Puisi-Puisi I Gede Santana Wiratmaja
TIBA GILIRANKU
Ketika giliranku telah tiba
Jangan coba halangi aku membela negeri
Takkan gentar, kuberani berseteru
Sampai darah membiru
Nadi-nadi jadi debu
Ketika tiba giliranku
Jangan coba halangi aku bentengi negeri
Takkan surut jiwa raga berdiri walau keringat jadi pati
Tulang belulang terselimut abu bara api
Mimpiku tak mati
Sampai tiba giliranku nanti
Jangan halangi aku pertahankan negeri
Takkan terhenti jantungku berdetak
Meski air, angin, dan api hendaki aku mati
Aku tak peduli
Sampai giliranku telah tiba
Jangan halangi aku membela negeri
Takkan terbuka mulut tuk merintih
Meski jasmani dirusak ribuan luka
Darah dan nanah mandikan aku dalam siksa
Ketika tiba giliranku
Jangan coba halangi aku pertahankan negeri
Takkan terhenti langkah sekali berlari
Walau mati sekali, seribu jiwaku hidup lagi
Seribu jiwa itu pergi, takkan berarti
Demi mimpi negeri abadi
SURABAYA 1945
Kau terbaring di sini, hanya mampu melihat langit
Surabaya dengan mata tertutup
Debu-debu menderu
Mengerangkan ribuan jiwa dalam derita yang tersebar
Mengelilingi setiap sudut kota
Untuk memberi tahumu, aku ingin Surabaya
Kau tergeletak di sini, hanya mampu mendengar teriakan
Surabaya yang bisu
Mesiu-mesiu yang meletus
Melontarkan peluru kepada ribuan jiwa yang tersebar
Memenuhi sepanjang jalan kota
Untuk memberi tahumu, aku mau Surabaya
Kau tertidur di sini, hanya mampu bermimpi
Surabaya di tanganmu
Tulang –tulang yang remuk
Mengerakkan ribuan jiwa yang berdarah
Tersebar mengisi setiap sisi kota
Untuk memberi tahumu, aku punya Surabaya
MALAM SEBELUM BANDUNG LAUTAN API
Kepada Bung Toha
Jadilah malam ini semakin kalut terliput
Di mana tempat bernaungnya tentara-tentara TRI dalam selimut
Namun tidak, Sang Jendral yang tidak mau semua berlutut
Terpikir kembali olehnya kedatangan sekutu
Dengan deru-deru pemberi haru
Pada 17 Oktober 1945 lalu
Bersuar dengan dalil-dalil membantu para pejuang
Yang gencar melucuti senapan-senapan tawanan tanpa tuan
Tetapi kedoknya memang lucu, wajahnya pun tidak sampai kerungu
Hingga akhirnya kita diperbodoh dengan gelagak sandiwara lawak
Untuk membungkam semua tawa
Dengan melayangkan ultimatum ke pelupuk syukur
Yang pertama 21 November 1945 sudah kami laksana
Hingga rela kota jadi dua dan kongsi sama rata
Tetapi datang lagi tadi, 23 Maret 1946
Sudah tidak bisa diterima
Geramlah Sang Jenderal dalam balutan malam sunyi
Terlampau kesal pekiknya hingga pecah kesendirian
Melawan mimpi merdeka yang menawan
Ucap halo dengan lantang
Deru Sang Jendral berkumandang
Membangunkan semua TRI yang semringah siap bergerilya
Ucap halo dengan suara lantang
Deru Sang Jendral berkumandang
Menggerakkan 200000 rakyat yang geram siap menghantam
Pada para sekutu yang setulus hati menyapu debu
Maka jadilah 24 Maret ini kami beri kau
Sepercik semangat jiwa api
Untuk melalap Kota Bandung
NYANYIAN PADA SELEMBA
Pada masa penjajahan ini
Hujan memang selalu tinggalkan cucu pemalu
Menatap rindu pada sebuah nisan batu
Yang bercerita tentang atuknya, di Selemba pagi itu
Terik memang selalu tinggalkan anak malang
Memegang erat bunga-bunga terkarang
Yang dipersembahkan untuk bapaknya di Selemba pagi itu
Bulan memang selalu tinggalkan adik manis
Memangku air-air mata tangis
Yang dibeli oleh kakaknya di Selemba, malam itu
Mereka termangu, merintih, dan tersedu
Mata mereka berlinang, hati mereka mengenang
Tubuh mereka menggarang, pada para tirani
Yang menembak mati atuk, bapak, dan kakak kemarin hari
Kemudian mereka bersatu padu
Anak-anak yang merindu
Bawa cerita, bunga, dan air mata
Mereka menderu, bisu melantunkan lagu-lagu
Pada Selemba hari itu
PADAMU NEGERI
Kami berikrar janji palsu
Dan puisi, muncul di antara mereka yang kelaparan
Disumpal mulutnya dengan nasi menggunakan tangan dekil penuh debu
Agar mereka jadi bungkam dan tidak bisa beri tahu
Uang apa itu yang di dalam saku
Padamu negeri, kami berbakti dalam paksa
Dan puisi, muncul di antara mereka yang bertani
Dibisikan telinganya dengan kata-kata yang menderu dalam mulut penuh debu
Agar mereka tidak dengar dan tidak bisa beri tahu
Uang siapa yang dipakai mengimpor beras ke Negara agraris
Padamu negeri, kami mengabdi dengan pamrih
Dan puisi, muncul di antara mereka yang melaut
Ditutupnya mata dengan geladak kapal-kapal besar yang melintas ke depan
Agar mereka tidak bisa lihat dan tidak bisa beri tahu
Uang yang mana dipakai mengimpor ikan ke Negara maritim
Bagimu negeri, jiwa raga kami hanyalah sampah
Menunggu busuk memberi kaidah
Untuk dibuang bersama uang penuh kesah
Nama asli adalah I Gede Santana Wiratmaja, memiliki nama pena Sujana Wiratama. Suka menulis, terutama puisi dan dimulai sejak dari SMP. Akan tetapi, baru aktif ketika duduk di bangku SMA. Kelahiran Banyubiru, 5 November 2000 adalah siswa kelas XI SMA Negeri 1 Negara, Jembrana, Bali. Akun media, facebook : Santana Wiratmaja, Ig : Sujana Wiratama.