Lembar Monokrom
Banyak yang berubah. Yah, sangatlah banyak. Batin Lelaki itu.
Ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, atau jutaan. Lelaki itu menganga. Tak dapat memperkirakan jumlah cahaya lampu di hamparan teluk kota Palu dari jendela pesawat. Sudah lima tahun lamanya lelaki itu pergi meninggalkan kota ini. Sanak keluarga tak perlu resah dalam doa, penuh terka tentangnya. Sebab tas hitam tergenggam di pangkuannya kini berisi ijazah. Tak seperti beberapa rekannya yang kembali ke kampung halaman membawa serta anak-istri.
Ia melangah keluar. Tangan kanan menarik koper dan lainnya mengimpit rokok belum menyala saat mobil berpelat merah mendapatinya di depan lobi Bandar Udara Mutiara Sis Al-jufrie. Lelaki itu memesamkan senyum, ia tahu di dalam mobil negara itu adalah keluarganya. Penuh gejolak rindu di dada, Lelaki itu berlari memeluk satu-persatu mereka. Sedikit perasaan sendu mencipta kaca di matanya.
Di perjalanan, kendaraan roda empat itu memutar arah kiri setelah melewati kapsul jalan dua jalur. Mereka masuk ke jalan yang menjulur lurus, Ngata Tamalanja kini bernama jalan Anoa 1. Tarikan bibir menambah senyum di wajah lelaki itu. Apalagi ketika ia menoleh ke arah kiri jalan setelah beberapa saat. Masjid Al-Mustaqim, terlihat lebih megah, lebih besar dan lebih indah karena hiasan cat didominasi warna emas. Masjid itu adalah tempatnya menabung ilmu tentang agama. Tentang cinta pertamanya pun sempat tercipta di masjid itu kala mereka aktif dalam pengajian.
“Itu, mama Muna” Tunjuk salah seorang adiknya sebelum mobil itu memasuki gang rumah mereka.
Sigap Lelaki itu menoleh.
Mama Muna. Seorang wanita yang merawat Lelaki itu di waktu kecil. Sekitar umurnya lima tahun, Lelaki itu tidak mau tinggal bersama Ayah Ibunya sendiri. Katanya, Semenjak Ayah Ibunya pergi ke luar kota, Lelaki itu ditinggalkan bersama Mama Muna. Lelaki itu mulai terbiasa, menderajatkan Mama Muna sama dengan Ibunya sendiri.
“Assalamualaikum …,” Ucap Lelaki itu memasuki rumahnya.
Hiasan cat di dinding berwarna putih dan oranye. Lampu ruang tamu bercabang lima penuh manik-manik. Kursi berbahan rotan dan kayu khusus di ramu sedemikian indah tertata rapi membentuk huruf “L”. Meja kaca beralas taplak dengan bunga berpot kaca bening tonggak bunga plastik menghiasi. Tegel tampak putih keemasan berkilau karena cahaya meneranginya. Pajangan menghiasi dinding membuat Lelaki itu memperhatikan lagi setiap pembaharuan di ruang tamunya.
Beberapa anak berusia satu tahun, dua tahun, empat hingga tujuh tahun, berlari menujunya. Lelaki itu merukuk meraih mereka. Hanya beberapa saja yang pernah ia lihat langsung, selebihnya adalah foto mereka yang diperkenalkan oleh keluarganya lewat sosial media.
Memang banyak yang berubah. Lima tahun bukanlah waktu pendek. Dahulu cat itu bukan berwarna putih dan oranye. Kursi itu bukan rotan dan kayu. Meja itu bukan segi empat panjang berwarna bening. Bunga di pot itu bukan bunga plastik. Pajangan di dinding itu, Yah! Bukanlah pajangan foto Ayah bersama Ibu tiri lelaki itu.
Lelaki itu resah. Bukanya tentang perabotan yang telah bergonta-ganti entah beberapa kali itu. Bukan suasana karena banyaknya anak kecil baru dipandanginya. Bukan karena semakin banyaknya lampu yang ia perhatikan dari pesawat Sriwijaya. Bukan masjid keemasan dengan tabungan ilmu dan cintanya itu.
Ia memegang erat kepalanya. Nafasnya terengah-engah. Arah pandangnya bergerak cepat ke semua bagian tempat. Memutar otak menyidik ribuan kenangan di dalam sana. Semenjak masuk, hiasan paling ia nanti tidak menyambut. Bahkan di ruang tengah, di antara banyak foto terpatri di dinding penuh cecak, sama sekali tak menunjukkan hasil yang berbeda. Lelaki itu gelisah, mencari bentuk wajah yang mulai luput ingatannya. Di dapur? Tidak ada. Di kamar saudaranya? Tidak ada. Di kamar Ayah Ibunya? Apalagi. Di antara tumpukan buku berdebu di sebuah rak? Butuh waktu lama meniti lembar demi lembar.
Tak lama, Lelaki itu mengingat salah satu ruangan. Ia menuju ruangan harapan terakhirnya. Langkahnya tergopoh-gopoh, jantungnya tidak karuan, wajahnya lusuh seperti bunga di dera hujan.
“Nak,” Panggil Ibu Tirinya.
Lelaki itu tak menghiraukan. Ia belum sempat menyalami semua orang di dalam rumah. Di kepalanya hanya terekat sebuah sosok yang terus terucap di dalam sujud malamnya. Ia bergegas tanpa membuka sepatu, tanpa menaruh jaket, dan tanpa mencuci muka.
Ia mendobrak pintu ruangan. Meraba di kegelapan mencari pusat ceklikkan lampu untuk menyinari. Namun lampu di dalamnya telah padam. Telepon genggamnya pun ia gunakan.
“Di mana!” Gumamnya dalam hati.
Kegelisahan menyelimuti. Beberapa dos berisi buku dan catatan kusam diporak-porandakannya. Kasur busa kecil, sepeda bekas, beberapa baliho kusam, hingga tumpukkan-tumpukkan pakaian tempat para serangga bernaung, tak henti berserakan dibuatnya.
“Apa kamu mencari ini?” Ucap Ibu Tirinya seketika.
Ayunan tangannya terhenti. Ia hembuskan nafas dalam-dalam. Memegang dada dan Isaknya mulai terdengar. Matanya terpusat di tangan kanan Ibu Tirnya. Ia tak dapat menahan diri. Lelaki itu bersujud, bersandar lutut sebagai tumpuannya. Perlahan namun pasti, linangan air mata mengalahkannya. Ia menjulurkan tangan menaruh kulit jari telunjuk, meraba foto wanita berambut pendek, bermata Cina, mengenakan baju dinas menyilangkan kaki di sebuah sofa merah. Itulah ibu kandungnya. Almarhumah Ibu Sawiah. Sosok wanita kerinduan terbesarnya. Dorongan kuat kepulangannya. Bentuk wajah yang ingin ditatapinya untuk pertama kali meski terlukis dengan satu warna dari beragam cahaya.
Reza Stanza. Lahir di Palu, 03 Desember 1992. Tinggal di Yogyakarta.
Facebook : Gembel Reza Stanza Yotomaruangi
Instagram : Re_njo