Lelaki Senja

Lelaki Senja

Hari itu senja tampak lebih memerah. Lebih kelabu dari sore biasanya. Aku duduk terpaku bersamaan dengan gugurnya dedaunan yang sesekali tertiup angin. Mendung, batinku melirik langit yang kehilangan warnanya.

Dari kejauhan, siluet bayangan yang kuhafal di luar kepala semakin mendekat.  Merapatkan jarak di antara kami. Ia tersenyum melambaikan tangan. Aku pun membalas dengan senyum canggung. Mengangguk perlahan pertanda kehadirannya telah aku nantikan. Tak lama berselang, ia sudah menempati posisi di sampingku. Dengan aroma tubuh yang begitu kukenali.

“Apa kabar?” Tanyanya memecah keheningan di antara kami.

“Baik. Kamu?” Suaraku terdengar serak.

“Baik,” Jawabnya tersenyum. Aku tertunduk. Selain senyumnya yang selalu berhasil membuatku tersipu, melihat matanya adalah sesuatu yang sama sekali tak pernah berhasil kulalukan. Aku menyerah jika harus bertatapan langsung dengannya.

Ini adalah kali pertama kami bertemu setelah 5 tahun berlalu. Perpisahan sewaktu berseragam putih-abu sepertinya tak mengubah banyak hal darinya. Selain, tubuhnya yang semakin tinggi dan rambutnya yang tampak lebih panjang.

“Kamu, sendiri?” Tanyanya lagi. Aku tak menjawab. Hanya anggukan yang kuberikan. Ia menghela nafas.

“Kamu sama sekali tidak berubah,” Lanjutnya terdengar menerawang.

Dan kami kembali dengan pikiran masing-masing. 5 tahun bukan waktu yang singkat untuk pertemuan pertama yang kelihatan canggung ini. Setelah ia berpamitan untuk melanjutkan kuliah di luar daerah, kami tak lagi berkomunikasi. Ia hilang bersama waktu yang tak lagi kupertanyakan. Senja itu adalah senja terakhir yang kulihat bersamanya.

“Besok aku pergi,” Ucapnya kala itu. Aku terdiam.

“Mungkin,  kita juga tak lagi bisa bersama,” Lanjutnya lagi. Aku tetap diam.

“Maafkan aku,” Suaranya perlahan hilang bersama angin. Dan, aku tetap diam. Tak juga menjawab. Ada sesak yang menghalau suaraku. Sesak yang teramat sangat. Ia hanya menghela nafas. Aku tahu. Ia pun merasakan hal yang sama.

“Jangan lagi bertemu dengan lelaki sepertiku,” Ia menyodorkan sebuah foto. Fotoku yang sedang tersenyum menatap ke arahnya dari kejauhan.

Tanpa suara,  ia pergi. Bersamaan dengan senja yang semakin hilang dibalik gelapnya malam.

Dan, aku menangis.

***

“Aku akan segera wisuda,” Ucapnya ditengah-tengah hiruk-pikuk ingatanku. Aku melihatnya sekilas dan kembali tertunduk. Memainkan dedaunan yang berserakan tertiup angin.

“Kamu tak ingin mengucapkan selamat padaku?” Tanyanya ikut tertunduk memainkan dedaunan. Sedikit terkejut kudengar pertanyaan yang terngiang sendu ditelingaku.

“Selamat ya,” Ucapku singkat tak berani menatap.

“Kamu tak ingin bertanya? Lagi?” Ia terdengar ragu. Aku menggeleng. Sebenarnya ada banyak sekali pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya. Perihal senja terakhir 5 tahun yang lalu. Juga tentang 5 tahun yang berlalu tanpa aku di dalamnya. Namun urung kulakukan. Aku memilih diam. Menyimpannya rapat. Sendiri.

Sepertinya ia pun mengerti dengan cara diamku. Ia tak lagi meminta jawabku. Dengan sesekali memainkan dedaunan yang semakin banyak terjatuh, kami larut dalam kebisuan.

Hingga senja telah mencapai ujungnya,  ia tetiba bangkit. Dan perlahan mulai melangkah. Aku yang tak menyangka waktu berlalu secepat ini, dengan gerakan lambat menarik ujung kemeja biru miliknya. Di belakangnya, aku tertunduk. Tak melepas.

“Apa kamu akan pergi? Lagi?” Tanyaku dengan suara bergetar.

Sunyi. Tak ada jawaban. Hembusan angin yang melewati wajahku semakin terasa dinginnya. Ia berbalik. Ujung kemeja yang kupegang pun terlepas. Ia menatapku. Lama sekali.

“Jika ingin bertanya, lihat mataku,” Jawabnya setelah beberapa menit tak bersuara. Aku semakin tertunduk. Aku tahu ia sedang tersenyum. Aku tahu ia hanya ingin membuatku semakin tertunduk malu.

“Aku akan pergi besok,” suaranya parau. Seketika ingatan tentang senja terakhir 5 tahun yang lalu kembali berputar cepat di memoriku. Rasanya tubuhku ikut bergetar lebih dari sebelumnya.  Didadaku ada sesak yang lagi-lagi membuat lidahku kelu untuk berucap. Aku semakin terpaku. Tertunduk menahan tangis.

“Dan…,” Suaranya terputus. Tangannya tetiba memegang pucuk kepalaku. Tubuhku yang sedari tadi bergetar menahan tangis mulai menemukan fungsi kerjanya.

“Aku datang menjemputmu. Ikut bersamaku,” Tambahnya sembari menunduk. Menyisakan jarak yang amat dekat antara mataku dan matanya.

Untuk pertama kali aku berhasil menatap matanya. Menatap lekat ke dalam matanya. Mencari kesungguhan dalam ucapannya yang mampu membuatku berhenti berpikir jernih. Matanya begitu jernih, tulus dan hangat. Seketika aku menangis. Hampir tak bersuara. Air mataku terjun bebas tanpa ada penahannya.

***

“Aku sangat menyukaimu. Tapi,  kenapa kau terus membohongiku?” Lirihku hampir terisak.

Sejak senja terakhir ia datang untuk menjemputku, saat itu pula ia kembali menghilang bersama sang waktu. Lagi-lagi tanpa kata tanpa suara.

Ia hanya melihatku dengan tatapan yang tak bisa kujelaskan maknanya.

“Kenapa harus berbohong?” Aku tak lagi mampu menahan butiran air mata yang turun tanpa komando.

Ia terdiam. Tangannya mengepal. Menahan sejuta rasa yang tak mampu ia ucapkan. Ia melangkah mundur. Berbalik dan pergi.

Aku semakin tergugu. Tubuhku bergetar hebat. Ini tangisan ke sekian yang berhasil aku perlihatkan padanya.

Senja kali ini menyisakan pilu yang teramat sangat. Semakin memerah semakin kelabu. Hatiku terluka.

***

“Kita semua pernah berbohong. Entah untuk melindungi sesuatu atau menyembunyikan sesuatu. Karena,  tak semua hal bisa dikatakan,  bukan? Jadi, biarkan saja alasan kebohongan tersebut tetap menjadi rahasia. Dengan konsekuensinya masing-masing.” Aku menutup lembar terakhir dari catatan yang ia tinggalkan untukku.

Setahun berlalu sejak senja memilukan itu. Hari ini pula, tepat setahun ia tertidur lelap dalam bungkusan kain putih dengan  nisan bertuliskan namanya.

“Aku sudah menyelesaikan bacaanku,” Ucapku berbisik. “Maaf, membuatmu terluka lebih dari yang pernah aku rasakan. Maaf, karena membuatmu menyimpan semuanya sendirian,” Aku terisak tak tertahan.

“Maaf. Aku menangis lagi. Sekarang, aku pergi ya,” Aku bangkit membawa catatan beserta kenangan yang menjadi cerita abadi dalam memoriku.

Aku mencintaimu.

Aku mencintaimu dalam rentang waktu yang berbeda.

Aku mencintaimu dalam jarak yang tak terjangkau.

Aku mencintaimu dalam doa yang lirih terucap.

Lelaki senjaku.


Nama: Ulyaeni Maulida
Fb: Ulyaeni Maulida
Email: ulyaenimaulida@gmail.com

Seorang perempuan yang lebih suka menjelaskan perasaan melalui tulisan.
Menceritakan rindu dalam sebait doa.
Mencintai dengan cara sederhana.
Menikmati kehilangan dengan cara tak biasa.

Aku lahir disebuah desa di daerah Lombok Timur.
Besar dan hidup berpindah-pindah sampai ke ujung kota karang, Kupang.
Dan saat ini, aku sedang menyelesaikan kuliah di salah satu Universitas di Yogyakarta.
Kota yang menjadikan kenangan menjadi lebih indah untuk diceritakan.

Jejak Publisher

4 thoughts on “Lelaki Senja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.