Sepenggal Asa
Seperti biasa sore ini aku duduk di teras. Sudah jadi kebiasaan sepulang kerja duduk sebentar di kursi depan rumah. Memandangi lalu-lalang orang, atau sekedar meluruskan punggung yang terasa kaku.
Pandanganku terpusat pada seorang wanita paruh baya. Beberapa kali melihatnya melintas depan rumah. Berbadan sedang, rambut sebahu, kulit bersih, pakaian wajar. Sekilas dari tampilan tak ada yang aneh dari dirinya. Hanya saja, ketika berjalan semakin dekat barulah ada yang tidak beres dengannya. Ya, dia selalu meracau, bicara tak jelas dan sesekali tertawa sendiri.
Keesokan harinya masih aku dapati wanita itu melintas dengan racaunya dan tawa khasnya. Kupandang sekilas. Tak sengaja mata kami bertemu, dia tersenyum. Seketika kupalingkan wajah, bergidik ngeri. Setelah berlalu, baru kusadari, bajunya tak lagi menutupi. Sobek di mana-mana. Kulitnya tak semulus hari-hari yang lalu. Rambutnya acak-acakkan. Oh Tuhan, ada rasa iba melihatnya.
Aktivitas yang padat membuatku lupa pada wanita paruh baya yang biasanya melintas. Setelah kuhitung-hitung rasanya sudah hampir lima bulan.
Hingga suatu sore kudapati lagi wanita paruh baya itu. Racauan dan tawa khasnya tak berubah. Masih dengan rambut acak-acakkan, kali ini kulitnya kotor. Tak bersih lagi. Bajunya telah berganti. Tapi, sobek sana-sini. Tubuhnya berisi dan makin gemuk.
Satu hal yang membuatku terperanjat dan kaget. Perutnya. Ya, perutnya membuncit.
Tuhan…
Aku membekap mulutku seakan tak percaya dengan apa yang kulihat.
Dia hamil
Hamil lima bulan
Tuhan, laki-laki mana yang begitu tega menghamili orang yang tak lagi sempurna akalnya?
Laki-laki macam apa yang tega merenggut kehormatan orang yang bahkan sudah tidak punya kehormatan lagi dihidupnya?
Laki-laki macam apa yang telah menyemai benih dirahim orang yang bahkan mengurus dirinya sendiri dia tidak bisa?
Lama ku termenung, memikirkan nasib janinnya kelak.
“Kasihan ya, Ndi,” kata emak suatu sore.
“Iya,” mataku masih tak lepas memandanginya yang melintas.
***
“Belum tidur, Ndi?.” Tanya emak sewaktu melihatku termenung di teras rumah.
“Belum bisa, Mak.”
“Tidurlah! Sudah larut malam.” Tangan keriput emak mengusap bahuku kemudian berlalu masuk ke dalam rumah.
Kuhisap rokok dalam-dalam. Menghembuskan asapnya, memandang langit malam. Gelap, pekat. Selintas bayangan wanita paruh baya kemarin sore hadir. Ah, dia tidur di mana?
Kedinginankah?
Sehatkah janinnya?
Ya, namaku Andi. Dua puluh lima tahun usiaku kini. Entah kenapa otak ini selalu tertuju pada wanita itu. Rasa iba, sekaligus trauma menjadi satu.
Tapi, lupakanlah. Trauma ini lebih kuat rasanya dari pada rasa iba. Dadaku sesak tiap mengingatnya. Seakan oksigen enggan masuk ke paru-paru. Pening, itu yang selanjutnya kurasakan. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke dalam rumah dan beristirahat.
Seperti sore ini, aku melihatnya lagi. Kondisi yang masih sama. Racaunnya, tawanya, tak ada yang berubah. Tapi tunggu, daster itu…
Perutnya kian membesar, semakin kelihatan lekuk tubuhnya. Hanya daster tipis yang membalutnya. Tak terbayangkan olehku dingin yang dia rasakan ketika malam datang.
Hari ini aku pulang terlambat. Lembur akhir bulan memaksaku untuk pulang hampir waktu isya’. Letih, ingin rasanya segera sampai rumah dan merebahkan badan. Kupacu motorku dengan kecepatan tinggi.
Hanya gelap sepanjang perjalanan pulang. Kebun jagung dikiri kanan. Tak ada lampu jalan di area kebun jagung ini. Hanya bayangan bulan yang biasanya hadir. Hingga tanpa sengaja, mataku menatap bayangan hitam menyeberang dari kejauhan. Rasanya aku familiar dengan bentuk tubuh dan cara berjalannya. Kukurangi kecepatan motorku. Otakku bekerja, mencoba mengingat-ingat siapa gerangan yang menyeberang jalan di tengah kebun jagung di malam hari.
Wanita itu?
Mungkinkah?
Motorku masih kujalankan pelan, hingga tak jauh di depanku menyeberang lagi sosok hitam, tak lama setelah sosok yang pertama tadi. Setengah berlari, menyusul bayangan di depannya. Bertopi, itu yang pertama kali ditangkap oleh mataku. Rasa penasaran dan takut menjadi satu. Hingga samar-samar kudengar jerit tertahan dari dalam kebun jagung. Ah, benar. Itu suara wanita, wanita itu kah?
Kutepikan motorku asal. Entah keberanian dari mana kucoba mencari sumber suara di tengah pekatnya malam. Hanya sinar bulan kini penolongku. Suara itu masih ada. Kian jelas. Jerit menyayat, seakan meminta pertolongan. Dan desahan kasar suara lain juga terdengar, aku muak. Dua suara yang makin jelas kudengar.
Di gubuk itu…
Allah…
Amarahku memuncak, mata ini masih cukup jeli dengan apa yang sedang terjadi di gubuk itu. Tanpa berpikir dua kali, kutarik kerah kaos orang bertopi.
BUUUK!!!!
Sebuah bogem kemarahanku cukup mulus mendarat di pipinya. Lelaki bertopi itu terhuyung. Kutarik lagi kerah kaosnya. Bau alkohol menyeruak, membuatku mual seketika.
Oh… shit, dia mabuk.
BUUUKKK!!!
BUUUKKK!!!
Tanpa ampun kudaratkan bogem bertubi-tubi ke pipi kiri dan kanannya, bergantian. Sesuatu yang hangat terasa di kepalan tanganku, aku yakin itu darah. Bersama amarah yang masih memuncak, belum berhenti pukulanku.
Laki-laki macam apa kau, sampai hati menodai wanita yang sudah tak sempurna akalnya?
Laki-laki macam apa kau, yang tega menodai wanita yang telah berbadan dua?
Tujuh bulan, ya… tujuh bulan kini usia janinnya.
Tidakkah kau bayangkan betapa letih dan payahnya dalam kehamilan?
Tak ibakah kau melihatnya?
Sudah membatukah nuranimu? Demi memenuhi hasrat birahimu?
Tanpa jeda pukulan ini mendarat. Tak ada perlawanan. Aku yakin karena pengaruh alkohol dia tak mampu melawan. Meringkuk, dengan topi yang sudah terlepas. Deru nafasku sudah tak beraturan, keringat membanjir deras. Rasa ngilu di tangan kananku, gemetar jadi satu.
Kumenoleh, mencari-cari wanita paruh baya itu. Nihil, tak kutemukan lagi di gubuk. Ke mana dia, cepat sekali berlalu.
Kutinggalkan lelaki bertopi yang masih meringkuk. Kupacu motorku dengan kecepatan tinggi. Toh ketika sadar dia tak akan tahu kalau aku yang telah menghajarnya. Pekat malam masih memihakku.
***
Hampir sebulan tak kulihat lagi wanita paruh baya itu melintas. Berbagai pikiran buruk hadir.
Sakitkah?
Tentang laki-laki yang kuhajar di kebun jagung, aku tak pernah tahu dia siapa. Tak ada beritanya.
Hingga di suatu senja yang lain, kudapati dia melintas. Rambutnya yang makin panjang dan acak-acakan, kulitnya kotor berdebu, sekotor daster yang dibalutkan pada perut buncitnya yang makin membesar. Racauanya masih sama, tawanya sepanjang jalan. Tak ada yang berubah.
Tepat di depan rumah, dia menoleh ke arahku. Mata kami bertemu. Tak bisa lagi kupalingkan wajah. Sesungging senyum dia perlihatkan padaku, bukan senyum dan tawa seperti biasanya. Ada ketulusan di sana, seperti senyum rasa terima kasih. Ah, mungkinkah dia tahu kalau aku yang telah menghajar laki-laki di kebun jagung itu?
Entahlah
Cuma perasaan lega setelah tahu dia baik-baik saja.
***
Hari ini hari minggu. Tak ada yang istimewa. Seperti biasa, aku akan bangun siang hari setelah kutunaikan kewajiban fajar tadi.
“Ndi, bangun! Wanita itu telah tiada.” Ucap emak membangunkanku, menggoyangkan bahuku yang terbungkus selimut.
“Wanita siapa, Mak?.” Tanyaku malas, masih mengantuk.
“Wanita hamil yang selalu melintas di depan rumah.”
DEG!!!
Seketika mataku terbuka. Memandang emak yang masih berdiri di sisi ranjangku, meminta penjelasan.
“Pendarahan, wanita itu dan bayinya tidak bisa diselamatkan. Terlambat penanganan, sekarang jenazahnya masih di puskesmas kecamatan.” Jawab emak seakan tahu pertanyaanku, menutup pintu kamarku dan berlalu.
Oh… Allah
Kupandangi langit-langit kamar. Rasa kantuk seketika sirna. Rupanya seperti ini skenarioMu Tuhan, akhir kisah dari wanita paruh baya itu. Masih ingat dengan jelas, racauannya, tawanya, dan senyum tulus terakhir kali aku bertemu dengannya. Dan tentang rasa trauma yang masih sulit kutaklukan, biarlah tetap seperti ini.
Sebait do’a kusematkan. Semoga kau mendapat tempat yang indah disisiNya. Dan janin itu semoga jadi tabungan yang akan menarikmu ke surgaNya.
Biasa dipanggil Naila. Kelahiran Lamongan 25 tahun silam. Penyuka hujan dan anak kecil. Kini aktif di dunia pendidikan. Bisa dihubungi via facebook di [Naila].