Korban Pukul
Demi menjaga perdamaian dan ketenteraman desa, dibuatlah peraturan dimana bagi yang melepaskan pukulan ke orang lain dengan maksud menyakiti dan mengajak perkelahian akan dikenakan denda sebesar 10.000.000 Rupiah.
***
“Sekarang mencari uang nggak bakal susah lagi,” tukas Saprin.
Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala berulang-ulang. Kulihat ia semakin senang dengan adanya peraturan tersebut. Dimain-mainkannya asap rokok yang keluar dari lubang mulut dan hidungnya. Karena ia mulai menggila dengan kepulan asapnya, aku bergegas pulang. Kupandangi langit sore ini mulai muram dan angin-angin yang menghempaskan dedaunan tua semakin ramai dan riang. Bapak pasti sudah pulang dari ladang orang tempatnya bekerja.
“Bapak kenapa?”
Sesampainya di rumah, aku dikejutkan dengan Bapak yang tergeletak kesakitan dengan nafas agak tak beraturan. Wajahnya hancur, banyak memar, dan tetes darah dari muka Bapak membasahi lantai rumah kami yang beralas karpet murah. Tak bisa dipungkiri lagi, itu semua adalah bekas pukulan bertubi-tubi. Namun seketika terbit seuntai senyuman dari bibir Bapak yang lebam dan penuh darah.
“Akhirnya kamu nanti bisa beli motor baru walaupun bekas,”
Aku melongo. Maksudnya apa? Ah, jangan-jangan…
“Dan juga handphone baru seperti yang kamu ceritakan seminggu yang lalu!”
Aku ambil air di gayung dan sepotong kain untuk membersihkan luka di wajah Bapak. Kuangkat tubuhnya hingga ia bisa duduk dan bersandar di dinding. Betapa mengerikan wajahnya. Mengapa ia melakukan ini semua?
“Luka ini akan sembuh, Nak. Apalagi jika nanti uang itu sudah cair.”
Tiba-tiba tangisku meledak karena begitu terharu. Dasar anak cengeng.
***
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Bapak tak pergi ke ladang orang untuk menerima upah harian hari ini. Ia bersiap-siap pergi ke Balai Desa pagi ini demi memenuhi panggilan dari pemerintah desa perihal perkelahian yang terjadi kemarin siang. Walaupun luka di wajahnya masih belum sembuh, Bapak tetap bersemangat menjalani hari. Dikencangkannya ikat pinggang di celana kepernya. Pokoknya ia tampak rapi sekali pagi ini. Namun beda halnya denganku. Justru aku malah khawatir.
“Bapak yakin ini akan mudah?”
“Tentu saja, Nak. Untuk mendapatkan segala sesuatu, kita hanya perlu mengorbankan segala sesuatunya saja.”
Bapak tidak mengerti apa maksudku. Ia malah sibuk merapikan rambutnya dengan pomade yang ia beli kemarin. Ia benar-benar yakin soal ini. Terutama soal uang itu. Sepuluh juta.
“Hidup ini sebenarnya adil. Kenapa kau bilang waktu itu kalau hidup ini tak adil, Nak? Hanya orang-orang yang tak bisa melihat peluang keadilan saja yang bisa berkata begitu.”
“Jadi maksud Bapak adil namanya kalau rasa sakit di muka Bapak dibayar sepuluh juta?”
“Bukan adil lagi itu namanya. Tapi anugerah, Nak! Ternyata mencari uang sepuluh juta tak sesulit yang kita bayangkan. Nggak harus membabat, mencangkul, susah payah bulan demi bulan, tahun ke tahun, waktu ke waktu. Dengan modal keberanian yang gagah, sepuluh juta pun kita dapatkan!”
Dihidupkannya motor bututnya yang knalpotnya sudah terus menerus mengeluarkan asap. Tetangga-tetangga kami memperhatikan Bapak. Ada yang sembari berbisik dan bergunjing. Bapakku tetap tak peduli. Barangkali, hanya uang sepuluh juta itu saja yang ada di kepalanya. Sebelum memasukkan gigi pertama motornya, ia agak berteriak padaku agar suaranya dapat menyaingi suara motor bututnya itu.
“Setelah semua persoalan ini beres, Bapak ingin kamu menyaksikan bagaimana cara Bapak memperoleh uang sepuluh juta. Agar kamu percaya kalau semuanya itu mudah!”
Aku menelan ludah.
***
Siangnya, aku pergi ke rumah Saprin setelah semua pekerjaan rumahku selesai. Entah kenapa jalan ini begitu sepi. Saat tengah berjalan, tiba-tiba ada segerombolan pemuda dari kejauhan memanggilku. Aku tidak mengenal siapa pun di antara mereka. Tapi mengapa mereka tahu namaku? Tampang-tampang mereka tampak mencurigakan dan nakal. Aku merasa gentar dan ingin mengabaikannya saja. Tapi panggilan mereka terus-menerus menyusuri dan mengetuk gendang telingaku. Aku merasa terganggu sekali. Semakin kupercepat langkahku agar mereka semakin lelah memanggilku. Tapi percuma.
Mereka mengejarku.
“Hei, berhenti!” teriak salah seorang dari mereka.
Edan. Jumlah mereka banyak, sekitar tujuh orang dengan tiga motor. Bahkan mereka tak mengurangi kecepatan laju motor mereka. Aku terus berlari agar dapat menjumpai seseorang. Namun nihil. Aku pun semakin lelah. Rasanya seperti ada yang mencekik saluran pernafasanku dan jantungku serasa seakan ingin meledak. Bapak, Bapak di mana? Aku membutuhkanmu.
“Woi!”
Di belakang gerombolan pemuda yang mengejarku, ada Saprin. Ia berdiri dengan gagah walaupun tubuhnya kurus kerempeng. Matanya memandang tajam para pemuda beringas tersebut. Aku kenal betul Saprin. Pasti detak jantungnya sudah seperti langkah kuda pacu yang berlari kencang.
“Hei, kurus. Jangan cari mati kau di sini!”
“Ya! Jangan sok jagoan. Kami tak peduli kalau si cantik ini pacarmu. Kami tetap akan menangkapnya!”
Saprin diam saja. Ia tak melontarkan sepatah kata pun. Kutatap matanya, dan kemudian matanya juga gantian menatapku. Bola matanya bergerak ke kiri berulang-ulang seperti memberi kode padaku. Ya! Ia ingin aku lari. Ia hanya ingin perhatian gerombolan pemuda tersebut beralih kepada dirinya.
Disitu aku menangkap apa maksud kodenya, di situ pula aku langsung kabur dan berlari kencang menjauhi mereka. Aku berlari menuju ilalang-ilalang yang menjulang dan bergoyang ditiup angin siang. Aku berhasil kabur tanpa sedikit pun mereka menyadari kepergianku. Ah, kini aku hanya perlu berdoa semoga Saprin baik-baik saja.
***
Aku melangkah pulang. Aku tak perlu lagi mengecek keadaan Saprin. Aku yakin, ia pasti baik-baik saja. Lagi pula hari mulai sore. Bapak juga pasti sudah pulang dengan membawa uang sepuluh juta. Aku kasihan melihat Bapak, tapi mau bagaimana lagi. Semua sudah terjadi. Untuk ke depannya, kuharap aku dapat mencegah dirinya dari perkelahian lagi. Kalau soal sepuluh jutanya, tanpa mengurangi kemunafikan, aku pasti senang sekali. Dapat pergi ke kampus dengan naik motor baru, dan dapat menjelajah dunia maya dengan ponsel pintar terbaru. Wah, siapa coba yang tidak menginginkan itu? Materi boleh miskin, tapi jiwa harus kaya.
Setiba di rumah, tak kudapati pemandangan Bapak sedang bergembira ria dengan uang sepuluh juta. Malah, ia tak berada di rumah! Dimana Bapak?
“Dev…”
Itu suara Saprin!
“Saprin!”
Aku langsung bergegas menuju pintu depan di mana Saprin telah tersungkur dengan wajah babak belur di situ. Ia merintih kesakitan. Ternyata dugaanku yang menduga ia bakal baik-baik saja salah.
“Syukurlah dugaanku benar. Kau berada di rumah dengan selamat sentosa. Aku berhasil menyelamatkanmu. Dan aku pasti berhasil mendapatkan sepuluh juta lagi besok di pengadilan!”
Ia berusaha berbicara sejelas mungkin. Aku hanya bisa membelai rambutnya dengan perasaan haru dan sedih yang mendalam.
“Kau bilang tadi, lagi!? Berarti kau pernah… ”
“Kemarin siang, bapak kamu mengacung-acungkan pisaunya ke arah mataku. Bahkan ia juga sempat memukul perutku. Tentu saja aku berusaha melindungi diri dengan cara memberinya pelajaran. Dia pikir dia yang bakal menang di pengadilan Balai Desa tadi pagi karena lukanya yang sangat parah, padahal di peraturan disebutkan bahwa yang memancing keributan yang dijerat denda. Kan aku tidak mungkin memukulnya jika ia tidak mengancam nyawaku. Dan kini, sudah pasti aku menang di pengadilan besok. Karena aku melindungi seorang gadis cantik.” Ia terkekeh seraya menahan rasa sakitnya.
Pikiranku langsung kacau, seperti diaduk-aduk. Tiba-tiba, Pak RT dengan nafas tersengal-sengal datang dari luar menghampiriku.
“Devi, bapak kamu kepergok mencuri lembu Pak Legi dan kini ia sedang dikeroyok warga!”
Saprin langsung menggelengkan kepalanya dengan menyengir. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Bapak. (*)
November 2016
Nanda Insadani lahir di Medan, 29 Juni 1998. Cerpen dan puisinya tersebar di beberapa media. Beberapa cerpennya dapat ditemukan di buku antologi. Kini berdomisili di Seruyan Tengah, Kalteng. Dapat dihubungi melalui akun facebooknya bernama Nanda Insadani atau 085753022481.