Pemuda Penunggu Senja
Dia selalu di sini. Duduk tepat di bawah rona merah dan jingga bertemu. Di atas hamparan lautan yang luas. Ia duduk bersila dengan pandangan menantang langit. Bola matanya sangat tajam, dengan bingkainya yang bulat. Ia selalu diam di saat-saat terakhir senja. Menunggu dalam diam tanpa gerak sama sekali. Seakan menunggu masa peralihan langit menjadi gelap. Dari samping, pemuda itu terlihat sangat tampan. Pahatan wajahnya yang sempurna. Aku selalu berandai, andai aku bisa menatap pemuda itu dari samping, merengkuh wajah itu ke dalam kedua tanganku. Meski kadang pikiranku bertanya-tanya, siapa pemuda itu dan mengapa pemuda itu di sana?
“Dia selalu seperti itu sejak kekasihnya menghilang.”
Aku ingat. Salah satu teman kostku pernah membicarakan lelaki itu saat tak sengaja kami bersama ke tempat ini. Katanya, dulu dia adalah lelaki yang periang dan selalu tersenyum kepada siapa pun yang menyapanya. Dia juga pemuda yang tampan di desa ini. Hanya saja, sejak dua tahun yang lalu, dimulai saat kekasih yang sebulan lagi akan menjadi istrinya pergi. Wanita itu pergi ke arah barat dengan lelaki pelayar dari pulau seberang. Padahal menurut berita yang didengar, mereka sudah lama menjalin kasih hingga akan mengakhiri hubungannya dalam sebuah ikatan halal. Namun manusia tak pernah merasa puas dan mudah tergoda dengan sesuatu yang lebih sempurna. Wanita itu terpikat pada seorang pelayar yang lebih kaya dan memutuskan pergi meninggalkan pemuda itu. Sejak itu, pemuda yang ditinggal calon istrinya itu menjadi pendiam dan terpuruk. Menutup diri dan tak pernah bertegur sapa dengan penduduk. Seakan pusat dirinya sudah hilang tersedot black hole.
Aku sudah sejak beberapa bulan menatapnya. Sejak aku mulai hidup mandiri dan jauh dari kedua orang tuaku. Setiap senja, aku selalu ke tempat ini. Menatap persatuan rona jingga dan merah itu. mengabadikan semuanya dalam sebuah lensa yang aku bawa. Sebenarnya bukan hanya itu maksudku. Aku tak hanya mengabadikan senja, namun aku juga mengabadikan pemuda yang aku juluki “Pemuda senja”. Sesekali aku mencuri pandang padanya yang tak pernah bereaksi. Dia datang saat waktu Ashar dan pulang saat Magrib berkumandang.
Pernah sekali waktu aku mencoba mendekatinya. Namun seperti yang pernah orang bilang. Bagaikan berdekatan dengan batu, diam tak bergerak. Dia hanya bernapas tanpa bergerak. Tak pernah tertangkap mencuri pandang ke arah mana pun seperti pemuda lainnya. Sempat juga berpikir mungkin aku tak menarik untuknya. Namun semua itu segar kutepis saat ia pun tak merespon wanita yang terang-terangan berada di depannya. Wanita berbikini yang melenggak-lenggok itu bahkan tak pernah berhasil mengalihkan tatapan menantang itu.
“Kamu menyukainya?” tanya salah satu teman sekamarku saat kami tengah bersama.
Aku diam. Menghentikan segala aktivitasku tentang laporan-laporan penelitian yang harus aku kumpulkan esok. Sedari tadi otakku sudah berpusat pada berlembar-lembar laporan dan juga ratusan huruf yang tertata dalam laptop kecilku. Kini saatnya aku mengistirahatkan pikiran sejenak.
“Aku hanya penasaran,” jawabku sekenanya.
Memang benar. Aku hanya penasaran pada pemuda itu. ingin sekali kuberbincang dengannya dan tertawa bila dimungkinkan. Hanya saja mungkin aku harus menanam keberanian dan percaya diri yang lebih lagi. Karena selama ini, bahkan dia belum pernah menyadari bahwa aku sering mantapnya dengan penuh minat.
“Jangan sampai rasa penasaranmu menjadi rasa suka. Suatu saat dia pasti akan pergi menyusul wanitanya,” saran teman sekamarku itu sama sekali tak aku gubris.
Aku masih menatap kosong keluar jendelaku, menatap pada ilalang yang telah tumbuh tinggi di halaman rumah. Tanah cokelat itu bahkan tak pernah aku lihat lagi. Sudah tertutupi lebatnya ilalang. Mungkin nanti akan aku cabut ilalang tersebut setelah aku bertemu dengan pemuda itu. jadi seharusnya aku memikirkan cara mendekati pemuda itu sebelum berpikir kapan akan mencabut ilalang.
Dengan keberanian yang sudah aku susun sejak beberapa hari, aku mulai melangkah dengan pasti mendekati pemuda yang masih duduk di tempat yang sama. Di atas laut tepat di bawah pertemuan jingga dan merah. Kini dia memakai kaos jingga yang sangat kontras dengan langit. Tatapannya masih tajam ke arah barat, menantang langit yang kini menenggelamkan surya.
Aku hanya duduk di sampingnya dengan diam. Tak berniat menimbulkan gerakan sedikit pun. Meski bibirku gatal ingin bertanya lebih. Untuk hari ini, biar aku diam dulu. Mungkin besok akan ada perkembangan yang berarti.
Sudah beberapa kali begini. Kira-kira sudah tiga bulan aku hanya menemaninya dalam diam. Dan dia pergi saat suara panggilan sholat berkumandang, meninggalkan aku sendiri dalam sebuah kesunyian. Aku bosan juga sebenarnya. Namun bertahan untuk memetik hasil yang indah, mungkin.
Kali ini musim hujan. Sudah beberapa kali aku gagal melihat senja dan berakhir dengan basah kuyup. Namun aku dan pemuda itu tak jera. Masih menunggu senja datang meski kecil peluangnya.
“Pakai ini,” ujar sebuah suara yang benar-benar membuatku kaget.
Kutolehkan ke arah samping dan mendapati pemuda senja itu mengulurkan jaket denimnya. Matanya tetap tajam hingga aku mengambil jaket tersebut.
“Terima kasih,” ucapku kaku. Masih cukup terkejut dengan tingkahnya yang tiba-tiba. Sempat terbersit sedikit harapan ke depannya. Mungkin aku bisa menggenggam tangannya dan beralih ke hatinya. Meski saat ini hanya jaket yang ia berikan, namun aku tahu ada masanya semua akan berkembang.
Hingga aku sadar. Masa juga bisa membuat waktu berhenti dan menghancurkan asa yang sudah tertumpuk dalam angan. Pemuda senja itu masih berada di tempat yang sama saat aku datang. Tak ada yang berubah. Kecuali seorang wanita dengan rambut sebahu yang tengah memeluknya dengan erat. Seperti meluapkan segala kerinduan yang menumpuk.
Aku diam. Samar-samar aku mendengar percakapan para nelayan yang melintas.
“Sayang sekali. Kenapa pemuda baik seperti dia mau kembali kepada wanita yang membuangnya.”
“Iya namanya juga cinta, Bu. Kotoran saja berasa kue donat.”
Satu pemahaman tertangkap olehku. Masa menghentikan gerakanku, semesta melarangku bersama dengan lelaki itu. laut pun telah membawa wanita yang ditunggu oleh pemuda senja itu. Aku paham. Benar kata orang jika kesalahan akan terasa benar jika sudah disambung dengan cinta. Benar juga usahaku selama ini meski sebenarnya orang mengatakan itu salah. Berharap pada hati yang menjadi milik orang wanita lain.
Aku memutuskan berbalik pergi. Sesak juga rasanya meninggalkan hal yang belum didapatkan. Sepintas tatapan pemuda itu terasa menghujamku. Namun aku tahu, tatapan itu hanya tatapan tanpa arti. Tetap saja aku harus melangkah pergi.
Agustin Handayani. Permpuan kelahiran Probolinggo, 1996. Seorang Mahasiswa dan aktivis literasi daerah. Bisa dijumpai di akun media social, FB : Agustin Handayani