Kantung Beban

Kantung Beban

Gaun pesta ungu dengan tujuh nol di belakang sebagai hadiah ulang tahunku tidak mampu menyingkirkan gaun floral hijau yang kukenakan. Floral selalu menjadi penenang.

Pernah kau merasa kedamaian dan kesejukan ketika berada di alam? Aku menggambarkannya ketika mengenakan gaun di atas lutut itu.

Pakaian favoritku.

Aku berkaca. Mengoles lipstick sebagai sentuhan akhir. Dalam refleksi di hadapanku, tampak seorang perempuan dengan tatanan sempurna. Rias yang menyapu wajah di baliknya. Tertambah legging putih dan heels senada. Aku mendapati diriku begitu menawan di depan sana.

Lihatlah, begitu cantik, tubuh berlekuk sempurna, begitu glamornya penampilan, begitu berduit dengan segala harga barang berembel juta, begitu di damba kaum Adam.

Meski begitu, lihatlah bagaimana rapuhnya senyum di depan sana.

Di hadapanmu, kau tidak akan melihat bagaimana sendunya kilat mata itu karena riasan yang memanipulasi. Kau tidak melihat bagaimana hitamnya lingkar mata karena foundation yang terpoles. Kau tidak melihat adanya senyum yang mengembang di sana.

Kau tidak melihat, tapi aku melihat. Karena aku sendiri yang merasakan.

Maka dari itu hatiku teremas tangan tak kasatmata. Aku menangis di hadapanku sendiri. Menyia-nyiakan riasan dengan palette mahal hingga meluruh, menampakkan bagaimana kacaunya hidup perempuan di depan cermin itu.

Aku tidak tahu kenapa aku bisa bertahan sejauh ini. Aku terjatuh ke lantai, aku benar-benar tidak tahu, dan aku terus menangis terisak. Aku hanya punya diriku sendiri di sini.

Seakan aku berada di tepian jembatan. Bergantungan dengan satu tangan di atas aliran sungai deras yang dinginnya mampu menusuk tubuh bagai hunusan pedang es, dengan kerasnya batu sungai yang mampu mematahkan tulang. Di mana tidak ada penolong, dengan satu-satunya harapan tersisa adalah diriku yang menolong diriku. Tapi buktinya, aku tidak mampu mengangkat diriku sendiri.

Selain mengangkat panggilan telepon.

Sayang … .”

Aku belum menjawab, masih sibuk dengan upaya penghentian tangis rutin tiap malam.

Om bete nih gara-gara istri bawel. Malam ini Om tunggu di hotel biasa ya, Sayang.” Aku ingin muntah mendengar suaranya yang genit.

Inilah aku. Abelia Ananta, seorang perempuan simpanan pengusaha tersohor di Jakarta.

Tenang, Sayang. Jatah untukmu baru aja Om kirim. Setelah ini Om kirim sms tanda bukti.” Orang di seberang menambahkan erangan mesum sebelum mengakhiri panggilan.

Tidak ada suara lagi dari ponsel. Aku mengulaikan kepala sejenak di sandaran meja rias, terduduk lemas masih sesenggukan.

Malam ini aku akan pergi. Berbalut pakaian favorit dan riasan tercantik yang pernah aku poles.

***

Aku memikirkan bagaimana orang-orang homeless di luar sana. Bagaimana beratnya hari yang mereka lalui tanpa atap untuk berteduh, tanpa baju untuk berganti, tanpa nasi untuk mengisi perut. Tanpa apa pun.

Tapi, bukankah lebih baik homeless daripada hopeless?

Kurasa tidak ada yang baik dari kedua itu. Lalu, apa mati adalah yang terbaik?

Aku masih terus menangis, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan kasar menatap derasnya aliran sungai di bawah. Aku sudah memikirkan bagaimana dinginnya air dan kerasnya batu di bawah lewat ‘seakan’ di hidupku. Beberapa detik lagi aku akan merasakan bagaimana rasa yang sebetulnya di bawah. Pergi dengan pakaian favorit dan riasan tercantik.

Jantungku berdegup sangat kencang, aku mengendurkan pegangan, bersiap …. namun, tiba-tiba seseorang mencengkeram erat lenganku. Aku terhenyak, kembali berpegangan pada jembatan sambil melihat seseorang.

“Kau pernah melihat film Titanic? Namaku Yehezkiel, tapi anggap aku Jack sekarang, karena kalau kau melompat, aku ikut melompat.”

Aku sesenggukan, merapalkan keras-keras kalimat sumpah serapah padanya untuk melepaskanku.

“Apa aku perlu berbicara seperti Jack bahwa di bawah sana sangat dingin? Dingin yang bisa menusuk tulangmu, mencekikmu, menyesakkanmu hingga air memenuhi rongga dadamu. Atau aku perlu berbicara hal yang lebih mengerikan dari itu semua jika kau melompat?”

I don’t care, the f—“

Dia memotong, “just think what makes you held on this far!

Aku menyumpah serapahinya lagi, lalu menjerit, “I have nothing to hold, just let me go!”

You don’t have dreams or hopes in your life?” Dia memelukku tiba-tiba saat aku mulai meronta.

What if I don’t?!

So, just find them!” Dia memelukku erat. “I’ll help you!

Aku berhenti meronta mendengarnya. Detik berikutnya, aku merasa hidupku begitu menyedihkan tanpa mimpi atau harapan. Aku menyerah meronta, membiarkan diriku dibawa olehnya ke sebuah kedai kopi.

Di depanku, dia menyeruput kopi. Di bahuku, tersampir jaketnya. Di tanganku, memegang secangkir kopi panas. Di mataku, air mata masih menumpuk di pelupuk.

“Kau tahu, kau harus lebih bersyukur,” ujarnya pelan.

Aku diam sesenggukan.

“Tapi, aku pun tahu. Orang-orang di luar sana punya hati yang berbeda satu sama lain. Aku tidak akan pernah terpuruk dengan penolakan cinta lawan jenis. Lima kali penolakan pun, aku tetap kokoh berdiri, bagiku itu bukan hal besar.”

Tapi di luar sana, ada ribuan, bahkan jutaan orang yang begitu terpuruk hanya karena masalah cinta. Kupikir kau salah satu dari jutaan orang itu. Aku ingin tahu, apa yang membuatmu berdiri di tepi jembatan.”

Tangisku mengalun lagi. “Kau tahu rasanya sendirian di dunia ini?”

Ezki menggeleng.

“Pikirkan bagaimana rasanya jadi anak buangan yang tidak pernah tahu siapa orang tuanya! Pikirkan kenyataan bahwa ternyata kau ditemukan di tong sampah dan hampir mati kedinginan! Pikirkan kau putus sekolah di usia sebelas tahun karena keluarga yang mengadopsimu dari panti asuhan bangkrut dan meninggalkanmu begitu saja di jalanan!”

Dia memegang tanganku hati-hati, cepat kutepis.

“Pikirkan apa yang bisa kau perbuat di usia sebelas tahun, luntang-lantung tanpa punya apa pun, selain menjual apa yang ada padamu,” aku menekan kata, menangis kian keras, “tubuhmu!”

Dia meraih tanganku berulang kali, kutepis juga berulang kali ketika aku terus menekankan kata padanya selama hampir satu jam penuh. Memberi tahu bahwa memang baiknya aku mengakhiri hidup karena sudah tidak ada fungsinya hidupku yang urakan dan menyedihkan ini.

Life’s suck. It’s heavy!” lalu aku menambahkan kata kasar padanya.

Tapi yang kudapati, dia malah tersenyum padaku.

“Tuhan.” Dia menunjuk ke atas. “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya.”

***

Aku mendapati Yehezkiel di depan pintu, memakai setelan kasual, lengkap dengan senyum. Dia terlihat sederhana. Sesederhana membuat jantungku berdegup cepat serasa ingin copot tanpa paham kenapa.

“Aku dengar kau suka donat,” ujarnya tanpa salam.

“Donat?” aku bingung. “Tahu dari mana?”

“Intuisi?” Ezki nyengir, tahu ia salah tebak. “Mau keluar untuk makan donat … berdua?”

Do you mean a doughnut date?” aku menggodanya.

Matanya melirik sekitar dengan gugup. “Aku suka kau berpikiran seperti itu.”

Kami beranjak dari tempat ke tempat. Suara langkah kaki kami terkalahkan Jakarta yang hiruk pikuk, tapi obrolan kami tidak tenggelam oleh kebisingan. Bersamanya, adalah yang ternyaman dari semua yang pernah kulakukan.

Dia jadi tahu banyak tentangku karena pancingannya yang selalu berhasil membuatku terkail. Ketika aku menghentikan tangis karena cerita hidupku, dia selalu punya cara membuatku terhibur. Meski hanya tertawa sementara, lalu menangis ketika tengah malam tiba.

Aku ingat pertemuan pertama kali, saat dia membuatku mengurungkan niat mengakhiri hidup hingga aku menumpahkan cerita hidupku padanya.

Aku ingat pertemuan kedua, ketiga, dan keempat yang berlangsung tanpa sengaja. Meski aku terus berusaha kabur darinya. Saat itu dia tersenyum lebih manis dari yang kuingat, dan dia bercakap-cakap denganku seolah-olah ‘simpanan pengusaha’ bukan hal yang mengganggu seorang Ezki yang notabene wartawan televisi.

Dua pertemuan kami selanjutnya memang terencana. “Kau perempuan yang menarik, yang luar biasa dengan kerasnya hidupmu. Bisa kita bertemu di akhir pekan?”. Aku kira dia hanya bercanda karena tawanya yang saat itu memenuhi ruangan. Tapi dia menghubungiku, bertanya kenapa aku tidak kunjung datang di tempat yang sudah ia tetapkan.

Di pertemuan ketujuh kami, dia sengaja datang langsung ke rumahku. Dan sekarang, di sinilah kami. Di cafe sederhana yang manis berbau gula dan cokelat.

“Aku tahu kau lebih suka koktail ketimbang susu cokelat.” Dia menyeruput susu cokelatnya, lalu menggigit donat dengan nikmat. “Tapi lebih sehat susu cokelat ketimbang koktail.”

Aku dibuatnya tertawa.

“Kau cantik saat menangis, tapi lebih cantik saat tertawa. I’m in love with you because that smile.”

Aku mengerjap.

Ia menggeleng, membenarkan kalimat. “Nothing more beautiful than a brokensoul finding a new hope. It’s your soul I’m in love with.”

Menyadari aku terbengong dengan ucapannya barusan, Ezki berinisiatif menggenggam tanganku. Aku tahu ini adalah caranya menghindarkan raut malu. Begitu dia menutup mata membiaskan malu, aku merasa seperti saat memakai gaun floral favoritku.

Detik itu pula, hatiku meledak.

Positif, aku jatuh cinta untuk pertama kali di pertemuan ketujuh.

Dia benar-benar membantuku menemukan mimpi dan harapan. Dia membuatku tersenyum dengan caranya, hingga aku ikut menumpukan tangan lain di atas genggamannya.

Untuk pertama kali, mataku menangkap seseorang di atas sana. Dia tersenyum, berkata begitu halus dan lembut, bahwa ada sekantung beban besar yang kugenggam di bawah, yang terus membuatku tertarik ke bawah dan mengendurkan pegangan. Bahwa aku akan terus menggelayut di tepian jembatan jika aku enggan melepas kantung.

“Kau terus terjebak di sana, karena kau hanya terfokus pada tanganmu yang mencengkeram tepian, pada caramu bertahan,” sangat lembut ucapannya, “kau melupakan hal lain, bahwa ada hal yang membuatmu berlelah diri dengan caramu bertahan.”

Aku sadar bahwa kantung itulah yang menahanku agar aku tidak mengulurkan tanganku yang lain untuk mengambil pertolongan tangan di atas.

Dengan sisa pengharapan yang belum hanyut bersama harapan lain di aliran sungai di bawah, aku melepas segala beban. Mengulurkan tangan yang baru saja bebas ke atas, menerima keselamatan yang aku nanti kedatangannya. Aku menangis haru menerima pengharapan baru dari sebuah doa dan ampun yang baru kusimpuhkan. Dari dorongan harapan orang lain. Aku tidak sendiri lagi. Aku punya mimpi dan harapan yang membuatku melanjutkan hidup.


Rachma Novala Putri, kelahiran 9 November 1999 di kota Salatiga. Suka menulis sejak kelas 2 SMP, selain itu suka menyanyi, menggambar grafis dan menari. Salah satu harapan dalam hidup adalah mempunyai novel cetak karya sendiri.

 

 


Dapatkan buku Antologi Cerpen My First, berisi cerpen menarik lainnya, pilihan hasil lomba cipta cerpen nasional perdana bersama Jejak Publisher. Cara pemesanan: https://jejakpublisher.com/product/my-first/

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.