Tentang Dia dan Puisi Itu

Tentang Dia dan Puisi Itu

Di sebuah ruang kelas pada pagi hari, seorang siswa lelaki dengan jaket biru memasuki pelataran kelas yang masih begitu sepi. Lelaki itu mengernyit heran ketika menemukan seorang perempuan yang duduk di bangku paling belakang dengan pandangan tertumpu pada selembar kertas yang kosong. Pukul berapa ini? Lelaki itu membatin sambil melirik ke arah jam yang menunjukkan pukul 5 pagi. Masih terlalu pagi untuk seorang siswa normal yang sekolahnya masuk pukul 7.

Nama lelaki yang menggunakan jaket biru itu adalah Arkan. Siswa baru. Lelaki itu duduk di bangku paling depan. Kembali melirik ke arah gadis yang masih menunduk diam menatap kertas kosong. Tangan gadis itu bergetar.

“Aneh!” Gumamnya di dalam hati, sebelum berbalik menatap papan tulis yang masih kosong.

***

Kelas makin ramai seiring waktu berlalu. Arkan duduk di samping Adi yang memang kebetulan teman sebangkunya baru saja pindah sekolah. Arkan kembali menoleh ke belakang. Menatap tubuh gadis yang duduk sendirian di kursi paling belakang dengan kepala yang menunduk.

“Di!” Adi menoleh, memberikan tatapan bertanya pada Arkan. “Dia itu siapa sih? Kamu kenal gak? Kok dari tadi dia kayak anak autis?” Arkan melirik kearah gadis itu lagi, Adi ikut menoleh ke arah pandangan Arkan, setelahnya Adi tertawa hambar.

“Oh dia! Namanya Hani. Aku gak tau kenapa anaknya kayak gitu, dia gak mau temenan, gak mau ngobrol. Katanya sih anak broken home yang sering disiksa,  jadinya kayak gitu deh.” Adi berujar santai, seolah dia sudah biasa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Arkan. Arkan diam, mencerna lamat–lamat apa yang diucapkan Adi.

“Jangan dekat–dekat dengan orang seperti dia! Takutnya dia punya kepribadian ganda.” Adi mengetuk meja tak sabar.

Bipolar disorder!” Arkan menimpali.

“Nah itu maksud gue.”

Arkan tersenyum, sedikit melirik ke arah gadis yang duduk di belakang. “Jadi namanya Hani.” Dia bergumam sambil mengangguk pelan.

***

Hani berjalan sambil menunduk, gadis itu melangkah tergesa menuju sebuah koperasi. Ingin membeli air. Kerongkongannya kering dan dia lupa membawa botol minum. Entah mengapa dia merasa hari ini hari yang begitu sial. Apalagi jika mengingat ada anak baru yang terang-terangan menatapnya penuh selidik. Setelah membeli air, Hani berjalan menuju kelasnya, wajah gadis itu masih ditundukkan. Lalu pada akhirnya menabrak tubuh seseorang.

“Ma…Maaf.” Ucapnya terbata. Gadis itu mengambil beberapa barang-barangnya yang sempat tercecer.

“Kamu Hani kan?”

Hani tak menjawab. Gadis itu sibuk membereskan barang-barangnya, tanpa bertanya terlebih dahulu Arkan ikut membantu membereskan barang–barang yang tercecer di lantai. Setelah beres, Hani berjalan meninggalkan Arkan.

Arkan baru saja ingin mengejar Hani, namun niatnya ia urungkan ketika selembar kertas putih yang hampir tersamarkan dengan lantai tergeletak begitu saja. Dia membuka kertas itu dan sedikit terkejut. Kertas itu berisi puisi. Puisi milik Hani.

Sendiri

Sepi di antara keramaian

Merapuh di atas kerinduan

Berselimut cinta berlapis hina

Mampukah aku melupa?

 

Senja ikut bersedih hari ini

Tenggelam bersama air mata

Layakkah aku bahagia?

 

Kau lucuti semua kebahagiaan

Kau rampas semua rasa

Gemelut dusta di dalam jiwa

Kepulan asap bernama luka

 

Dimana keadilan itu?

Merenung di dalam lara

Sepi lagi

Sendiri lagi.

-Gadis pendiam yang tak suka berteman. Awal April 2017

Berulang kali Arkan membaca puisi itu, sudah seminggu tepatnya setelah kejadian itu. tapi dia  belum juga mengembalikan kertas itu. Arkan hanya akan membacanya, lalu kemudian tersenyum tipis. Ada sebuah perasaan aneh yang hadir ketika membaca puisi itu. Entah apa itu, tapi Arkan merasa nyaman.

“Woy!” Seseorang menepuk kasar bahu Arkan, Arkan menoleh.

“Kenapa, Rik?” Arkan memasukkan kertas putih yang kini berubah berwarna sedikit kusam karena terlalu sering di baca olehnya. Lelaki yang baru saja menepuk bahu Arkan adalah Erik. Tetangga baru di rumah baru tentunya.

“Lagi jatuh cinta ya?” Arkan mengangkat bahu, bingung ingin merespons apa. Erik tertawa hambar. “Saya baru tau ternyata cowo pinter kayak kamu bisa jatuh cinta juga”.

Arkan mendengus, berusaha tidak mendengarkan ucapan Erik yang terkesan menyindirnya.

“Saya gak suka sama orangnya, saya suka puisinya.” Arkan berbisik lirih, tapi senyuman tipis lelaki itu tak mampu disembunyikannya lagi. Erik kembali tertawa, kini lebih renyah.

“Padahal diam-diam kamu suka sama yang bikinnya kan? Menurut sebuah penelitian yang saya gak tau asal-usulnya dari mana, katanya orang bisa menyukai sesuatu karena dia menyukai orang yang bersangkutan dengan hal tersebut. Atau praktisnya, kamu bukan suka sama wanita karena dia cantik. Tapi dia cantik karena kamu suka sama dia. Ngomong-ngomong itu puisi punya siapa sih?” Erik menunjuk kertas yang sudah dilipat oleh Arkan.

Arkan tersenyum. “Siapa aja boleh.”

“Yeh!”

Arkan tak perduli, lelaki itu berdiri meninggalkan Erik yang masih berkomat-kamit, mengumandangkan sumpah serapah pada temannya yang baru saja keluar dari kamarnya.

***

Pagi ini seperti biasa, Hani duduk di bangku paling belakang. Tapi, rasanya berbeda. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, ketakutan. Ada gerombolan siswi yang mengerubunginya. Tatapan mereka seolah ingin menguliti tubuh Hani hidup–hidup. Astaga, dia harap kejadian beberapa bulan yang lalu tak terulang lagi.

“Heh, kamu gak waras ya? Kok aneh banget sih, mau nyari perhatian? Udah bego, sok cantik. Mau kamu tuh apa sih sebenernya? Mau cari sensasi? Hmm?” Vera bertanya dengan nada mengejek, wajahnya dibuat sedatar mungkin. rambut coklatnya dikibaskan ke belakang.

“Kalo ditanya jawab!” Luna menggebrak meja. Hani mengerut ketakutan. Bibirnya bisu. Lidahnya kelu. Tubuhnya kaku.

“Punya mulut gak sih!” Nana menarik paksa dagu Hani agar mengangkat wajahnya, Hani menatap Nana. Ada sorot kemarahan dan kesedihan di dalamnya. Nana tertawa mengejek.

“Nantangin saya?” Nana mengangkat tangannya, hendak menampar Hani, beberapa bulan yang lalu, Hani juga merasakan rasa berdenyut di pipi kanannya karena ditampar Nana, tapi kini, belum sempat menampar, tangan Arkan sudah lebih dulu menarik Nana hingga tubuh gadis itu mundur ke belakang dua langkah.

“Gak mau kan kalo besok ada berita tentang Anda yang ketahuan membully, terus besoknya lagi Anda sudah dikeluarin dari sekolah ini?” Nana diam. Belum ada yang berani mengancamnya selama ini. Gadis itu menggeram tertahan. Sedikit melirik Hani yang kembali menunduk. Gadis itu berjalan meninggalkan Hani dan Arkan. Begitu pula kedua temannya. Seketika mereka menjadi bahan tontonan anak–anak di kelas itu.

“Kamu gak apa-apa?” Arkan berjalan mendekati Hani yang diam menunduk. Gadis itu tak menjawab. Sesaat ketika tangan Arkan ingin menyentuh bahu Hani. Gadis itu berdiri, meninggalkan Arkan. Lelaki itu tak diam seperti apa yang pernah di tontonnya di televisi, dia berlari mengejar Hani.

***

Hani menangis di sebuah taman dengan wajah yang ditundukkan. Tertutup oleh kedua telapak tangannya. Arkan duduk di sampingnya. Menunggu hingga Hani selesai menangis. Setelah gadis itu berhenti menangis.

“Udahan nangisnya?” Hani tak menjawab, sibuk menyeka air mata dengan tangannya. Arkan mengeluarkan kertas yang sudah kumal lalu memberikannya pada Hani. Gadis itu diam sejenak. Menatap bingung kertas kumal yang baru saja disodorkan oleh Arkan.

“Ini, ambil.” Arkan menarik tangan Hani, meletakan kertas kumal itu di atas tangan Hani. Dia membuka kertas itu, lalu tersenyum. Ini puisinya yang waktu itu hilang.

“Saya suka puisi kamu, keren! Kamu berbakat!” Hani tak menjawab, belum pernah ada yang memujinya. Jangankan memuji. Orang mau berbicara tanpa otot yang menegang saja belum pernah ada.

“Saya tahu, kamu pasti punya masalah dalam hidupmu,  semua orang juga punya. Bukan hanya kamu. Tapi saya hanya ingin kamu gak nyimpen itu sendirian.” Arkan menatap Hani lamat – lamat. Gadis itu membuang wajahnya. “Saya ingin jadi temanmu.” Arkan berujar pelan.

Hani melirik terkejut kearah Arkan. “Apa?” Suara itu akhirnya lolos dari mulut Hani. Meski begitu pelan, namun diam-diam Arkan suka mendengarnya.

“Saya mau jadi temenmu.” Hani diam sejenak. Menatap tak percaya ke arah Arkan. Namun setelahnya ia tertawa. Arkan pun ikut tertawa melihat gadis itu tertawa.

***

Hani mulai sering bergaul dengan Arkan. Gadis itu tak lagi menutup dirinya. Membuat puisi bersama Arkan lalu membacakannya di sebuah taman sambil diiringi oleh petikan gitar dari Arkan. Mereka berdua menjadi sahabat. Sampai suatu ketika, saat Hani duduk bersampingan dengan Arkan. Menatapnya dengan sinar kekaguman. Baru dirinya sadari, bahwa sosok sahabat yang duduk di sampingnya ini tampan. Sangat. Hani tak tahu kapan tepatnya perasaan aneh ini muncul, tapi dirinya suka ketika berdua dengan lelaki ini. Hani tak butuh apa – apa lagi. Mungkin hanya butuh oksigen agar bisa bersama Arkan untuk sejuta tahun ke depan. Entahlah.

“Ni.” Arkan menoleh. “Saya kayaknya jatuh cinta dengan adik kelas yang waktu itu saya tolongin.”

Saat itu, yang ada di pikiran Hani adalah bagaimana cara untuk mengulang waktu agar tidak mendengar ucapan Arkan. Rasanya seperti ada godam yang menghantam kepalanya. Ini adalah kali kedua hatinya patah, setelah mengetahui kedua orang tuanya tak mungkin lagi bersama.

Dan setelah hari itu. Semuanya berubah. Arkan jadi lebih sering bermain dengan teman–teman dari gadis yang dicintainya. Hani lebih sering duduk sendiri di taman, mungkin menunggu sampai Arkan datang. Tapi seperti hari–hari sebelumnya. Arkan tak pernah datang.

***

10 tahun kemudian

Hani masuk ke dalam acara televisi, acara talkshow. Acara itu menjelaskan bagaimana dirinya dapat berubah hingga sekarang. Gadis itu tampil di televisi dengan berbeda. Hani bukanlah gadis yang dulu. Patah hati mengubahnya menjadi gadis yang hebat. Dia tak tahu dari mana asalnya kekuatan itu, tapi yang dirinya tahu, ada sebuah hal unik dari patah hati. Dirinya bisa dengan sangat mudah menyalurkan perasaannya lewat jemari, meski begitu tetap saja rasanya menyakitkan.

Tentang Dia

Hamparan pasir berujung dusta

Tertuai ombak di samping duka

Seperingai cahaya masih tak ingin mendua

Untuk apa kurindukan dia?

 

Bernaungku di atas surai luka

Tak ayal meski harus tersiksa

Membuyarkan kesempatan bernama lara

Yang membobol kepingan jiwa.

Acap kali kumelenguh

Bertanya akan asa yang merapuh

Terkumpul menjadi desah

Di dalam kepalsuan kasih.

 

Kau bergumul dengan kenangan

Begitu menyeruak memenuhi pikiran.

Terserak di antara indah kekangan

Terperangkap oleh angan bersama rentan

– Gadis yang baru saja merasa patah. Awal April. Setelah berhenti menangis.

 

Tepuk tangan memenuhi ruangan itu setelah Hani membacakan puisinya.

“Jadi menurut Anda puisi itu apa sih?” Hani tersenyum menanggapi pertanyaan pembawa acara malam itu.

“Puisi bagi saya adalah suara dari hati yang mampu dibaca.” Hening sejenak, sebelum tepuk tangan kembali berderai.

“Lalu bagaimana cara membuat puisi yang begitu dalam hingga pembaca ikut terbawa perasaan ketika membacanya?” Hani tersenyum. Begitu lebar. Sebenernya dia juga bingung mau jawab apa. Toh sampai saat ini dia tak pernah belajar tentang puisi, yang dia tahu hanyalah tuliskan lalu simpan.

“Saya hanya butuh duduk diam, bernapas, memejamkan mata lalu biarkan hati yang berbicara tentang apa yang ia rasakan.”


Mourin Bae, lahir pada tahun 2000  pada bulan yang paling akhir. Suka menulis karena ingin abadi di dunia yang katanya singkat ini. Dapat dihubungi melalui Facebook: Mourin Bae, Wattpad: Mourin_bae atau Instagram: @mourin_bae

 

 

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.