Sebentar lagi mereka akan datang, Par.” Ujar Bari, ia memanggil pelayan kafe untuk memesan minuman.
Tak lama kemudian tampak Bari melambaikan tangan, entah pada siapa. Ternyata dua orang wanita bergaun seksi berjalan menuju tempat mereka duduk.
Bari segera berdiri, menyambut kedatangan dua wanita tersebut. Memeluk dan mengecup kedua pipi mereka bergantian.
“Kenalkan, ini sahabatku Supardi. Bisa panggil Par, Di, atau Pardi,” Bari mengenalkan dirinya pada dua wanita tersebut.
Wanita dengan gaun merah menyalami Supardi, tersenyum. “Kenalkan, namaku Shely. Aku kekasih Bari, lebih tepatnya kekasih gelap,” ucapnya sambil tergelak.
Supardi menatap tubuh Shely yang aduhai. “Memang luar biasa si Bari, bisa dapat wanita secantik ini.,” bisiknya.
“Nah, ini sahabatku Arinda. Panggil saja Arin,” Shely menyenggol tangan wanita cantik di sampingnya.
“Iya cantik, seksi lagi,” ucap Supardi sambil menjabat tangan Arin.
Spontan mereka tertawa mendengar celetuk Supardi. Ia menunduk malu, padahal bukan itu yang ditanyakan.
Mereka pun duduk berempat, menikmati hidangan yang sudah dipesan oleh Bari. Mata liar Supardi tak henti-henti memandang Arin. Jika dibandingkan dengan istrinya, Arin tentu jauh lebih segalanya. Sumarni berbadan penuh lemak, sedangkan Arin langsing dan seksi. Sumarni bau bawang, bercampur keringat, Arin beraroma harum semerbak. Sejenak hilang sudah wajah seorang istri yang sudah bertahun-tahun menemani hidupnya. Digantikan dengan rayuan setan yang kini berkecamuk di hati Supardi.
Hari terus berganti, Supardi makin lama makin sering pulang larut malam, bahkan hingga pagi. Jika ditanya oleh istrinya, ia hanya menjawab “ada urusan bisnis”. Sementara di luar sana, ia sibuk menghabiskan waktu bersama Arin. Makan di restoran mahal, menginap di hotel, hingga jalan-jalan ke luar negeri. Lama-kelamaan Sumarni mencium gelagat busuk suaminya, dan lagi uang tabungan kian terkuras, anak-anak mulai berkicau menanyakan perilaku bapaknya yang berubah drastis.
Suatu malam, Sumarni nekat ingin menyelidiki suaminya. Ia meminta bantuan pada Sumi, teman arisannya. Sumi punya banyak kenalan, dengan mudah ia bisa menyewa mata-mata dan menemukan keberadaan Supardi. Supardi yang malam itu sedang mabuk berat, dituntun Arin menuju sebuah hotel.
Sumarni melabrak mereka, mencaci maki habis-habisan suaminya dan wanita simpanannya. Supardi sedikit pun tak merasa berdosa, ia mengancam akan menceraikan Sumarni jika ia mencoba melawannya.
“Ingat ya, Bang. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Selama ini aku sudah setia padamu. Aku rela meninggalkan karierku dan menjadi ibu rumah tangga demi kau dan anak-anak. Tapi apa balasanmu, bang?” Sumarni menangis tersedu, memukul-mukul pundak Pardi.
“Aku sudah bosan denganmu, Marni ! aku tak tertarik lagi denganmu yang sudah tua, dan gemuk ! aku ingin wanita muda yang cantik dan seksi. Pulanglah kau, jika kau tak terima, aku akan segera menceraikanmu !” Supardi mendorong tubuh Sumarni keluar kamar. Lalu kembali menutup pintu rapat-rapat.
Sumarni terisak, hatinya perih. Ia tak pernah menyangka kesetiaannya selama ini akan dibalas pengkhianatan. Sumi tak kuasa melihatnya, kemudian mengajak Sumarni pulang.
Dengan hati yang diliputi amarah dan dendam, keesokan harinya Sumarni menyuruh keempat anaknya pulang ke rumah orangtuanya di kampung. Sementara ia tetap tinggal, menanti hingga kepulangan suaminya. Ia tak ingin anak-anak menyaksikan pengkhianatan bapaknya.
Benar saja, malamnya Supardi pulang. Wajahnya kuyu, sehabis mabuk. Dia mengetuk pintu, namun ternyata tidak terkunci. Supardi segera menjatuhkan diri di sofa.
“Sudah pulang, Bang?” Sumarni menatap suaminya yang hampir saja terlelap.
“Eh, kau. Kukira kau sudah tak sudi lagi berada di rumah ini,” jawab Supardi asal.
Sumarni duduk di samping suaminya, memijat lembut bahunya. “Mau dibuatkan teh, bang? Sepertinya abang lelah sekali.”
Supardi mengangguk, mengiyakan.
Bergegas Sumarni pergi ke dapur membuatkan segelas teh.
“Ini bang tehnya. Biar istirahatnya bisa lebih tenang,” Sumarni menyodorkan gelas tersebut pada suaminya.
“Baik sekali kau, Marni. Sudah lama sekali aku tak minum teh buatan kau.”
Seketika Supardi menghabiskan teh tersebut. Dalam hitungan menit, tiba-tiba ia merasa perutnya sakit seperti ditusuk-tusuk, pandangannya kabur.
“Marni, perutku sakit sekali. Pandanganku gelap, aku tak bisa melihat,” Pardi meraba-raba mencari sosok istrinya.
Dalam kepanikan, terdengar suara tawa nyaring Sumarni.
“Bagaimana rasanya, bang? Nikmat bukan? Sebentar lagi maut akan menjemputmu, kau bisa istirahat untuk selama-lamanya,” suara Sumarni menggema.
“Kurang ajar kau, Marni ! Kau apakan aku? Apa yang kau campurkan ke dalam teh yang kuminum?”
“Tidak usah banyak cakap kau, bang ! Kau pantas untuk mati, inilah balasan yang setimpal untuk pengkhianat sepertimu !” ucap Sumarni, tawanya kembali mengisi seluruh penjuru ruangan.
Supardi sudah tak tahan lagi, tubuhnya jatuh ke lantai, dari mulutnya berlumuran buih. Nafasnya terasa sesak, ia tak menyangka istrinya akan melakukan hal senekat ini. Menjelang sakaratul maut, samar-samar Supardi melihat wajah istrinya yang telah bertahun-tahun setia menemani dalam suka dan duka.
“Maafkan aku, Marni.” Ucap Supardi lirih. Seketika semua menjadi gelap dan sunyi.
Nama lengkap Tunjung Feti Sari. Lahir di Muba, 20 Oktober 1993. Saat ini berdomisili di Taman Dramaga Permai 4, Jl.Meranti 12 no 1 blok i.9 Kecamatan Ciampea Kota Bogor, kode pos 16680. Saat ini sedang aktif di sebuah komunitas penulis yaitu Forum Lingkar Pena. Akun media sosial saya, email : tufesa.feti93@gmail.com, facebook : Neng Feti, instagran : @tufesa_feti. Kontak yang bisa dihubungi 081272315378.