Nazahra

Nazahra

Dengan demikian Nazahra, kudapati dan telah selesai sebuah cerita untukmu. Sebuah cerita panjang yang berkelanjutan. Dan tanpa ada satu titik pun sebagai tempat bersembunyi akhir ceritaku itu.

Ada yang berkata, bahwa ceritaku hanyalah dongeng pengantar tidur. Sebuah cerita yang dibuat-buat dan dilebih-lebihkan. Seperti dongeng putri tidur yang pada akhir cerita akan bangun dari tidurnya. Namun, tetap dan tidak dapat disangkal bahwa putri itu tetaplah bagian dari dongeng belaka. Dongeng itu seperti setiap khayal yang selalu berpasangan dengan sebuah kemungkinan. Sebuah khayal, yang sayangnya selalu menjadi alur cerita tersendiri dalam kepalaku. Nazahra, selayaknya khayal itu telah berjalan melewati syaraf-syaraf kecil yang menjadi penghubung otakku dan diriku sepenuhnya. Lantas kemudian, mereka terus berjalan sampai pada sebuah titik. Tentu, titik itu adalah engkau, Nazahra. Sebuah titik kemungkinan yang selamanya tetap bersifat mungkin. Sebuah cerita yang sengaja aku karang agar suatu saat, ketika aku berada di tengah-tengah kesunyian, aku masih mampu mendengar lewat cerita itu. Dan ketika aku berada di sebuah padang kesendirian kelak, aku masih tetap bisa tersenyum lepas. Dengan cukup merangkai potongan-potongan cerita yang melekat selamanya tentang dirimu.

Nazahra, memang benar cerita ini adalah satu dari ragam khayalku itu. Untuk kemudian menjadi suatu kemungkinan ataupun kenyataan adalah tetap menjadi sebuah rahasia. Seperti rahasia tentang berapa jumlah bintang dilangit ketika malam hari. Tidak ada yang tahu dan peduli, Nazahra. Yang mereka lihat adalah yang sepatutnya. Yaitu keindahan bintang-bintang di langit malam itu. Bukan berapa banyak bintang yang dibutuhkan untuk membuat keindahan itu. Mungkin, seperti itu juga rahasiaku ini. Selain aku, tentu tidak ada yang tahu dan peduli.

Terakhir kali, Nazahra, ketika dari kejauhan aku melihat sayap–sayap di pipimu mulai melebar meninggalkan bekas lubang yang elok. Tanda itu, bahkan kepak burung–burung merpati pun tak sanggup menandingi. Tak ada lubang kelopak bunga pun yang seindah bekas kepak di pipimu itu, Nazahra. Ditambah  dengan rambut kemerahanmu ketika disiram matahari sore. Dan, tentu kau tahu Nazahra. Aku hanya mampu melihat kepak sayapmu dari kejauhan. Lantas  kemudian aku tersenyum lepas, membawa potongan-potongan rekam parasmu menuju padang kesendirian lagi. Dan seketika itu Nazahra, ketika rekam-rekam itu telah terkumpul dalam otakku, maka untuk kesekian kali aku baru merasai kebahagiaan hidup.

Maaf Nazahra, bukan aku menganggap bahwa kehidupan selain khayal itu adalah tanpa kebahagiaan. Tapi, untuk beberapa hal aku sanggup memindahkan kebahagiaan itu dari dunia besar ke dalam dunia khayal. Di sini, aku bebas memandangimu tanpa rasa malu sedikit pun. Bahkan dengan berani aku telah menyentuh bekas kepak sayap di pipimu itu. Entah Nazahra, ketika aku menyentuhnya, perasaan hangat bukan hanya menjalar pada permukaan tanganku saja, tapi seluruhnya. Seluruh bagian tubuhku yang mampu merasai hangat.

Nazahra, pernah ada sebuah bagian cerita yang menggambarkan bagaimana kita saling bergurau. Gurauan sepasang kekasih Nazahra, tentu kau tahu. Gurauan engkau dan aku di bawah langit sore di tengah padang rumput luas. Tampak juga beberapa domba berburu tebal yang juga berbahagia melihat kita bergurau. Sungguh Nazahra, jika aku seberani dalam khayalku, maka aku adalah salah satu makhluk Tuhan yang istimewa. Mengapa demikian ? karena aku telah dipertemukan oleh bidadari sebelum waktunya. Kau Nazahra, engkaulah itu.

Nazahra, untukmu memang sebuah cerita ini aku buat. Meski hanya kumpulan goresan tangan, namun setiap baris yang hadir adalah baris-baris yang telah tunduk pada kesederhanaan mencintai. Ketahuilah Nazahra, aku pernah mengadu cerita ini kepada hembusan angin-angin gunung. Kepada mereka aku ceritakan seorang Nazahra. Kepada mereka aku ceritakan kepak- kepak sayap pada pipimu itu. Kepada mereka yang menggerakkan daun kering pohon-pohon gunung. Aku dongengkan semua yang telah aku tulis, hingga mereka tertidur lelap di pangkuan awan-awan putih. Maka Nazahra, sekiranya ada angin yang senantiasa berhembus kepadamu sepanjang waktu tertentu. Angin yang selalu tertarik bermain-main denganmu. Angin yang dengan senang hati menerbangkan untaian rambut-rambut hitammu. Ketahuilah, itu mereka Nazahra. Angin-angin yang pernah kuceritakan sebelumnya. Angin yang tidak hanya berhembus membawa kekosongan ataupun debu-debu beterbangan. Tentu dibawanya pula sepucuk kerinduan yang terbungkus rapi. Dan tentunya, hembusan itu membawa juga masing-masing serpihan cerita yang pernah aku dongengkan kepada mereka. Untukmu, angin itu memang sengaja dikirim Tuhan sebagai pengganti kertas tempat cerita ini untukmu. Bermainlah dengan mereka sesukamu Nazahra. Kepakkan lagi sayap-sayap di pipimu itu. Biar mereka melihat. Dan mereka akan menjadi bagian dari saksi, bahwa ceritaku adalah secuil kenyataan dari keseluruhan keindahan. Biar mereka mewakili dan merasai kebahagiaan sederhana dari sebuah senyuman manis seorang Nazahra.

Dengan demikian peganglah itu, Nazahra. Aku hanya mampu memberi sebuah cerita cinta. Maka peganglah erat-erat cerita itu. Lingkarkan dalam jari manismu bila perlu. Biar kau jadikan itu sebagai cincin aksara pengikat rasa. Dan biar kujadikan cincin itu sebagai bukti kepada angin-angin itu, bahwa ceritaku telah sampai kepadamu. Dari kejauhan jarak, dari tempat paling terpencil sekalipun. Aku telah menjangkaumu, Nazahra. Melalui rintihan-rintihan kata yang menurut orang adalah hal gila. Melalui sebuah jalan khayalan panjang. Kemudian serpihan itu aku rangkai sedemikian rupa. Di dalam padang kesendirian, di hadapan sebuah lilin putih yang menyala terang. Dan biasnya yang kemudian akan membentuk bayang di belakang tubuhku. Membentuk suatu gambaran baru, dan siapa yang tahu jika bayang itu juga nantinya yang akan menjadi pelengkap ceritaku. Atau bahkan mungkin asap lilin putih itu yang menjadi pengganti angin-angin gunung untuk menyampaikan kelanjutan serpihan cerita ini kepadamu dikemudian hari,Nazahra.

Lalu kemudian, aku akan bercerita kembali kepada mereka. tentang betapa sederhananya sebuah kebahagiaan. Apa pun bentuknya itu. Dikemudian hari kelak, jika orang-orang mulai sedikit demi sedikit ikut merangkai sebuah kata yang tidak tampak. Maka pada saat itulah puncak kesederhanaan dan kebahagiaan didapatkan.

***

Seberapa jauh yang dapat kau kira, Nazahra? Berapa pun itu, ceritaku akan selalu sampai kepadamu. Melalui angin laut, angin gunung, senja sore, bahkan dengan hujan lebat sekalipun. Aku akan titipkan kepada mereka semua cerita ini. Kepada benda-benda yang pernah aku temui. Hanya untuk memastikan bahwa suatu saat secara keseluruhan ceritaku akan menjadi sebuah dongeng yang didambakan olehmu setiap kelanjutannya. Dan tak seorang pun yang boleh melihat ceritaku sebelum kau melihatnya, Nazahra. Biarpun hari ini, dan untuk hari yang akan datang kemudian, ragamu telah raib ditelan gundukan tanah berbukit kecil itu. Biarpun ternyata kemungkinan yang aku bicarakan itu tidak sampai kepada titik kenyataan. Sebuah kenyataan yang aku inginkan setelah melewati begitu banyak jalan-jalan panjang. Bukan berarti aku akan berhenti bercerita. Untukmulah memang cerita ini aku buat, dan seterusnya akan selalu demikian. Aku yakin saat ini engkau tengah mengepak sayapmu dari atas sana, bersama burung-burung merpati surga. Bermain dengan mereka seperti dulu ketika engkau tengah bermain dengan angin-angin yang membawa serpihan ceritaku. Tetaplah di sana Nazahra. Akan kukirim begitu banyak cerita-cerita baru. Akan aku titipkan melalui kegagahan doa. Akan aku sandarkan cerita itu di samping nisanmu, Nazahra.

Cerita-cerita baru itu, yang akan kukirimkan kepadamu, ceritakanlah kepada teman -temanmu di sana. Dan kepada merpati-merpati surga itu. Biar mereka merasai bahagia yang sama denganmu Nazahra. Dan kemudian hembuskanlah dari atas sana angin surga sebagai balasan dari cerita-cerita yang telah sampai padamu. Dan  dengan cerita ini pula, aku berikan sebuah pengakuan. Nazahra yang raganya telah hilang, dalam bentuk apa pun engkau, cerita ini tetap milikmu. Lalu datanglah dalam dunia khayalku, lalu akan kudongengkan untukmu sebuah cerita tentang seorang laki-laki yang jatuh cinta karena senyum manis seorang wanita. Bernama Nazahra.


Haryo Pamungkas. Penulis lahir di Jember, Jawa Timur. Saat ini sedang menempuh bangku kuliah semester tiga Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember. Anggota lembaga pers Ecpose dan PMII. Menyukai cerita sejak sekolah dasar, namun mulai menulis baru ketika sekolah menengah atas.

Jejak Publisher

4 thoughts on “Nazahra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.