Subuh

Subuh

Lelaki itu diam di ambang pintu rumahnya.

Seragam blue jeans. Sepatu. Tas ransel. Helm safety sudah menunggunya. Pukul empat lewat sepuluh. “Ke mana si Wawan? Tak seperti biasanya,” batinnya.

Ia menekur di kursi teras bedeng kontrakan. Dirogoh saku baju. Sebatang rokok dan sebiji korek nongol dari saku celana. Puntung merah menyala. Hisap, uar. Hisap, uar. Asap putih menjadi pencemar. Semoga embun tak protes.

Deri, lelaki yang tengah menunggu itu, tak habis pikir. Kenapa hidup begitu harus dipikirkan? Tidak punya kerjaan, bingung. Tidak ada uang, bingung. Tidak ada pasangan, bingung. Tidak punya anak, bingung. Tidak bisa bingung, eh masih bingung.

Deri ingat kalimat yang menyeretnya jauh dari Panarukan sana ke Kota Baja ini. “Engkok pastèh soghi makkè ta’ sholat![1], sumpahnya dulu tepat di depan mata kedua orang tuanya. Tanpa restu, ditinggalkan kampung seribu mushalanya dengan bus antar kota menuju Surabaya. Ia masih ingat panjang perjalanan kali pertama itu dengan Cak Dhur, sopir truk beras jurusan Lampung, yang ditumpanginya hingga tiba di Merak.

Tak ada lagi lelaki lima puluh tahunan yang mengomelinya karena tak lagi ke langgar.

Tak ada lagi emak-emak lima puluh tahunan yang menceramahinya gara-gara suara mengajinya tak terdengar.

Tak ada itu salawatan. Tak ada itu pengajian. Tak ada lagi jalan kampung yang penuh sesak karena kedatangan kiyai panggilan.

Didapatkannya langkah kebebasan.

“Mana ini si Wawan?” gumam Deri mulai gusar. Dipandanginya jam tangan. 04.18. Ia mendenguskan nafas. Gemas.

Soal Wawan, dia tak lama mengenalnya dibandingkan Rusdi, jawara Gerem yang banyak menolongnya sewaktu masih hijaunya tujuh tahun lalu celingukan di perempatan Damkar. Rusdi banyak membantu Deri beradaptasi dengan dunia barunya. Andaikata Rusdi tak banyak bacot dengan mengajaknya ke pengajian ini itu atau mendalami ilmu ini itu, bisa jadi mereka bagaikan saudara kandung hari ini.

“Ah, untuk apa jauh-jauh kemari jika harus jadi budak mushala lagi?” Cetus Deri di hati sewaktu itu.

Berkenalanlah kemudian Deri dengan Wawan, tetangga lain dusun—yang di sini lebih lazim disebut lingkungan—di dekat bedeng kontrakannya. Sekitar empat tahunan. Deri dan Wawan seperti dua jiwa yang dipersatukan. Sama-sama punya DNA setan. Sama-sama punya bibit kerusakan. Satu hal kesamaan mereka yang paling disukai Deri dari Wawan : Sama-sama benci adzan.

Deri tak mungkin tidak tertawa tiap kali Wawan mengomel begitu adzan diperdengarkan. Omelannya terasa khas.

Lengkap kesenangannya :

Tak ada omelan.

Tak ada pengajian.

Tak ada ceramahan.

Tak ada persembahyangan.

Tak ada nasihat kebaikan.

Deri yang baru lepas dua puluh tahun ketika itu banyak mengenal apa itu ‘kehidupan’ dari seorang Wawan. Segala macam perempuan, segala bentuk cairan memabukkan. Lorong-lorong yang menyesatkan menjadi hiburan ketika malam datang atau ketika waktu senggang. Jika orang-orang pusing dengan isu PHK, Deri yang diberhentikan gara-gara berkelahi di perusahaan pertamanya begitu mudah menghapus deritanya dengan semalam bersama Wawan dan beberapa bidadari jalanan serta sebotol oplosan entah darimana mereka dapatkan.

“Kerja bisa dicari, yang penting asoooooooy! Hoooooi! Hahahahahaha!” gelak mereka tak punya malu. Lepas tengah malam waktu itu. Botol-botol tuak masih di tangan. Berkali luput dari mulut membasahi badan. Mereka tak peduli. Benar-benar tak peduli.

Sebulan lalu, Deri ingat pernah bertanya pada Wawan, “Kamu yakin mau seperti ini selamanya?”

Wawan tertawa mengangguk.

“Mau apa lagi? Orang kayak kita ini sudah takdirnya ya jadi orang rusak saja. Mau jadi apa lagi? Pengusaha? Saingan banyak, Bos! Ustad? Belajar tajwid aja belum tamat! Wahahahaha! Terus jadi apa? Hidup itu dijalani aja. Kalau takdir kita memang masuk neraka ya sudah dijalani saja. Jangan sampai di dunia rugi, di akhirat tekor. Wahahaha…”

Deri diam.

Apakah memang demikian?

Deri tahu, sebenarnya ia tak benci sungguh dengan apa itu Allah atau… Al-Qur’an… atau syahadat. Tahlilan dan salawatan bukan sesuatu yang sejatinya dimuakinya.

Andai ayahnya yang katrok itu tidak se-freak waktu itu padanya : harus jadi muazin di langgar, harus zikiran setelah subuh sampai pagi, harus ikut pengajian haji ini atau kiai itu, harus ini, harus itu, harus ini itu, harus itu ini—barangkali ia tak segila ini menjadi tamu di Tanah Banten. Tanpa saudara, tanpa tahu seperti apa wajah ujung barat Pulau Jawa ini selain berita tivi tiap musim mudik lebaran.

Andaikata ia diberikan ruang dan waktu sendiri untuk mengenal Yang Di Atas Sana, barangkali ia tak sefasik ini.

Benar kata Wawan. Sudah basah, ya nyebur saja sekalian.

Suara sepasang kaki menginterupsi lamunan Deri. Haji Idin, tetangga sebelah, melintas tak sadar keberadaannya. Lelaki tua itu seperti biasa berjalan menuju mushala. Bersiap-siap dengan tugasnya. Tugas yang membuat Deri gelisah.

“Setan si Wawan!” maki Deri melihat arloji sudah pukul 04.32, beberapa menit lagi adzan subuh. Ia merogoh ponsel antiknya.

Terdengar ringtone di seberang sana.

Tak diangkat.

Deri matikan dan menelponnya kembali.

Terdengar ringtone lagi. Masih tak ada yang mengangkat jua.

“Argh!” geram Deri. Sementara itu, suara kerisik mic mushala mulai menandai. Gelisah Deri makin menjadi.

“Pasti si Kampret ini habis sama si Vita. Kenapa nggak bilang dari kemarin?! Goblok!”

Deri mencoba menghubungi lagi.

Terdengar lagi ringtone menyebalkan itu.

Nyaris putus asa dan dibantingnya ponsel jadulnya itu hingga suara perempuan terdengar di seberang sana.

Bukan suara Vita…

“Halo? Ini siapa ya?”

Assalamu’alaikum, maaf dengan siapa? Apa Bapak kenal dengan Bapak Ridwan Cahyo Nurahman?”

Itu nama lengkap Wawan.

“Be-betul,” Deri gugup. Bicara dengan siapa aku ini? batin Deri memaki. “Maaf, dengan siapa ini ya?”

“Saya Santi dari RSUD Cilegon. Bapak kerabat dari Pak Ridwan? Kami tunggu kehadirannya ya Pak. Pak Ridwan sekarang berada di ruang jenazah karena kecelakaan di Panggungrawi.”

“Ka-ka-kapan, Teh[2]?”

“Kemarin malam, Pak. Sekitar isya. Kami kesulitan menghubungi pihak keluarga Pak Ridwan. Apa Bapak bisa…”

Jantung Deri  serasa berhenti.

Bayang wajah tengil Wawan menghampiri.

“Kalau aku jadi walikota, aku kasih sejuta orang yang berani nyumpel mulut muadzin. Biar nggak berisik! Hahahaha!”

Kelakar sehari lalu itu mengiang di telinga Wawan, lagi.

“Allahu akbar, Allahu akbar…!”

Deri tersentak. Adzan subuh menggelegak. Ada sesuatu di hati Deri yang seketika tak bisa ia tolak.

“Belum berangkat, Der? Mau ke subuhan dulu? Tumben?” tanya Husni tiba-tiba.

Deri diam.

Tuhan, haruskah pesan Mu sebegini ‘dalam’?

**

 

Catatan Kaki :

[1] Bahasa Madura            : “Aku pasti kaya meskipun tidak shalat!”

[2] Bahasa Sunda               : Teteh, panggilan untuk kakak perempuan atau yang dituakan.

 

Cilegon, Februari 03 (2018)


ARAS adalah nama pena Anggarian Andisetya, perantau penikmat sastra yang (masih) berjuang menyelesaikan kumpulan cerita pendeknya. Sole traveller kelahiran Kota Tape (Baca : Bondowoso) yang paling kangen dengan momen mudik ini bisa ditemui di :

 

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.