Lukisan Tanpa Wajah
Aroma cat lukis menyelimutiku. Bertemankan suara hujan yang menabrak kaca-kaca jendela, guntur serta kilat yang beradu dan menggemakan suara gelegar dari balik ventilasi udara, aku bergelut dengan waktu. Aku berfokus harus menyelesaikan sebuah lukisan yang kini masih berbentuk sketsa.
Namaku Jeny, mahasiswa baru di semester satu yang kuliah di jurusan seni. Kali ini aku benar-benar diburu oleh waktu karena harus menyelesaikan tugas yang sebenarnya sudah harus dikumpulkan hari ini. Keterlambatan ini disebabkan aku sakit dan tidak kuliah selama tiga hari. Beruntung dosenku memberi keringanan hingga lusa. Sebenarnya ada perasaan takut menghantuiku karena hanya sendirian di ruang seni. Tapi, apa boleh buat. Sudah tidak ada waktu lagi. Mau pulang juga mustahil karena hujan lebat. Akhirnya tugas ini harus kuselesaikan di sini karena kelas sudah ditutup.
BRAK!
Spontan aku terkejut saat mendengar suara kaca jendela tiba-tiba tertutup karena diterpa angin kencang. Hu-uh… pikiranku sudah lari kemana-mana membayangkan sesuatu yang aneh-aneh.
“Ikh, bikin kaget saja.” gerutuku kesal. “Eh−
Tiba-tiba mataku menangkap seorang laki-laki yang entah sejak kapan berdiri tepat di depan pintu. Penampilannya berantakan dan basah kuyup. Dia juga diselimuti lumpur bahkan luka-luka lebam di wajahnya. Aku hendak menanyakan perihal apa yang membuatnya sampai seperti itu, tapi laki-laki itu langsung berjalan menuju gudang kecil di sudut ruangan.
“Kakak, kalau basah kuyup, dilarang sentuh lukisan, ya.” peringatku pelan.
Laki-laki itu mengacuhkanku. Kurasa dia seorang senior karena bukan teman sekelasku. Dia masuk ke dalam gudang dan dapat kudengar suara kasak-kusuk dari dalam. Karena penasaran, aku mencoba mengintip dan terkejut melihatnya membongkar-bongkar lukisan yang tersimpan di sana.
“Kak, nanti dimarahi dosen!” pekikku lagi.
Dia tetap tidak menggubris. Aku tahu isi gudang itu hanya menyimpan barang-barang rusak seperti lukisan dan patung-patung, tapi kalau dibuat berantakan, bisa-bisa aku ikut dimarahi karena tidak mencoba menghentikannya.
“Kakak cari apa?”
Belum sempat aku mengetahui apa yang dia cari, laki-laki itu sudah menemukan dan memegang sebuah lukisan yang terlihat sangat kotor. Kain kanvasnya bahkan koyak dan dipenuhi debu tebal. Karena di dalam gudang cukup gelap, aku hanya bisa melihat sekilas bahwa lukisan itu seperti gambar seorang wanita yang sedang duduk di sebuah kursi.
“Itu lukisan Kakak? Kalau mau diperbaiki, rasanya mustahil. Lebih baik Kakak lukis saja yang baru.”
Lagi-lagi aku diacuhkan. Malah kali ini laki-laki itu menatapku dengan sorot mata tajam. Entah kenapa aku jadi merasa bulu kudukku berdiri semangat. Apa karena hawa dingin atau suasananya sedang tidak enak. Tapi apa pun itu, aku langsung keluar dari gudang dan kembali melanjutkan lukisanku.
Begitu fokusnya pada lukisan yang sedang kukerjakan, aku sampai tidak sadar kalau hari sudah mulai malam. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah enam dan langit di luar jendela tampak begitu jingga.
“Astaga! Aku sudah harus pulang.”
Tanpa pikir panjang aku langsung mengemaskan peralatan lukisku dan bersiap-siap untuk pulang. Tapi lagi-lagi aku merasa melewatkan sesuatu. Aku berjalan pelan menuju gudang dan mengintip ke dalam, mencoba melihat apakah laki-laki itu masih ada. Hawa pengap dan suasana gelap kembali menerpa dan kulihat tidak ada siapa-siapa di dalam. Laki-laki itu sudah tidak ada dan meninggalkan ruangan yang berantakan.
Perasaanku benar-benar dongkol. Seenaknya saja dia pergi tanpa mengemaskan apa yang sudah dia perbuat. Karena tidak mau ambil risiko dan takut dituduh sebagai pelaku, akhirnya dengan masih bergerumbel, aku membereskan lukisan dan patung-patung yang berserakan.
“Awas saja kalau aku ketemu dia lagi. Aku marahi biar tahu rasa!” kesalku. “Ini juga, kenapa lukisan sudah rusak begini masih disimpan? Bikin sampah saja! Harusnya dibakar agar tidak menumpuk.”
Saat sibuk membereskan, tiba-tiba aku menemukan lukisan yang tadi dipegang laki-laki itu. Ternyata dia tidak membawanya padahal sudah dicari-cari sampai buat berantakan. Kali ini kuamati lukisan itu dengan seksama. Ternyata memang gambar seorang wanita yang sedang duduk di sebuah kursi. Gaya lukisannya sedikit unik karena tidak menggunakan warna tajam, tapi kesan warnanya timbul. Cara melukisnya juga lembut. Kalau tidak ditutupi debu, pasti lukisannya sangat indah. Harus kuakui, meski laki-laki tadi menyebalkan, dia cukup hebat dalam melukis. Tapi, di antara semua keindahan lukisan itu, ada satu hal yang membuatku penasaran. Wajah wanita di lukisan itu tidak ada.
***
Lagi-lagi aku diburu waktu karena lukisanku yang kemarin belum selesai, tapi sudah ada tugas lain. Aku bertekat harus menyelesaikan tugas pak Rusdi terlebih dahulu sebelum malam, karena aku tidak mau sendirian lagi di ruang seni. Hujan kembali turun dengan deras dan membawa hawa dingin menusuk kulit.
Selagi aku mengerjakan lukisanku, aku terkejut karena melihat laki-laki itu datang lagi. Perasaanku langsung tidak enak karena melihat penampilannya persis sama dengan kemarin, basah kuyup dan luka-luka. Tanpa menghiraukanku, dia langsung berjalan lagi menuju gudang. Aku pun langsung menyusulkan karena takut dia mengacak-ngacak lagi.
“Kak, jangan buat berantakan lagi. Kemarin aku yang beresin, tahu!” kataku dengan nada kesal. “Kalau Kakak cari lukisan itu, sudah aku simpan di tempat lain biar Kakak tidak bongkar-bongkar lagi.”
Tiba-tiba laki-laki itu menatapku tajam sembari tersenyum menyeringai. Dia jadi tampak menyeramkan. Badanku langsung kaku dan mulutku seperti di lem. Entah kenapa rasanya kengerian menyelimutiku. Dengan langkah perlahan aku mundur dan segera mengambil lukisan tanpa wajah itu, yang kusimpan di tempat terpisah.
Begitu aku kembali ke gudang, laki-laki itu sudah tidak ada. Sontak saja badanku langsung menggigil. Kurasakan ada sesuatu yang merembes di antara kedua tanganku. Dari wajah tanpa lukisan itu, mengucur deras cairan merah berbau amis yang menetes hingga ke lengan bajuku. Darah.
Aku berteriak histeri dan melempar lukisan itu ke lantai, lalu berlari terbirit-birit. Aku sudah tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Rasanya air mataku ingin keluar, tapi tidak bisa.
“Jeny, kenapa kamu teriak-teriak begitu?!”
Pak Rusdi yang kebetulan berpapasan denganku di koridor, langsung menahanku.
“Pa, Pak! Pak!” panggilku tergagap.
Aku ingin menceritakan kejadian seram yang baru saja kualami, tapi mulutku sulit berbicara. Aku seperti orang gila dan keheranan karena darah yang mengotori bajuku tadi, sekarang tidak ada. Merasa ada yang tidak beres, pak Rusdi langsung memintaku duduk disalah satu kursi panjang di koridor. Setelah cukup tenang, aku langsung menceritakan kejadian yang baru saja kualami dan laki-laki misterius itu.
“Jangan-jangan itu Anton.” tukas pak Rusdi.
“Anton?”
“Dia mahasiswa yang sudah meninggal tujuh tahun lalu.”
“Meninggal?!” pekikku tak percaya.
“Iya. Dia meninggal dalam kecelakaan motor karena jalanan yang licin akibat hujan deras. Sebelumnya dia akan ikut perlombaan dengan menyertakan satu lukisan. Gosipnya lukisan yang dia buat adalah sosok kekasihnya. Tapi karena dia keburu meninggal, lukisan yang belum sempurna di bagian wajah itu, tidak pernah selesai.”
“Ja, jangan-jangan dia mencari lukisan itu…
“Yah… mungkin dia ingin menyelesaikannya. Saat kecelakaan itu, Anton membawa serta lukisannya. Menurut saksi mata, dia melindungi lukisan itu agar tidak rusak.”
“Ta, tapi kenapa lukisannya bisa ada di gudang?” tanyaku.
Pak Rusdi tersenyum getir. “Teman-temannya yang membawa lukisan itu untuk kenang-kenangan. Awalnya mereka memajangnya di ruang seni untuk menghormati Anton, tapi katanya ada yang pernah lihat Anton datang dan melanjutkan lukisan itu. Akhirnya lukisan itu disimpan di gudang. Yah, mungkin dia mencari-carinya di sana.”
Otakku kembali mengingat penampilannya yang basah kuyup dan luka di seluruh wajahnya. Saat membayangkan kembali aku mengajaknya bicara, apalagi saat lukisan itu mengeluarkan darah… Hiiiiihhh….
“Bapak pikir kalau itu hanya gosip, tapi ternyata benar, ya.”
“Duh, Pak. Tas dan lukisan saya tertinggal di sana, Jadi gimana, nih?” bingungku.
Pak Rusdi hanya tertawa ringan.
“Bapak temani kamu ambil.”
Kami berdua berjalan perlahan menuju ruang seni. Kakiku tidak berhenti bergegar karena takut membayangkan Anto dan lukisan yang berdarah tadi. Sesampainya di sana, aku tidak melihat apa-apa selain tas dan lukisanku yang masih berada di tempat semula. Lukisan tanpa wajah itu tergeletak di depan gudang. Darah yang tadi kulihat dari lukisan itu seolah menghilang tanpa bekas. Pak Rusdi langsung menyimpan kembali lukisan itu ke gudang.
“Nah, ayo cepat kita pergi.” tukasnya saat sudah selesai. Tampaknya beliau pun mulai merasa tidak tenang.
Kami segera meninggalkan ruang seni. Selama berjalan di koridor, aku berpaling lagi ke belakang. Betapa terkejutnya aku saat melihat Anton berdiri di depan pintu ruang seni yang tertutup. Dia menyadari aku melihat dirinya. Dengan tubuh basah kuyup dan luka lebam di wajah, dia tersenyum menyeringai padaku, sebelum akhirnya menembus pintu. Hii.. Pasti dia masih mencari-cari lukisan tanpa wajah itu meskipun tidak bisa lagi menyelesaikannya.
***
Bernama lengkap Ogie Munaya. Lahir dan besar di kota Pontianak. Suka menulis sejak duduk dibangku SMP, dan hingga kini masih ingin terus belajar untuk lebih mengembangkan bakat dalam dunia menulis. Dapat dijumpai di akun facebook: Naya Ma Tochiee. Salam dunia literasi.
Kerennn