Perempuan Peminjam Air Mata

Perempuan Peminjam Air Mata

Perempuan yang kerap diberi luka, kau datang dengan kaki diseret-seret membekas di kulit tanah. Rupamu adalah wujud kesedihan paling dalam, yang tak mampu bagi siapa pun untuk merayu. Isak tangis itu terus ada, terus berkesinambungan sampai orang-orang di desa membencimu, mengutukimu. Kau tak lagi memedulikan cibiran, makian, hinaan orang-orang. Sebab mereka tak tahu, yang kau butuhkan saat ini hanyalah derai air mata yang dapat mengalir hangat di pipimu sampai menjadi dingin dan terserap waktu.

“Tolong saya tolonglah, tuan. Air mata saya telah habis. Pinjamkan sejenak maka akan saya kembalikan secepat mungkin.” rintihmu kepada si bapak penjual es dawet keliling.

“Maafkan saya, nona. Yang bisa saya berikan pada kamu saat ini adalah sebungkus es dawet menyegarkan lengkap dengan sedotannya. Apakah kamu sudi?”

Kau tak menjawab. Wajahmu semakin sedih, tambah muram. Kembali lagi kau lanjutkan langkahmu menyusuri jalan setapak. Dari caramu melangkah membuat semua orang yang melihatmu merasa iba, tapi tetap saja tega, enggan meminjamkan air matanya kepadamu.

“Lihatlah perempuan itu, ia terlalu berlebihan. Ia habiskan persediaan air mata seumur hidupnya hanya untuk menangisi kesedihan yang tak perlu.”

“Itu benar. Ia terlalu sibuk meratap, sampai lupa bahwa ia bisa bahagia.”

Dengarlah, perempuan yang bersahabat dengan derita, kau jadi bahan gunjingan ibu-ibu yang senang sekali berjumpa di pagi hari ketika membeli sayur, atau di sore hari ketika menunggu adzan maghrib.

Tapi tetap saja, kau tak peduli. Kau lebih suka berjalan lurus walau dengan keadaan menyiksa ketimbang menoleh ke arah orang-orang yang menghinamu.

Perempuan yang kerap digores belati sengsara, kau tak memiliki siapa pun yang dapat menolongmu. Tak jelas siapa orang tuamu, di mana kau lahir, dan apa yang telah terjadi padamu. Kau hanya membuat banyak orang geger dengan kemunculan yang tak diundang, berjalan dengan beratnya, langsung mengemis air mata bagi siapa pun yang sudi meminjamkannya padamu. Tapi pada akhirnya akan tiba pula sosok yang baik hatinya untuk meminjamkan air mata itu padamu.

“Saya ingin membantu dirimu. Tapi bagaimana?” tanya seorang pemuda dengan kaos lusuh berlari menghampirimu dengan nafas tersengal-sengal.

“Engkau hanya perlu meminjamkan air matamu pada saya. Saya tidak meminta. Saya berjanji untuk mengembalikannya secepat mungkin.” jawabmu.

“Tapi bagaimana? Saya tak tahu caranya.”

“Menangis bersamaku.” bisikmu lembut.

Orang-orang di sekitar yang menyaksikan kalian sedari tadi segera menertawakanmu. Mereka menduga bahwa kau adalah seorang pasien pelarian dari rumah sakit jiwa terdekat. Bahkan ada yang berkata bahwa kau hanyalah orang yang suka mencari sensasi.

Tentu saja, pemuda itu tak bisa. Ia hanya bisa terperangah, dan kau tak terkejut sedikit pun. Sebab kau tahu, mencari teman menangis dengan air mata asli itu sungguh sulit.

“Dasar perempuan gila. Jangan-jangan ia mengidap kanker rahim dan stres setelah mengetahui bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa waktu lagi!”

“Atau bisa jadi ia hanya seorang gadis yang ingin memiliki pasangan hidup. Namun tak satu pun lelaki yang mau mempersuntingnya!”

“Barangkali ia perlu menjajakan dirinya di sepanjang jalan seperti penjual sate keliling!”

Begitulah tanggapan orang-orang terhadap dirimu. Segala hal yang terus terucap dari mereka adalah sesuatu yang tak berguna, tak membantumu sama sekali. Nurani mereka barangkali terkunci, untuk sesuatu yang tidak mampu diterima akal mereka.

“Hei, kau! Tunggu!”

Ada yang memanggilmu dari belakang. Langkahmu pun berhenti mendadak.

“Sepertinya aku pernah melihatmu sebelumnya. Tapi aku lupa dimana.” wanita itu mendekatimu.

“Maaf, nyonya. Mungkin Anda salah orang. Saya baru disini.” kau enggan berlama-lama dengannya. Maka kau kembali lagi berjalan dengan tangis tanpa air mata itu.

“Kalau begitu, apa yang kau tangisi?”

Wanita itu sepertinya mulai serius kepadamu. Ia menarik bahumu dan membuatmu berhadapan dengannya.

“Anda tidak akan mengerti.”

“Walau memang aku tidak akan mengerti, setidaknya aku mau mengerti.”

“Jikalau saya menceritakannya, maukah Anda meminjamkan air mata Anda kepada saya?”

“Akan aku usahakan.”

Lalu kau menatap matanya, dan begitu pula ia. Selang beberapa detik, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Kepalamu ditinju oleh seorang pria paruh baya tepatnya di dahimu. Wanita itu menganga terkejut bukan main. Kau meringis kesakitan. Tidak, tidak. Itu bukan kau. Kau telah berubah. Itu wujud perempuan lain yang lebih tua namun mirip denganmu. Jadi ini yang ingin kau ceritakan pada si wanita: sebuah pertengkaran hebat yang pernah terjadi antara kedua orang tuamu. Kau berhasil membawa si wanita ke dalam ruang kenangan kelam dalam hidupmu. Si wanita melihat sebuah kejadian yang tak pantas disaksikan oleh seorang anak. Kedua orang tuamu adu mulut, penuh luapan emosi, dan ketegangan otot-otot wajah dan leher.

Begitu banyak hal yang tak perlu keluar dari mulut mereka, namun malah dilontarkan.

Begitu banyak aksi yang tak perlu mereka lakukan, namun malah mereka kerjakan.

Dan pada ujungnya semua itu berbuah kesimpulan pada benak si wanita: Ibumu berselingkuh. Sampai pada akhirnya ruang kenangan itu membawa si wanita pada waktu di mana ibumu meninggal, mati di hadapanmu dan ayahmu, dengan tubuh berbaring di atas kasur, beberapa minggu setelah pertengkaran yang terus bertubi-tubi melanda kedua orang tuamu. Sepertinya ibumu mati karena sakit, tapi belum tentu juga. Barangkali tekanan batin. Wanita itu pun melihat air matamu jatuh tanpa diawali tangis. Mengalir begitu lembutnya menyelusuri setiap kulit pipimu. Air mata itu, sejak itu, tak pernah berhenti mengalir. Terus membasahi pipimu.

“Aku tak pernah bisa memaafkan ayahku.”

Kau telah berada di samping wanita itu bersama menyaksikan peristiwa dalam ruang kenanganmu.

“Kenapa? Bukankah ibumu yang salah karena ia telah mengkhianati ayahmu?”

Kau dengan mata yang kering mengarahkan kepalamu ke arah si wanita dan memandang keji.

“Itu belum tentu benar!”

Si wanita terkejut.

“Ayahku dipengaruhi banyak hal dari luar.”

“Tapi tadi kulihat ibumu telah mengakuinya sendiri.”

“Sebab aku yakin! Ibuku adalah orang baik, orang yang paling baik yang pernah aku temui seumur hidupku! Dan jikalau memang benar nyatanya ia berselingkuh, aku yakin itu bukan keinginan dari dalam dirinya!”

Kini ruang kenangan itu menghitam. Menyisakanmu bersama si wanita.

“Aku tidak suka cara ayahku menghakimi dan menghukum ibuku! Ia terlalu kasar! Bahkan aku juga tak suka cara Tuhan menghendaki kehidupan ibuku yang akan berakhir demikian!”

“Huss! Kau tak boleh bicara begitu.”

Kau menangis lagi, sama, tetap tanpa air mata.

“Walaupun mungkin ibuku bukanlah istri yang baik, manusia yang jahat, tapi setidaknya ia adalah ibu yang baik bagi anaknya.”

Wanita itu tanpa sadar, matanya menjadi berkaca-kaca.

Seketika ruang kenangan itu kembali menjadi bercahaya. Kini ruang kenangan membawa kau dan si wanita ke dalam sebuah kelas yang tengah berlangsung proses belajar-mengajar. Tampak jelas seorang perempuan, dan itu adalah kau, yang menjadi guru di dalam kelas itu. Kelas yang penuh sukacita, keramaian akan tawa kebahagiaan, dan kesenangan akan pembelajaran.

“Kau seorang guru?” tanyanya.

“Bukan. Itu impianku. Cita-cita.”

“Lalu?”

“Beberapa tahun setelah sepeninggal ibuku, hidupku bersama ayah mengalami keterpurukan. Terutama di bidang ekonomi. Kami melarat. Lalu ayahku pergi merantau dan entah mengapa tak pernah kudengar lagi kabarnya.” tatapanmu kosong ke arah kelas itu.

“Padahal aku sangat ingin menjadi guru, tapi sayang, keadaan ekonomi tidak mendukung. Aku sempat berkuliah, tapi berhenti di tengah jalan. Terkadang lebih baik tidak mencoba sama sekali ketimbang kau berhenti di tengah jalan. Karena rasa sakitnya itu begitu dalam tergurat di hati.”

Wanita itu terus menatap matamu yang semakin kering dan kering bagai tanah kemarau.

“Bila kau ingin jadi guru, kau tak perlu kuliah, tak perlu gelar akademik di belakang atau depan namamu. Kau hanya perlu sosok yang dapat menampung segala hal yang kau ajarkan. Dengan begitu kau sudah mengajar, kau menjadi guru!”

Kau diam. Kepalamu menoleh ke arah si wanita yang air matanya telah mengalir membasahi pipinya.

“Kau tidak mengerti.”

Senyumanmu terbit, diikuti dengan kembalinya kau dan si wanita ke dunia nyata, ke tempat dimana kalian terakhir berdiri.

“Tapi terima kasih,” kau mengusap air mata dari wajahnya dengan tanganmu yang kurus kering itu.

“Akan aku kembalikan sesegera mungkin.”

Kalian berdua tersenyum. Kini kau dapat melanjutkan perjalananmu dengan perasaan bahagia. Kau tak perlu risau lagi. Si wanita itu telah meminjamkan air matanya padamu. Segala tangismu sudah dapat ditemani dengan air mata hangat yang  lalu mendingin di pipimu.

“Tunggu,”

Dalam jarak lima meter dengannya, kau menjeda langkahmu.

“Tak perlu kau kembalikan air mata itu.”

“Kenapa?”

“Itu memang air matamu.”

Kau terperangah. Matamu berbinar-binar bagai embun yang digoyangkan daun talas di pagi hari.

“Aku tak mengerti apa yang tengah kau bicarakan.”

“Dengar, tidak ada orang yang mampu menghabiskan air matanya sendiri sesering apapun ia menangis. Air matamu tidaklah habis. Tapi hilang. Sebab setahun yang lalu, aku berhasil mengendap-endap masuk ke kamarmu lewat jendela yang lupa kau kunci. Aku mencuri semua air matamu sampai tak tersisa.”

Kau masih berdiri tegak di posisi yang sama. Tak bergerak sedikit pun, tak membuka mulut sedikit pun.

“Kau boleh tidak memaafkanku. Seharusnya aku tak mencuri, bila memang tak ada seorang pun yang berniat memberikan sedikit air matanya untukku.”

“Kau juga wanita tanpa air mata?” suaramu bergetar dan wanita itu mengangguk.

“Tidak seperti kau, orang yang mencuri air mataku tidak kunjung mengembalikannya padaku. Atau memang aku dilahirkan tak pernah punya air mata? Sebab kata ibuku dulu, lahir pun aku tanpa menangis.”

Perempuan peminjam air mata, kau sudah tak perlu lagi mengemis penuh hina untuk pinjaman air mata. Kini kau telah bebas, terserahmu berapa kali kau ingin menangis dalam sehari. Entah itu menangisi tentang kepergian ibumu yang terlalu dini, entah itu menangisi tentang impianmu yang tak sampai, entah itu tentang laki-laki yang kau cintai tak kunjung mempersuntingmu. Terserah. Yang penting, jangan biarkan air matamu itu kau simpan untuk waktu yang lama, jangan biarkan hatimu begitu kaku, jangan biarkan perasaanmu tak tersentuh sedikit pun akan hal-hal dalam kehidupan ini. Sebab air mata adalah lambang kemanusiaan, bukan kehinaan. Jangan takut menangis.

Maka jangan sampai kau menjadi seperti wanita itu, yang tak pernah sedikit pun membuka hatinya untuk dapat tersentuh dengan hal-hal tertentu dalam kehidupan. Sampai-sampai air matanya mengering, meresap ke dalam kekakuan hatinya. Ia hidup tanpa air mata, sampai tiba saatnya ia membutuhkannya ketika ia tahu kekasih pujaannya tidak pernah mencintainya. (*)

 

Seruyan Tengah, Desember 2017.


Nanda Insadani lahir di Medan, 29 Juni 1998. Cerpen dan puisinya tersebar di beberapa media. Beberapa cerpennya dapat ditemukan di buku antologi Raib (Jejak Publisher, 2017) dan Urban Legend (Jejak Publisher, 2017). Kini berdomisili di Seruyan Tengah, Kalteng. Dapat dihubungi melalui akun facebooknya bernama Nanda Insadani atau 085753022481.

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.