Sehimpunan Puisi Ahmad Nyabeer
LELAKI MAYANG
Di pagi yang temaram
aku telah menemukanmu di atas siwalan
bersiul bersama angin
sambil sesekali mengintip terbitnya matahari
Asahkan doa-doa pada pangerat di tanganmu, suamiku
agar deras lahang menetes
sebagai kasih yang mengalir dari hatimu
dan hatiku adalah timba
yang menampungnya dengan cinta
Ketika matahari benar-benar tumbang
tubuhmu memecah getirku di halaman
getir pada ketinggian batang dan tangis pilu anak kita
sebab separuh hidupku berdetak di jantungmu
Di dapur
aku perempuan yang harus menjaga keseimbangan
antara nasib dan harga
antara pasar dan manis gula merah
sebab dalam peluhmu telah kubaca hakikat kelang2
; lelaki yang mengalirkan cinta
dengan luas tak bertepi
Nyabakan Timur, 28 Januari 2017
SEPERTI PAKU
seperti paku yang menancapkan diri
tusuklah hatiku dengan senyummu
selain getaran
barangkali gugur pula belenggu rindu
yang kian membatu di dadaku
Aula Al-miftah, 08 Juli 2016
NARASI RINDUKU DI WAKTU MALAM
Rinduku bangun di emperan
ketika angin begitu desir memelukku
dan bulan memantulkan wajahmu
ke mataku
Di langit awan berarak dari timur
membawa gelap, menelan bulan
wajahmu tenggelam ke dalam mimpi
Annuqayah, 2015
PEMANASAN KOTA
Kobar matahari membakar kotaku
jalan raya, trotoar, keramik, pagar besi
mengirim panas pada wajahku
haruskah kuhentikan langkah kaki
di bawah dedaun yang juga gerah ?
sedang air yang menyimpan sejuk jalanan
telah habis diminum zaman
Zaman yang memanggil para petani
menjadi tukang becak, penjual semangka, penjaga warung,
pembersih selokan atau pengemis yang tak tahu malu
kulihat semuanya di kota ini
membakar perih setiap nurani
Bagaimanapun kami hanyalah pejalan
yang mencari kebahagiaan
melihat rumah-rumah bertingkat, liuk-liuk jalanan
dan tanda-tanda jalan yang menyesakkan kepala
namun sebelum asap knalpot susut di dada magrib
kami tahu bahwa kebodohan yang bisu
adalah cara termudah mengulur waktu
seperti sajak yang tersesat di rimba kepalaku
Annuqayah, 30 Oktober 2017
ALHAMDULILLAH, SUNGAI MASIH ADA
; santri
Alhamdulillah, sungai masih ada
mengalir di sepanjang desa kami yang permai
airnya jernih menenteramkan hati
tempat kami mandi, mencuci kotoran diri
Di hadapannya kami duduk setunduk pancing
berharap ikan-ikan yang jumpalitan di tubuhnya
menyelam ke dalam dada kami
sebab kami yakin
ikan-ikan itu datang dari Tuhan
ikan-ikan yang kerap kami temukan
di dalam Alquran
Di malam sunyi ia hening
diantara sembahyang kodok dan jangkrik
di antara dzikir angin pada daun-daun
kecipak suaranya terdengar menyentuh kalbu
menafakkuri nasibnya dalam hujan dan kemarau desa kami
Alhamdulillah, sungai masih ada
yang rela menjulurkan tangannya
pada tanah-tanah retak
pada dahaga kambing dan sapi
pada ceruk-ceruk di desa kami
bahkan dengan tabah ia tampung
sampah dan limbah yang kami buang
Sebab, selain di atas langit
matahari bersinar pula di dadanya
Annuqayah, 12 Oktober 2017
KOMPOR YANG TERBAKAR
Jika kepalaku api
rambut dan darahku bara kobaran
mengapa kau bakar pula tubuhku, tuan
melalui darahku yang tumpah ?
Aku seperti juga dirimu
ingin hidup tanpa resah takdir
Annuqayah, 08 Februari 2016
DALAM MIMPI
Wajahmu mawar mekar
merah ranum menebar harum
aku serupa penonton yang terhipnotis
terdiam bisu menganga hatiku
Duduklah dulu sebentar, wanita
jangan terburu-buru pergi
aku masih haus rindu
takkan puas, takkan lepas
sebelum kau kecup dengan senyummu
Ah, wanita
aku rasa di mana pun saja akan tetap sama
begitu aku terjaga
senyummu tetap lekat di mataku,
hatiku
Annuqayah, 25 Februari 2016
GETIR MAUT
; bagi Moh. Saleh
Tuan,
adakah yang lebih sepi dari wajahmu ?
tubuhmu dingin terbujur bagai batu
pucat serupa kafan membungkam tawaku
Di dada langit gemuruh berdenyar
deras menetes air matanya
begitu pula diriku
tak mampu kalbu menahan pilu
duka menikam-nikam dadaku
seperti rindu yang tertahan
basah bajuku terguyur
Adakah yang lebih sunyi dari rumahmu ?
setelah azan dan iqamah bergetar
menguduskan segala yang hening
maka hanya doa, dan doa
kutitipkan pada butir-butir tanah
yang jatuh perlahan menutupimu
Semoga kau selamat disambut Tuhan
Ketawang, 25 Maret 2016
RIHLAH REMBULAN
Aku sulung tak bersaudara
sejuk wajahku sakral kuduskan terang
bayang-bayangku adalah isyarat bagi gelombang
agar mencipta geletar pada samudera
Akulah tasbih alam yang tak henti berputar
aku tak gentar pada hujan dan petir yang menyambar
aku tetap berjalan
melewati gunung-gunung, kota-kota dan hutan-hutan
namun bila aku sampai di puncak langit
aku gemetar menunggu takdir
; purnama atau gerhana
Dulu, Ibrahim mengejar tuhan dalam tubuhku
dan Muhammad sang utusan membelah dadaku
sebagai bukti risalah
Dan kini, detak waktu bersimpuh di tanganku
Bila pagi datang, diam-diam aku padam
bukan aku malu pada matahari
tapi aku selalu tahu sebenarnya diri
bahwa cahayaku bukan milikku sendiri
dan hanya nyala pada malam hari
Annuqayah,08 Maret 2016
AYAM-AYAM LUBANGSA
Kami mulai hidup kami
Sebelum matahari membuka diri
Menyusuri ladang bagi perut kami yang kerontang
Barangkali masih kau sisakan sebutir nasi bagi kami
Untuk kami syukuri
Terik menerjang teduh
Debu-debu bertempelan di badan
Penat pun bersarang
Tapi, kami tiga bersaudara adalah pejuang
Bukan hanya mencari makan
Bukan pula untuk perempuan
Menuntaskan kewajiban adalah pendirian
Kami kembali ke sarang kala matahari tumbang
Debu dan penat kami buang
Kami rebah, menyempurnakan istiqamah kami dalam diam
Memulai sembahyang kami bersama malam
Hingga gigil datang, mendekat, mendekap
Tubuh kami lembab
Kadang basah hujan menusukkan gigil ke daging kami
Sebab sarang kami tak beratap tak bertepi
Bila tahajud tiba
Kau tak pernah tahu
Kokok kamilah yang senantiasa membangunkan kau
Supaya lelap malam kau tunggangi
Doa bintang-bintang kau amini
Dengan sembahyang dan doa kau dalam puisi
Sebab bila fajar datang
Sembahyang kami usai
Malaikat langit pun pulang
MAT Annuqayah, 2016
Ahmad Nyabeer adalah nama pena dari Ahmad Fawa’id, kelahiran Desa Nyabakan Timur kec. Batang-batang. Aktivis Komunitas Penyisir Sastra Iksabad (PERSI). Alumni Mts. Miftahul Ulum dan termasuk siswa akhir MAT Annuqayah.