Sarmento
Orang-orang kampung memanggilnya Sarmento, meski namanya hanya Sarmen saja. Ia rajin hadir di acara kawinan. Semua tahu itu cara Sarmento untuk sekadar mendapat makan gratisan. Suatu hari ia ditangkap polisi atas tuduhan membunuh ayah kandungnya.
Usianya sudah kepala tiga. Tubuhnya tambun, pendek. Kepalanya licin seperti perosotan anak TK. Kalau bicara mirip orang yang sedang mengunyah.
Sarmento tinggal di sebuah rumah papan reyot bersama ayahnya yang sakit-sakitan. Sejak ditinggal mati sang ibu lima tahun lalu, Sarmento yang mengurus segala keperluan ayahnya yang telah buta di usia senja. Sarmento sangat mencintai ayahnya itu.
Otaknya sangat dangkal. Maka, jangan pernah kau tanyakan hal-hal yang terlalu rumit di telinganya, semisal, apa fungsi makanan bagi tubuh, kenapa pesawat bisa terbang. Sebab, untuk pertanyaan yang remeh temeh sekalipun, Sarmento seringkali gagap. Ini yang membuat ia selalu menjadi sasaran olok-olok anak-anak.
“Om Men, sebutkan salah satu panca indra manusia?” Begitu pertanyaan yang sering diajukan anak-anak untuk menguji otak Sarmento. Maka, dengan serius Sarmento menjawab, “Saya tak kenal Indra. Indra yang mana, ya?” Anak-anak pun tergelak.
Kau harus maklum saja. Sebab, Sarmento sangat asing dengan yang namanya bangku sekolahan. Dari kecil, ia tidak dibiasakan untuk akrab dengan deretan huruf dan angka. Rupiah yang menjadi musababnya. Ia keturunan jelata.
Tapi, jika kau ingin mengetahui bagaimana mengurus dan merawat orangtua secara baik, maka Sarmento adalah orang yang paling tepat untuk ditanya. Saban hari, Sarmento mengurus ayahnya. Dengan cinta dan kasih sayang. Dengan ketulusan.
Lima tahun belakangan, ayahnya hanya bisa berbaring di tempat tidur. Tubuhnya yang renta sulit bergerak, apalagi untuk dibawa jalan. Penyakit yang bersarang di badannya ditambah usianya yang menua, membuat Ayah Sarmento tak berdaya.
Sarmento sangat memperhatikan ayahnya. Ia dengan tulus menyodorkan makanan ke mulut ayahnya, ia yang membasuh badan ayahnya, ia pula yang membersihkan kotoran ayahnya. Ayahnya kadang-kadang buang air di ranjang jika Sarmento sedang tidak berada di rumah. Tapi, Sarmento tidak pernah mengeluh dengan situasi itu.
Sejak lahir Sarmento sudah hidup akrab bersama kemiskinan. Dan ia tampak menikmati betul kemiskinannya itu. Hampir tak pernah ia mengeluh. Dengan senyum ia bisa menghirup udara kehidupan.
Suatu hari seorang temannya pernah bertanya ke Sarmento. “Men, apa yang bisa bikin kamu sedih?”
“Ada dua bisa bikin saya sedih,” jawab Sarmento.
“Apa itu?”
“Dulu saat ibu saya meninggal. Saya juga sedih kalau suatu saat nanti saya mati, siapa yang urus bapak…atau kalau bapak saya mati, dengan siapa lagi saya tinggal di rumah.”
Begitulah Sarmento. Di kepalanya hanya dipenuhi cinta dan kasih terhadap orangtuanya. Saat sang ibu sudah tiada, ia bertekad merawat ayahnya sampai akhir hayatnya.
Boleh saja kau menganggap Sarmento bodoh, silahkan menilainya tolol, tapi ia punya kepandaian yang belum tentu kau bisa. Ia mahir menyusun batu bata dengan ketelitian tinggi. Hasilnya selalu dipuji. Inilah keterampilan satu-satunya yang dipunyai Sarmento. Menjadi buruh bangunan untuk bisa bertahan hidup bersama ayahnya rapuh.
Mengaduk semen dan menyusun batu bata bukanlah pekerjaan yang ada setiap saat. Sementara urusan makan tak bisa diulur-ulur. Sarmento selalu sedih jika setiap hari ia hanya memberi bubur kepada ayahnya. Sementara ia tahu betul kalau lidah ayahnya juga rindu untuk mencicipi makanan yang enak-enak.
Suatu hari Sarmento menghadiri acara pernikahan di kampungnya. Matanya memelototi menu makanan yang tersaji di meja. Ada daging iris tipis-tipis berbalur bumbu, sambel ikan tongkol, acar timun nanas, wortel, sup, dan gulai. Ada juga buah-buahan sebagai cemilan.
Tak ada satupun hidangan yang dilewatkan Sarmento. Sendok di tangannya akan selalu singgah dan mencaplok makanan di setiap piring yang dijejer memanjang di atas meja prasmanan. Semuanya menyatu di piringnya lalu dinikmatinya. Suap demi suap masuk ke mulutnya. Ia berhenti saat isi piring masih ada setengah. Sarmento belumlah kenyang. Kau tahu apa yang ia lakukan? Sarmento celingak-celinguk seperti saat kucing yang akan mencuri ikan mengawasi sekitarnya. Matanya lirik ke kiri, lirik ke kanan. Merasa tak ada yang memperhatikan, dengan cepat dan diam-diam, separuh makanan yang tersisa di piringnya itu ia tuangkan ke kantong plastik. Tentu kau sudah tahu kepada siapa makanan itu akan ia beri.
Dengan wajah sumringah, Sarmento pulang ke rumahnya. Lekas ia memindahkan isi plastik ke piring lalu membangunkan ayahnya. Ia menyuapi ayahnya makanan yang masih bisa dikunyah oleh gigi yang keropos. Sarmento melihat ada dahaga di wajah lelaki tua.
Hadir di acara pernikahan menjadi kebiasaan Sarmento. Diundang tak diundang, Sarmento selalu saja nongol di keramaian. Jangan kau protes, kenapa Sarmento tetap hadir meski tak dipanggil. Ini urusan perut. Ini urusan cinta dan kasih sayang.
Setiap kali hadir di acara pernikahan, maka membungkus nasi menjadi ritual utama Sarmento. Orang-orang mulai menangkap kebiasaan Sarmento. Hingga suatu waktu mereka yang penasaran pun bertanya, “Untuk siapa makanan itu, Men?”
“Untuk kucing saya.” Begitu jawaban Sarmento setiap kali ditanya.
Kucing menjadi kambing hitam oleh tuannya. Kucing liar yang sering mengobok-obok isi dapur tetangga. Itu kucing kesayangan Sarmento.
Suatu hari Sarmento kembali menghadiri pesta pernikahan putri seorang peternak ayam. Kebetulan berdekatan dengan rumahnya. Kembali ia membawa bungkusan ke rumahnya. Isi dan gizinya lumayan. Harapan Sarmento, itu bisa memperpanjang hidup ayahnya.
“Pak, ayo dimakan. Ini lebih enak dari yang kemarin.”
“Ini apa, Men?” kata ayahnya sambil bersandar di punggung ranjang.
“Ikan bandeng sama sayur nangka, Pak.”
“Wah, kesukaan bapak. Ini makanan dari mana lagi, Men?”
“Dikasih teman, Pak.”
“Temanmu baik, ya, Men…sering kasi kita makanan enak-enak.”
Sarmento terdiam. Ia tak peduli jika harus berbohong. Yang penting ayahnya bisa senang. Dengan hati berbinar, Sarmento menyuapkan kenikmatan demi kenikmatan ke mulut layu ayahnya.
Untuk kesekian kalinya, Sarmento ada di acara kawinan. Ia sudah sudah siap dengan ritual membungkus makanan, hingga sesaat kemudian ia dihampiri Ibu Rubiah, tetangganya. “Men, ini makanan untuk kucingmu,” kata Ibu Rubiah sambil menyodorkan sebuah bungkusan berwarna coklat.
Sarmento terdiam memandang bungkusan itu. Seketika terlintas di benaknya, apakah makanan itu memang untuk kucingnya, atau jangan-jangan Bu Rubiah sudah tahu kalau makanan yang biasa ia bungkus sebenarnya untuk ayahnya. Sarmento buru-buru mengusir pikirannya. Ia tak peduli kepada siapa makanan itu ditujukan. Ia hanya berusaha menangkap kebaikan Bu Rubiah.
“Ayo, diambil!” kata Bu Rubiah setengah memaksa.
“Terimakasih, Bu,” kata Sarmento malu-malu sembari meraih bungkusan itu.
Sampai di rumah, bungkusan dibuka. Isinya nasi dan tongkol goreng serta kepala ikan bandeng bakar. Masih hangat. Sarmento kemudian berpikir, makanan pemberian Bu Rubiah itu terlalu lezat untuk si kucing. Lebih baik ia berikan ke ayahnya saja. Toh, kucing bisa menikmati sisanya nanti. Isi bungkusan pun pindah ke piring. Ia dekati ayahnya yang baru saja menyelesaikan batuknya yang panjang.
“Makanan ini dari temanmu lagi ya, Men?”
“Iya, Pak.”
“Men, bilang sama temanmu sampaikan terimakasih bapak, ya. Bapak doakan mudah-mudahan dia masuk surga.”
Sarmento tersenyum. Ia tak ingin memberitahu kalau makanan itu sebenarnya dari Ibu Rubiah.
“Bapak sudah tua…umur bapak sudah tak panjang lagi. Bapak selalu berdoa, Men, supaya kau juga masuk surga,” kata ayahnya sambil terus mengunyah.
“Ah, bapak jangan bicara begitu. Sarmento melakukan ini bukan untuk masuk surga, tapi untuk bapak…biar bapak senang,” kata Sarmento sambil menyodorkan satu suap berikutnya ke mulut ayahnya yang menganga. Mata sang ayah berair mendengar ucapan polos anaknya.
Suap demi suap masuk ke mulut sang ayah. Makanan belum habis di piring, tiba-tiba tubuh lelaki tua itu menyentak-nyentak kejang.
“Pak, bapak kenapa?!” tanya Sarmento gemetaran.
Sarmento menjadi tegang hingga beberapa saat kemudian buih keluar dari mulut ayahnya. Sarmento makin panik.
“Pak, bapak!” Sarmento memeluk ayahnya. Ia merasakan nafas ayahnya yang perlahan memelan, berhembus satu-satu.
Sarmento menyeka buih di mulut ayahnya itu. Matanya basah.
“Bapak, jangan tinggalkan Sarmento. Bapak!”
Tubuh sekarat di pelukannya menjadi kaku. Sarmento menggoyang-goyangnya sambil terisak. Tapi tubuh itu telah beku. Mata yang buta kini menutup selamanya. Mulut yang baru beberapa menit tadi menganga menikmati dunia, kini sama sekali tak bergerak.
Sarmento jelas tak tahu kalau makanan itu ternyata sudah dibubuhi racun oleh si pemberi. Bu Rubiah memang bermaksud menghadiahkan makanan itu ke kucing usil Sarmento. Kucing yang sering mencuri ikan di dapur Bu Rubiah.
Orang-orang ramai melayat di rumah Sarmento. Sang ayah membujur di keranda. Sarmento meratap. Usai pemakaman, petugas kepolisian menjemput dan membawa Sarmento. Di kantor polisi, Sarmento tak bisa menjelaskan apa-apa. Ia pun tak menyalahkan siapa-siapa. Bukti mengarah kepadanya. Ia hanya bisa menangisi kebodohannya. Menangisi kepergian ayahnya.
Di balik jeruji, Sarmento terus merenung. Ia tak tahu apakah ia akan masuk surga seperti yang selalu didoakan ayahnya. Yang ia tahu, suapan terakhir yang ia berikan mengakhiri hidup ayahnya.
Pernah dimuat di Kompasiana pada 26 April 2013 dengan judul “Suapan Terakhir Sarmento”
Wahyu Hidayat lahir di Palopo, Sulawesi Selatan. Gemar menulis karya fiksi. Buku kumpulan cerita pendek pertamanya Ikarus Tanpa Sayap. Pernah menggeluti profesi sebagai jurnalis dan saat ini tengah menempuh pendidikan magister di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palopo. Bisa menghubunginya melalui facebook : Wahyu Hidayat.