Kepada Malam

Kepada Malam

Langit yang tadinya didominasi warna biru dan putih, sekarang sudah mulai bersemburat oranye. Warna langit yang selalu aku tunggu, yang selalu mengingatkan aku padamu.

Kamu. Apa kabar kamu sekarang? Apa sepulang kerja, kamu masih suka mampir di tempat nongkrong di pinggir laut, menikmati secangkir air guraka[1] dan matahari terbenam? Apa setiap kali melakukan itu, kamu masih teringat tentang kita?

***

Tapak[2] sore ini lumayan sepi. Syukurlah. Aku lebih suka suasana yang tenang seperti ini untuk menemaniku menikmati matahari pulang.

“Aaauw!” pekikku, sakit bercampur kaget. Aku langsung menoleh dan menemukan sebuah helm berwarna hitam tergantung pada sebuah genggaman tangan berada sangat dekat dengan kepalaku. Pasti benda itu yang tadi menghantam bagian belakang kepalaku yang sekarang mulai berdenyut-denyut.

“Maaf, maaf. Kamu tidak apa-apa?” Sebuah tangan kemudian mengelus-elus lembut bagian kepalaku yang terkena pukulan tadi. “Saya tidak sengaja.”

Dan di sanalah kamu, membungkuk di sisiku dengan sebelah tangan masih memegang helm dan sebelahnya lagi mengelus-elus kepalaku.

“Eh… mm… tidak apa-apa,” jawabku, terbata-bata, terlalu bingung membagi konsentrasi antara mengatur kata dan detak jantungku yang mulai tidak teratur.

“Maaf, ya?”

“Iya.”

Kamu tersenyum, lalu menegakkan badan dan melangkah meninggalkanku, mengambil tempat duduk di meja kosong di dekat aku duduk.

Lama kemudian, setelah aku lumayan bisa mengatur kerja jantungku dan otakku mulai melupakan kamu, kamu tiba-tiba datang dengan segelas air guraka di tangan.

“Duduk, ya?” Tanpa menunggu persetujuanku, kamu tiba-tiba duduk di kursi kosong sebelahku. “Sendirian?” tanyamu.

“Ya. Kamu?”

“Sama temen. Kamu.” Kamu tersenyum lalu meminum air guraka yang sedari tadi ada di tanganmu. “Nggak. Aku emang suka liat sunset sambil minum guraka. Kalo ada waktu, pasti aku sempet-sempetin nongkrong di sini.”

Sama. Aku juga, jawabku dalam hati. Aku cuma tersenyum menanggapi ceritamu.

“Kamu tau kenapa langit sore berwarna kemerahan?” tanyamu. Kamu menjumputi potongan-potongan kacang kenari yang ada di dalam cangkir lalu mengunyahnya.

“Ya, karena ada matahari yang terbenam, kan?”

“Mmm…” Kamu menggelengkan kepala. “Bukan.”

“Lalu?”

“Dulu, Malam dan Siang saling jatuh cinta.” Kamu meletakkan gelasmu yang kosong ke atas meja, menatap ke arahku, dan memulai ceritamu. “Malam mengagumi kecantikan langit Siang yang berwarna biru, berhiaskan awan dan matahari. Siang mengagumi ketenangan langit malam dan kecantikan bintang-bintang yang menghiasinya. Tetapi sayangnya mereka, walaupun saling mengagumi, tetapi tidak bisa bersatu. Mereka hanya bisa bertemu, tapi tidak bisa bersama-sama. Jadi, mereka akan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Setiap kali bertemu di pagi atau sore seperti ini, Siang akan memuji Malam, sampai Malam malu dan langit akan berwarna kemerahan.” Kamu mengakhiri ceritamu dengan senyuman.

Nice story,” kataku.

Kamu tertawa. “Namaku David,” katamu tiba-tiba sambil mengulurkan tangan.

“Ai,” jawabku, menyambut uluran tanganmu. Dan di situ, hatiku mulai jatuh padamu.

***

Aku tersenyum, masih menatap langit sore. Yah, walaupun tidak sama seperti dulu dimana aku bisa melihat pantulan kemerahan langit di beningnya air laut, tapi ini sudah cukup untuk mengingatkanku padamu dan mengobati kerinduan yang ternyata masih mengakar di hatiku.

Kopi yang ada di tanganku sudah mulai dingin, tapi aku masih enggan beranjak dari teras rumah. Enggan beranjak dari hadapan matahari yang mulai terbenam. Aku sedang benar-benar merindukanmu dan ini adalah satu-satunya obat yang bisa kutemukan untuk saat ini.

***

“Untung belum telat.” Ada kelegaan yang terdengar dalam kata-katamu.

Aku melompat turun dari boncengan begitu kamu menghentikan motor di Tapak. Kita lantas mengambil tempat yang biasa kita pilih, tempat yang sama dimana kita pertama kali diperkenalkan.

“Ci[3], air guraka sama air kelapa gula merah.” Kamu memesan minuman untuk kita begitu duduk.

“Tidak terasa ya udah dua tahun kita nemenin matahari pulang.”

“Iya,” jawabmu pendek.

Iya. Ini sudah dua tahun sejak kamu menyentuh kepalaku, menyentuh hatiku, dan membuatnya terjatuh padamu. Semakin hari, aku merasa terjatuh semakin dalam. Kamu, yang walaupun dua tahun lebih muda dariku tetapi begitu dewasa, yang selalu tersenyum dan membuatku tersenyum dalam apa pun keadaan kita. Kamu, yang seperti siang, begitu penuh kehangatan, lembut dan menyejukkan seperti warna langitnya. Sayang, kamu tidak pernah tahu tentang ini.

“Besok libur kemana?” tanyamu.

“Di kos. Habis, yang biasa ngajakin jalan nggak bisa pergi.”

“Mau maen ke Maitara?”

“Lah, bukannya kamu besok ada misa? Masak natal pergi juga?”

“Ikut misa yang pagi aja. Habis itu cabut.”

“Dasar…”

Kamu tertawa. “Lagian di sini juga nggak ada keluarga. Mending habisin waktu sama kamu daripada sama orang yang nggak dikenal.”

“Ngomong-ngomong, kamu setiap natal kok ga pulang? Ga pengen pulang, kumpul sama keluarga gitu?”

“Nggak.” Jawaban yang sangat pendek dan jelas menyatakan kamu tidak ingin membahas masalah itu.

“Perginya habis dhuhur sekalian ya? Daripada sholat di jalan,” pintaku.

“Iya, Ai Sayang.”

Sayang. Aku suka setiap kali kamu menambahkan kata itu saat memanggilku. Aku juga menyayangimu. Tapi, bisakah kita bersama-sama seperti ini sampai nanti? Sedangkan aku tidak mungkin meninggalkan agamaku dan kamu pun sama?

“Lihat, dia sudah malu-malu,” seruku.

Kamu tersenyum. “Aku mencintaimu.”

Aku langsung menoleh padamu sewaktu kata-kata itu mengusik telingaku. Aku menatapmu, menuntut penjelasan.

“Bisik Siang pada Malam,” jawabmu.

Aku juga mencintaimu, bisik hatiku.

Kamu melingkarkan tangan di bahuku kemudian.

***

“Aku mencintaimu,” gumamku sewaktu langit di hadapanku semakin merah. Aku membayangkan Siang menyambut Malam dengan kata-kata itu, membuat langitnya bersemburat merah.

Tidak terasa, ada air mata yang menetes dari mataku. Aku belum pernah merindukan seseorang seperti aku merindukanmu. Aku tidak pernah ingin mengulang hari seperti aku selalu ingin mengulang hari-hari penuh tawa kita, penuh lelucon, dan penuh dengan cerita-cerita yang kamu buat.

Tapi, sebanyak apa pun aku menangis dan setebal apa pun rinduku, aku tidak akan bisa mengulang hari-hari itu. Tidak bisa.

***

Ada air mata yang mengambang di pelupuk mataku sewaktu aku memegang surat keterangan pindah tugasku. Dulu, aku selalu menantikan surat ini, selalu ingin meninggalkan kota kecil yang membosankan ini. Tapi, itu dulu sebelum aku mengenal kamu. Sekarang rasanya berat sekali untuk meninggalkan kota ini, meninggalkan kamu.

“Kamu mau ke mana?”

Aku menengadahkan kepala dan menemukan kamu berdiri di depan pintu kamar kosku. Ada guratan heran di wajahmu melihat tumpukan kardus di dalam kamar.

“Kamu mau pergi?” tanyamu. Kamu bersandar pada kusen pintu, seperti biasanya, tidak masuk ke dalam kamarku. Senyuman yang biasanya menghiasi wajahmu siang ini tidak terlihat sama sekali.

Aku berdiri, meraih jaket yang ada di atas kasur, lalu melangkah ke arahmu.

“Tapak, yuk!” ajakku seraya menutup pintu kamar dan menguncinya.

Tidak ada protes darimu. Kamu diam, menurut, dan mendampingi langkahku meninggalkan kamar, keluar dari rumah yang sudah aku tinggali selama tiga tahun ini. Dan kamu tetap tidak berkomentar apa pun selama kita berada di atas motor. Seolah semua kata-katamu hilang.

“Aku pindah tugas, Vid,” kataku, membuka pembicaraan.

“Kapan?”

“Lusa aku berangkat.” Aku menatap langit dan lautan di depanku, tidak berani menatapmu. “Maaf.”

“Kenapa nggak bilang sebelumnya?” Nada suaramu begitu datar, tapi aku bisa merasakan kekecewaan di sana.

Iya, aku salah. Seharusnya aku bilang kepadamu sebelumnya. Tapi, aku tidak sanggup.

“Maaf.” Hanya kata itu yang bisa aku ucapkan.

Kita lantas saling diam, membiarkan waktu pergi dalam sepi. Kita tidak berani saling menatap, lebih memilih menatapi langit dan lautan yang terbentang di hadapan kita sampai akhirnya matahari benar-benar pulang dan langit mulai gelap.

“Lusa berangkat jam berapa?” tanyamu lama kemudian, tanpa menatapku, seolah enggan mempertanyakan hal itu. Aku juga sebenarnya sama, enggan membicarakan kepergianku.

“Pesawat jam delapan.”

“Hanya sampai di sini?” tanyamu.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Inginku, kita tidak hanya sampai di sini. Tapi, bisakah?

“Aku mencintaimu.”

Aku tersenyum. Matahari sudah lama pulang, langit tidak lagi kemerahan. Sudah terlalu terlambat untuk Malam menyambut Siang.

“Aku mencintaimu,” bisikmu lagi.

Aku menoleh. Kamu menatapku. “Aku mencintaimu,” katamu lagi.

Air mataku meleleh. Aku juga mencintaimu. Tapi, seberapa kali pun kita mengucapkan itu, kita tidak bisa bersatu.

Tanganmu dengan cepat menghapus air mataku. “Maaf,” bisikmu. “Jangan menangis.” Kamu memelukku.

“Aku…” Aku terisak.

“Iya. Aku tahu,” bisikmu. “Maaf. Maaf aku mencintaimu dan harus bilang ke kamu. Aku pengen kamu tahu kalo aku mencintaimu. Aku tahu, kita tidak mungkin bisa karena aku siang dan kamu malam. Kita cuma bisa bertemu, saling memuji, tapi tidak bisa memaksakan untuk bersama-sama. Akan ada terlalu banyak hal yang harus dikorbankan untuk kebersamaan kita.” Kamu membelai kepalaku. “Jangan nangis, Ai. Aku sangat mencintaimu. Makanya, aku akan melepaskanmu.”

Aku makin terisak.

 

***

Aku menghela napas. Matahari sudah benar-benar pulang. Langit sudah gelap. Sudah saatnya pulang dan menyudahi kerinduanku. Aku kembali menata hatiku baik-baik, memasukkan namamu ke dalam lipatan yang paling dalam, yang paling sulit aku jangkau, berharap namamu tidak muncul lagi dan kerinduan padamu tidak tumbuh lagi. Kita sudah saling mengucapkan kata berpisah, tidak ada gunanya aku masih mengingatmu.

 

Kepada malam aku menitipkan hatiku. Semoga dia tetap menjadi malamku yang cantik dan selalu menenangkan. Semoga dia menemukan rembulan yang bisa selalu menemani langkahnya, bukan siang yang hanya bisa menyapa, menggodanya, tetapi tidak akan pernah bisa melangkah bersamanya, berada di sisinya.

 

Pesan terakhir itu masih tersimpan di dalam archive pesan di telpon genggamku. Sampai sekarang aku belum bisa menghapusnya, belum rela menghapusnya.

“Lama menunggu?”

Aku tersenyum, berdiri menyambut lelaki yang sudah tiga bulan ini resmi menjadi rembulanku. Mungkin dia tidak sehangat siang, tetapi dia punya sinar yang sama cantiknya dengan matahari dan dia punya kesetiaan yang luar biasa untuk menemani langkahku. Jadi, aku akan terus belajar lebih mencintainya.

“Kamu suka sekali sama sunset ya?” katanya sebelum kemudian mengecup keningku.

“Iya.” Aku tersenyum lalu melangkah di dalam pelukannya.

 

 

[1] Minuman hangat terbuat dari campuran gula merah dan jahe

[2] Nama tempat nongkrong di tepi laut di Kota Ternate Maluku Utara

[3] Panggilan untuk perempuan yang dituakan (Maluku Utara)

 

Ternate, 06 Juli 2012

 


Fina Mahardini. Saat ini tinggal dan bekerja di kota Surakarta, Jawa Tengah. Mulai menulis sejak SMP. Tiga kegiatan yang paling disukai adalah membaca, menulis, dan mengajar. Tulisannya yang lain dapat dibaca di IG @FinaMahardini, blog myperfecttwilight.blogspot.com.

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.