Sehimpunan Puisi Sitti Syathariah
ELEGI DI LANGIT ROHINGYA
Maka tertulislah di langitmu
seuntai elegi kebiadaban
dirangkai dengan tinta darah tertumpah dari jiwa-jiwa tanpa daya
Amarah menyala di atas angkara yang membuta
Rintihan lirih balita adalah jeritan pinta yang tercekat sesak di sisa nyawa tanpa dosa, menggapai tanpa daya, mengelana di atas puing-puing dan abu rumahnya
Jerit lirih ibunya menggantung pilu di atas langit Rohingya yang memerah warnanya, sedangkan di buminya gas menggelegak panas dan minyak bumi menggelegak ganas
terbiar tumpah menyiram nurani para bedebah?!
Darah bersimbah bak secangkir anggur persembahan di atas altar pembantaian
mereka menghirupnya,
mereka menjilatnya!!
Air mata dan darah tak lagi ada nilainya
Bahkan nyawa pun tak lagi ada harganya
Perikemanusiaan telah dikebiri dihenyak hingga terbenam dalam kubangan bernama biadab
Agama dijadikan bahan bakar mengobarkan keberingasan yang menjahanam
Nurani mati!
belas kasih dikebiri!
Angkara menggila membuta jiwa
Seperti bukan manusia mencabik-cabik dan membumihanguskan semua hingga prahara kasat mata
Kepuasan macam apakah sebenarnya yang dipinta tiba?
Maka tertulislah di langitmu
seuntai elegi kebiadaban yang dirangkai dengan tinta darah tertumpah dari jiwa-jiwa tanpa daya.
(Pekanbaru, 2017)
PESAN DI PUNCAK SALAK
Aku membaca puncakmu dalam kabut pagi
dalam bisik angin beraroma embun
dalam sapa mentari yang tersipu di balik awan
berniat menghapus jejak yang terlanjur ditapakkan
membilang lembar-lembar yang terukir di pucuk-pucuk daun
aku membaca puncakmu dalam kabut pagi
mentari menyiangi siang yang buram
dalam sumbang nyanyian pelangi yang tafakur di balikmu
hijaumu tersaput kabut menyembunyikan pesan yang ditebarkan angin
akankah kita menjejak kembali
menggali dan berbagi..
aku membaca puncakmu yang tak lagi berkabut
mentari telah memagut puncakmu
menulis pesan biru di lembar pucuk daunmu..
dan aku ingin membacanya bersamamu..
(Gunung Salak sejauh mata memandang)
TAK SUDAH SUDAH
menghunus
memberangus
mematah
menjarah
ah!!
haram jadah!!
amarah
tumpah ruah
bersimbah gerah
mengasah lelah yang parah
sumpah serapah
tlah jadi latah
ketika segala petuah
jadi sampah
membuai resah
membingkai gundah
tak sudah-sudah
AKU PUISI TANPA SYAIR
Aku puisi tanpa syair
yang tak pernah usai kau baca hingga pagi terakhirmu
Maka, jangan sempat kau pejamkan mata
karena aku puisi tanpa syair
yang bait-baitnya selalu tunak menukik
meski kau tak kan pernah usai membacanya
hingga pagi terakhir menguncimu!
Aku puisi tanpa syair
yang tak pernah berhenti kau baca
meski tak satu aksara pun kau temukan
dalam harmoni stanza di batang harimu
Maka, jangan sempat kau pejamkan matamu
karena aku puisi tanpa syair yang untaiannya terangkai indah
pada kanvas yang kau sadai pada dinding warna jingga yang kusuka
Aku puisi tanpa syair yang tak pernah berhenti kau baca
meski rima tanpa diksinya sempurna di telingamu
Dan kutahu kau sangat menikmati eufoni dalam simfoni yang kumainkan
meski melodinya hanya bisa kau rasa karena persebatian jiwa kita
Aku puisi tanpa syair yang tak pernah berhenti kau baca
hingga pagi terakhir menguncimu!
Aku puisi tanpa syair yang tak pernah berhenti kau baca
hingga pagi terakhir mengunciku!
(Pku, 17 Des 2016)
@@@
JERAT DALAM SETEGUK KOPI
Seteguk kopi menghitam dalam pekatnya
Malam terjerat rembulan lepas
Pun tanpa membintang meski seberkas
Gulita menderai bersimbah
Menjelajah hingga tumpah ruah dalam basah
Melumpuhkan pinta yang tinggal secercah
Seteguk kopi menghitam dalam pekatnya
Teguk terakhirnya menjerat asa yang tersangai
di dinding cawan usangnya
Keladaknya membatu melekat pilu di cawan bisu
Hasratnya tergugu di bekas tanda bibirnya yang kelu….
Seteguk kopi menghitam dalam pekatnya
Malam menggeliat disayat perihnya
Jiwa yang timpang mengelana dalam gulita
Manisnya mengilu-pilu menjerat sesat dalam pekat
Padahal angin telah memapas kisahnya
Membabat gairah kasihnya
Mengebat rindu yang semakin menjerat
Menggantinya dengan kesumat yang tiba-tiba merekat erat
meski tak sempat berjabat lekat
Rindu itu…kini memekat dan makin menjerat
Seteguk kopi menghitam dalam pekatnya
Merenggut rampaskan aroma romansa kasihnya
Hingga panasnya tak lagi mengepulkan asap gairah dalam canda malam
Merangkai kasih menjadi kisah kelam yang kini semakin membenam dalam
Dan janji tinggal sebuah igau serupa alunan simfoni buram
Menukik tunak di sela-sela jemari malam yang semakin suram
Seteguk kopi menghitam dalam pekatnya
Hitamnya melesap dalam senyap
Menepis lepaskan keladak yang masih terdekap
Menyemat kesumat yang semakin menjerat sarat.
Seteguk kopi menghitam dalam pekatnya….
Maret 17
ASA DI UJUNG PEKAT
Pekat mengusap tempias renyai
Mengibaskan gerimis kelam
Mengayun hempaskan pinta usang dalam keletihan
Pekat mematikan cahaya
Menyembunyikan luka
Menyimpan harap dalam perih
Membungkam gumam tertahan
Pekat menyunting rembulan bisu
Membelai langit dengan jemarinya
Nanar dalam isak terkunci
Mereka telah memulai perjamuan terakhir
Dalam pesta yang tak pernah usai
MALAM TERBIUS ANGGUR CINTA
Malam telah terbius
Anggur cinta tuntaskan dahaganya
Bulan menggamit bintang telanjang
Sepi memagut gulita malu-malu
hening membingkai gairah merayap dalam gelap
simfoni merah jambu mengalun indah
senandung di atas awan menggeliat dalam desah
Malam telah terbius
Anggur cinta tuntaskan dahaganya
Rindu mengelana ke balik malam
Menyenandungkan puisi cinta
Menyanyikan bait-bait harmoni asmara
Merangkaikan aksara bermakna
Malam telah terbius
Anggur cinta tuntaskan dahaganya
gairah tak lagi patah
harap tak lagi resah
ragu telah hilang padah
Malam telah terbius
Anggur cinta tuntaskan dahaganya..
Rembintang memagut rembulan
Bidadari malam mengepakkan sayapnya
Kunang-kunang menyempurnakan kerlipnya
SEBAB ANGIN
sebab angin menyiat-nyiat lembar pagi dengan igau sumbangnya
lalu mengoyak moyak tabir hijau yang tergerai sungsang di pentas kita
tak lagi menawarkan aroma asri di setiap helai daun pagi
pun mentari letih menginfakkan nutrisinya ke haribaan bumi
maya pada berjelaga
Ini mungkin daun dan dahan terakhir
pun mungkin adalah pagi penghabisan
semua karena keteduhan telah terbunuh
kerindangan telah termutilasi
hingga kau kebiri rohani yang menanggak di setiap hela nafas durjana
keindahan itu pun telah kau wafatkan sebelum ajalnya
karena kau telah menghunjamtunakkan belati ke jantungnya
hingga pekat legam darahnya
hingga lemah nadi di detak hidupnya
sebab angin menyiat-nyiat lembar pagi dengan igau sumbangnya
lalu mengoyak moyak tabir hijau yang tergerai sungsang di pentas kita
tak kuasa menyingkap tabir yang tercabik-cabik masai
berayun berkibar melambai lemah mengikuti alunan parau senandung dodoy separuh
meratapi daun yang kehilangan ranting..
menangisi ranting yang meranggas dahan
menatap nanar batang yang kehilangan akar hidupnya
merindu mengecup lembut daun-daun pagi di pucuk alam
aku, kau dan mereka ingin terlelap dengan mimpi sempurna
(April 2016)
AMUKKU TELAH
amukku telah dibungkam oleh kecipak riaknya
amukku telah lunglai dijinak belainya
amukku telah punah dijambak harunya
amukku telah ranap di dalam jelaganya
amukku telah buta dalam silau matanya
amukku telah lumpuh dilantak binasanya
amukku menggeliga dalam gairah birahinya
amukku pupus sudah ditelan ingkarnya
amukku tumpah ruah dalam kilainya
amukku lebam diterjang tipu dayanya
amukku meradang digilas muslihatnya
amukku jadi kelu gagu dibantai nunam ngilunya
amukku lampus dalam penat dijajah masai igaunya
amukku telah luluh lantak dalam kilau pesonanya
amukku tlah bisu dalam getar diamnya….
Amukku mengamuk dalam amukan amuknya!
Mas Sitti Sya (Sitti Syathariah) adalah seorang guru Bahasa Indonesia di SMA Cendana Pekanbaru. Nama lengkapnya Sitti Syathariah, lahir di Dabo Singkep 29 Januari. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di majalah Sagang dan Riau Pos. Prestasinya adalah juara I LKIG LIPI, finalis Best Practice, Inobel dan Karbang tkt nasional, juara LKG dan menulis cerpen tkt provinsi, Guru berprestasi Pekanbaru, penerima 3 Anugerah di Riau (anugerah Sagang, Cik Gu Award, Anugerah Baiduri, Bukunya yang ber-ISBN adalah Estafet Writing, Berpuisi, Berpantun, dan Bersyair di Sekolah, Antologi bersama (Anak Pencari Tuhan, Mari Men”jadi”Guru, Resonansi Serindit, Pantun Anak, Pantun Pendidikan, Guru Berpantun, Fiksi Mini Fermilion, dan Haiku)
Puisi-puisi yang menandakan pergolakan hati. Hasil dari membaca keadaan dengan mata hati.