Puisi-Puisi Zen Kr

Puisi-Puisi Zen Kr

MAJANG[1]

      ;Lelaki Pesisir Pulau Madura

 

Bila hari menginjak dini
dengan rela, kami tinggalkan anak-istri,
pasrah kami lawan emosi gelombang
walau selamat, masih akhir dari jawaban.
Di laut tempat kami memecah keringat,
tak sedikit kami menaruh getir
pada debur yang menghantam sampan
meski karam adalah risalah kematian.
Kami kuat pada penat pekat melekat,
tak gentar lapar menyambar
sebab tubuh kami karang
kekar di lautan.
Doa kami menyelam di lautan
Terselip di antara lubang-lubang karang
berharap ikan-ikan tak sembunyi ketakutan
Pada  jala yang kami hamparkan
Untuk  merangkul mereka ke dalam renjhing[2].

Lalu pabila malam membayang
senja mengajak kami pulang
pada peluk anak-istri
yang mengalirkan cemas pada laut yang kami layari.

Sumenep, 15-10-2017


 

HIKAYAT SUNGAI

Walau manusia kerap meleburkan sampah dan limbah pada tubuhku
Diriku bukanlah nestapa bagi ikan-ikan
Sebab, walau keruh tubuhku sakral
Tak henti mengalir dari hulu ke hilir waktu

Sejatinya, aku lebih kejam
Mampu mencipta kesengsaraan
Atas derita yang mereka hunjamkan
Dengan memuntahkan seisi perutku pada daratan
Namun, hanya ketabahan kerap kami haturkan
Bersyukur tuhan senantiasa menumbuhkan kesabaran.

Walau aku tak seindah purnama
Yang kerap dinanti  di puncak malam
Namun, tubuhku ialah tempat
Di mana ikan-ikan jumpalitan memaknai kehidupan
Atau manusia mencuci diri dan  pakaian.
Juga ketawaranku adalah kesejukan yang mengalirkan kehidupan
Pada tetumbuhan, pada kehausan hewan-hewan.
Tetapi meski begitu, aku tetap kerap getir pada takdir
Sebab segala yang mengalir
Akan menjumpai akhir.

Annuqayah, 2017


 

PEREMPUAN BERDADA TUHAN

; Ibu

 

Semisal cahaya mencipta bayang
Maka tawa dan air matamu menjelma aku, anakmu
Dan hanya engkaulah, Ibu
Pembunuh risau bila tubuhku kemarau
Sebab samudera kasihmu
Masihlah harap dahagaku.

Ibu, jikalau aku adalah Ibrahim
Yang kerap gelisah mencari Tuhan
Sebenarnya engkaulah tuhan itu
Tak henti mengalirkan kasih sayang
Meski dosaku padamu
Laksana pahit dan empedu

Lalu, bila kasihmu samudera tak berdermaga
Maka izinkan aku
Layarkan khilafku dengan perahu
Agar surga di tubuhmu
Bisa sempurna kulabuhi

Sumenep, 10 November 2017


 

KISAH DI SEKOLAH

Barangkali, kantuk subuh masih tersisa
lalu, lelap merayuku di bangku sekolah
agar telaten guru menjelma dongeng pengantar tidurku.
tak adakah rasa khilaf yang kau labuhkan padaku, Tuhan
Ataukah aku yang tak sekali memburu rasa itu ?.

Hingga seamsal mendung pagi ini,
aku adalah jalanan tabah
yang tak tahu apa-apa
; Sejuk matahari-Mu yang kan menyapa
atau hujan akan melanda.
Lalu dari itu, aku bertanya pada hati
“Masihkah letih akan menuai makna,
pabila langkah dimulai tanpa rasa ?”.

MAT Annuqayah, 05 Nov. 2017


 

KELUH TEMBAKAU

Kami tembakau-tembakau yang tumbuh di sawah-sawah. Saat ini meredam segenap amarah dan kepedihan, sebab kesuburan kemarau yang selama ini kami impikan raib di telan musim penghujan. Sering kali kami menangis tersedu sedan hingga tubuh kami layu, pucat akibat kemarau terbunuh.

Pabila mentari muram di waktu siang, tubuh kami gemetar, cemas menyambar. Berharap hujan tak kembali tumpah. Sebab, sawah yang kami tumbuhi tak beratap untuk meneduhi.

“Tuhan, berikanlah kami ketabahan dan kekuatan, layaknya Yunus yang sanggup bertahan dalam tubuh ikan. Hingga kami dapat terus tumbuh, kian membesar, kembali menghijau. Lalu kami bisa menjelma tembakau-tembakau yang sempurna menuntaskan segala harap anak cucu adam,”.
2017


 

NGARE’[3]

Di hari-hari kami, keringat mengucur dari arit
dan tumpah pada rumput malang
disawah-sawah atau di ladang-ladang.
Tak ada rasa selain tabah,
Meski dalam dada
Keluh-kesah merekah
Dan terkadang menjelma banjir di pelupuk mata.
Sebab kehidupan kami
Adalah kehidupan sapi dan empe’[4]  yang kami piara.

Selain pada rumput, kami berharap pada peltong[5]
Agar tak membalas dendam
Atas derita yang kami hunjam.

Dalam hidup kami
Tak ada hal lebih nestapa
Kecuali kemarau panjang melanda
Sebab rumput tumpuan nafkah,
Kering tak berdaya.

Annuqayah, 2017


 

SEBELUM HUJAN RUNTUH DI MATAKU

\1/
Sebelum hujan runtuh di mataku
Petir telah kausambarkan lebih dahulu
Lewat bahasa rancu yang berderu di mulutmu.
Juga isyarat wajahmmu,
taklagi merahasiakan waktu.
\2/
Sebelum hujan runtuh di mataku
Cemas tumbuh
Sebab yasin dan tahlil yang menggema di ruang itu
Seperti menjelma lagu pengalun sendu.
Namun, sama sekali tak kau gugurkan resahku.
\3/
Sebelum hujan runtuh di mataku
Allah. Allah. Lailaha illallah.
Lafaz itu sempat kualun syahdu di telingamu.
Lalu tak lama, gemuruh tercipta dalam dada
Al fatihah-ku,  menjelma penutup kalender usiamu.

Candi,10 Nov. 2017


 

SALAM, PENYAIR

; kepada Ahmad Nyabeer

\1/
Salam, penyair
Entah dengan apa rembulan kausajikan
Sehingga cahayanya memancar begitu sakral
Juga pada sungaimu
Senantiasa mengalirkan getir ke hatiku
\2/
Salam, penyair
Letih sudah sayap kukepakkan
Agar indah kupandang di ketinggian
Namun selalu saja, sayapmu lebih cepat melesat
Lebih pandai membuatku lunglai.
Barangkali memang benar
“selain di langit, matahari bersinar pula di dadamu”[6].

Annuqayah, 2017


  • [1] Majang adalah pekerjaan memburu atau menjala ikan orang madura pesisir.
  • [2] Renjhing adalah tempat ikan hasil jala (sekarang  jarang digunakan).
  • [3] Ngare’ adalah pekerjaan menyabit rumput untuk memberi makan hewan piaraan.
  • [4] Empe’ adalah sebutan bagi anak sapi di daerah Madura
  • [5] Peltong adalah tempat rumput hasil menyabit.
  • [6] Dikutip dari Puisi Ahmad Nyabeer . Judul “Alhamdulillah, Sungai Masih Ada”

 

*Zen Kr  adalah nama pena dari Zainul Kurama’, kelahiran Desa Batang-batang Daya  kec. Batang-batang. Aktivis Komunitas Penyisir Sastra Iksabad (PERSI). Alumni MI dan Mts. Miftahul Ulum, sekarang  termasuk siswa MAT Annuqayah. Email : Zen.Kr@yahoo.com Alamat: Jl. PP. Annuqayah Daerah Lubangsa Guluk-Guluk Sumenep Jawa Timur 69463

 

 

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.