Nostalgia Koko Putih
“Ayah Ayah… aku mau baju itu..!!”. Pinta Naufal sambil mengarahkan tangan mungilnya keluar kaca mobil, menunjuk deretan baju khas lebaran yang beraneka warna. Kesukaan anak-anak.
“Sama Ibu ya Nak….”. tuturku sambil mengusap kepalanya. istriku tersenyum, tanda meng-iyakan.
Bocah berumur empat tahun yang duduk bersama ibunya itu bersorak ria “HOREEE HOREEE!!”. Dinda segera membuka pintu mobil merah darah kesayanganku. Hingga akhirnya mereka berdua melangkah menuju toko baju “BAROKAH”. Kios baju itu jaraknya hanya beberapa langkah dari kami.
Kulihat anak dan istriku memadukan bahasa tubuhnya, membuatku tersenyum sendiri. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri mereka yang sibuk mengorek-orek baju. Lelaki berbaju muslim modis biru dongker itu seperti sudah familiar.
Badan yang tegap, raut wajah yang kalem. Ah, aku tertegun. Dengan melihat orang itu ditambah dengan baju koko seukuran Naufal yang ia perlihatkan pada istriku membuat memori yang terlampau 18 tahun itu kembali terbuka. Retrospeksi, menghayati kembali ke belakang. Aku tersenyum tipis. “Kang Maman”.
***
“BERDIRI!!!”
“Tttt… Tapi Kang”
“Berdiri!!”. Bentak penjaga jamaah sambil menarik-narik lengan bajuku. Aku mengelak.
“Tapi kang, saya….”.
PLAKKK!!! Belum selesai aku bicara, tangan besi itu menancap tepat di pipiku. Aku mendengus kesal.
“BERDIRRI!!”. Bentaknya lagi.
Kemudian aku berdiri dengan tangan menyentuh pipi. Sakit.
Ah. Betapa pun aku tak tahu namanya, yang pasti aku sangat marah, mangkel. Bagaimana tidak? Tanpa pertimbangan aku disuruh berdiri di hadapan seluruh santri. Apalagi maghrib-maghrib begini, masjidnya full. Ah, dasar.
“KEDEPAN!! CEPATT!!”. Tambah lelaki berpeci putih itu.
Dengan berat hati aku melangkah gontai menuju shof paling wahid. Sesekali ejekan terdengar dari teman temanku. Aku tak peduli. Saat wiridan yaumiyah usai, komplit semua santri menatap ku tajam. Muka jelek mereka sangat jelas terlihat. Ditambah deru suara mereka. “Huuuuuu”
“Huuuuu Huuu” “Huuuuuuuuuuuuuuuu”
Sudah kuduga, suara itu akan kudengar. Suasana menjadi gaduh.
“Ini masjid Kang! semuanya saja diharap tenang”. Ungkap Pak Huda, lurah pondok yang terjadwal ngimami jamaah setiap maghrib itu lantas berdiri. Menghadap seluruh santri. Sekejap menjadi hening, tanpa bicara. Hanya lantunan rintikan hujan yang beberapa saat lalu menderu. Aku menghela nafas dalam-dalam..
“Ini hanya sebagai pelajaran buat kita semua. Biar kita bisa tafakkur betapa pentingnya mentaati peraturan”. Tutur beliau. Aku menelan ludah.
Peraturan? Peraturan apa?
Sementara lurah pondok terus berkata, aku hanya diam. Merundukkan kepala. Dan, sorakan makin merajalela.
***
Rupa-rupanya Naufal senang menerima tawaran baju itu. Tapi Istriku masih saja terlihat bertele-tele menunjuki pakaian, mencari model lain. Maklumlah, ibu-ibu. Kang maman seperti tak punya lelah, tetap saja memberikan tawaran produk terbaiknya.
Tiba-tiba Hp-ku berdering, ada gambar masuk via Whats app dari Dinda, istriku. Terlihat gambar baju beraneka ragam dengan pesan tambahan; Mas, baju yang bagus buat Naufal mana ya?. Aku tersenyum. Memperbaiki posisi duduk. Terserah Samian saja. Sepertinya warna putih jauh lebih bagus, balasku.
Kulihat Dinda dari dalam mobil, ia mengangguk-angguk sambil tersenyum. Bersama lambaian angin yang sibuk merayapi pakaian yang tertata rapi di langit-langit ruko itu. Juga gaun biru yang Dinda pakai, menggelayut amboi indahnya. Membuat senyumnya semakin merona sempurna. Anggunnya Dinda-ku. Tak lama kemudian, Kang Maman menyodorkan Baju koko putih yang ia ambil dari dalam etalase belakang Naufal.
***
Selepas itu, saat para santri sudah bubar, hanya tinggal beberapa saja yang masih duduk bersila menghadap qiblat sambil menggerak-gerakkan bibirnya, Si penjaga Jama’ah mendekatiku. Di bajunya putih garis-garis hitam yang ia kenakan tertera nama, “Maman Suratpradja”. Aku menenggelamkan kepalaku. Dasar, Maman!! Celetukku dalam hati.
“Siapa namamu?”. Tanyanya dengan tangan tersingkap ke belakang.
“Saya Hasib Nur Alim Kang”. Jawabku.
Aku masih merundukkan kepala. Dan yang pasti, aku tak tahu seperti apa gurat wajahnya saat ini. Entah seperti saat ia membentakku tadi? Atau lebih dari itu? Aku tak tahu.
“Kenapa Samian nggak taat peraturan? teman-teman Samian segitu banyaknya ituloh nggak ada yang melanggar”. Ungkapnya. Aku sedikit mendongakkan kepala.
“Peraturan yang mana Kang, perasaan aku tadi ndak rame kan?”. Jawabku dengan nada merendah.
“Ini, baju mu!? Samian pakek hem kan? Nggak punya baju muslim?”. Ungkapnya sambil memegangi lengan hem abu-abu yang aku kenakan.
Aku hanya diam. Bungkam, bak tak punya suara. Kembali kutundukkan kepala.
Beberapa lama kemudian, tamparan keras menghantam pipiku lagi. PLAKKK!
Aku semakin geram. Tapi entah, geramku kali ini memancing air mata. Kutahan agar tak keluar. Ah, sesak sekali dada ini. Aku semakin merunduk. Terus tenggelam. Hingga spontan tanganku meraih butiran itu. Sempurna air mataku meleleh.
“malah nangis? Kenapa? Bajunya hilang? Atau nggak punya? Heh! Jawaben!”. Bentaknya sambil memegangi pundakku, menggoyang-goyangkannya. Aku menghela nafas dalam-dalam.
“Saya memang ndak punya Kang”. Jawabku sesenggukan.
“Ndak punya? Ya minta orang tua to leee… le!”.
Ah, entah kenapa jawaban Kang Maman kali ini makin membuatku menghela nafas berkali-kali lagi. Menyesakkan dada melunturkan air mata. Aku merayap menuruni tembok yang ku sandari. Duduk termangu berusaha menghaluskan desiran nafas.
Siratan cahaya lampu yang menerangi seisi masjid bercat putih ini terasa mengerahkan. Beberapa kitab yang tertata rapi dipojok belakang sepertinya turut menyaksikan. Juga beberapa santri yang celingukan dari pagar samping dan depan masjid. Ah, aku kembali merunduk. Berusaha membendung air mata.
“Omahmu ngendi to le?”. Tanya Kang Maman setelah sebelumnya nggremeng.
Aku menyeka air mata, “Kediri Kang”.
“Kediri Mana?”. Sahutnya dengan nada rendah. Lalu duduk di sampingku.
“Semen Kang”.
“Emmmmh,” Sambil mengangguk-angguk ia melanjutkan pertanyaannya.
“Kenapa kamu kok malah nangis?”. Tanyanya. Aku hanya diam.
“Nanti telfon orang tuanya, bilang kalau belum punya baju muslim”. Tuturnya. Aku menghela nafas untuk yang ke sekian kalinya.
“Orang tua saya ndak ada Kang”. Ungkapku. Kang Maman sedikit tersentak, menelan ludah. Lantas diam beberapa saat. Aku menghela nafas lagi, memperbaiki posisi duduk.
“Sebentar”. Ucapnya, lantas pergi menuju sebuah kamar yang terletak di sebelah kanan Masjid. Aku kembali merunduk, menekukkan kedua lutut, merangkulnya dengan kedua tangan dan menyandarkan kepalaku di atasnya.
Entah kenapa aku ini. Tiba-tiba teringat kedua orang tuaku yang sudah meninggal saat aku masih kecil. Ah, untungnya nenek sangat sayang padaku. Untungnya juga nenek mengirimku kesini, pondok pesantren. Setidaknya membuatku semakin bisa memanfaatkan hidup ini, memberikan yang terbaik untuk almarhum kedua orang tuaku. Memberi mereka mahkota terindah kelak disurga.
“Ini le…. Aku punya baju buat Samian. Meski ndak banyak semoga saja bermanfaat”. Ungkap Kang Maman sambil menyodorkan dua buah baju muslim putih yang terlipat rapi kepadaku.
Aku mengangkat kepala, menatapnya, lantas meraihnya. Kudapati raut wajahnya yang sembab. Lelaki bersarung merah tua itu kembali duduk disebelahku. Diantara lentera penerang masjid yang tertata begitu indah. Bersandarkan tiang penyangga masjid yang menjulang menapaki langit-langitnya. Kang Maman perlahan meraih pundakku, menyandarkanku pada bahunya.
Sebenarnya aku sedikit risih. Tapi entah, aku merasakan ketenangan. Degup jantungku yang sebelumnya berantakan lamat-lamat mulai beraturan. Seakan percakapan singkat kami tak ubahnya tali perekat, merekatkan kedua sisi yang sebelumnya berjarak. Benar dawuh Mbah Yai pada pengajian ba’da subuh tadi ”Ojo alok mundak melok, Ojo gething mundak nyanding”.
“Aku minta maaf soal tadi Le…”. Tutur lelaki dengan suara berat itu. Aku hanya diam.
“Ya sudah, Samian kembali ke kamar, sebentar lagi kegiatan dimulai..”.
Aku bangkit, begitu pun Kang Maman. Dengan membawa busana pemberiannya aku kembali dengan sedikit senyuman, hati yang lega. Tapi keesokan harinya, batang hidung mancung pria itu tak terlihat lagi. Pun saat jamaah berlangsung, tak terlihat menjaga. Begitu pula dengan hari-hari selanjutnya. Nihil.
Entahlah. Setidaknya untuk hari-hari berikutnya kejadian seperti ini tak akan terulang lagi. Ah, aku belum mengucapkan terima kasih padanya. Aku menghela nafas dalam-dalam. Sambil duduk termangu menapaki lantai masjid dan menatap tatanan lentera indah, aku terpejam dan berkata lirih; “Terima kasih Kang Maman”.
***
“Mas… Mas”. Suara dan goyangan tangan istriku membuatku tersentak.
“Mas keapekan ya? Nanti kalau sampai rumah istirahat ya.. Mau dibuatkan makan apa?”. Ungkap istriku sambil memasukkan beberapa bungkusan di bagian tengah mobil.
“Terserah Samian saja.. Gimana Naufal?”. Ucapku sambil mencari-cari keberadaan anak kebanggaanku itu.
“Ayaaaahhh!!!!”. Lagi-lagi aku tersentak. Anak hiperaktif yang berada tepat di belakangku itu mengagetkanku. Aku terkekeh. Meraihnya, lantas memeluknya erat-erat.
“Aaaaaaa, Ibu…. Ayah ini lo Bu….. Aaaaaaa….”. Aku makin terkekeh melihat tingkah lucunya. Lantas ku kecup pipinya. Ia terperanjat. Berpindah ke kursi sebelah sambil merapikan koko putih baru yang ia kenakan.
“Bajuku rusak lo Yah….”. ungkapnya dengan raut mengerut mungilnya. Istriku tersenyum sendiri di belakangku. Mulai geli dengan situasi seperti ini.
“Dek, bilang apa sama Ayah…?”. Tutur istriku yang sudah duduk manis. Naufal tersenyum menatapnya. Aku seolah-olah tak tahu, tetap saja mengarahkan pandangan ke depan sambil mengemudi mobil menuju ke rumah.
“Ayo, Adek bilang apa sama Ayah…”. Ungkap istriku lagi. Aku tersenyum sendiri. Naufal menoleh. Tersenyum. Lantas berkata.
“Terima kasih Ayah….”. Ucapnya dengan nada kekanakannya. Aku menoleh sebentar. Masih fokus menyetir.
“Sama-sama. Adek belajar yang rajin ya”. Tuturku sambil mengusapi rambutnya. Aku hela nafas dalam-dalam. Nostalgia koko putih.
Affa Esens adalah nama pena dari Muhammad Afwan, Lahir 17 Mei 1998. Santri ga mau kalah sama yang lain…. santri BISA ! ! ! ! > Semoga Barokah Manfaat
IG: affa_esens Fb: Affa Esens, Afwan.