Sehimpunan Puisi Muh. Wahyu Setiawan
RINDU
Pemandangan dari balik kaca jendela adalah kenangan.
Angan-angan, tantangan, rintangan, halangan.
Semua sama belaka.
Jarak yang merentangi aku dan kau.
Film tengah malam di bioskop adalah panggilan.
Menunggu kita berdua jatuh di atas waktu.
Dan penantian. Entah kau, entah aku.
Adalah tangisan.
Kita bukan cukup.
Kita adalah hanya dan tapi.
Di atas kalimat yang belum terangkai ini.
Kita adalah kata yang terluka.
Dan aku adalah kau yang ingin pulang
ke tubuhku.
Konawe, 2017
GERIMIS PAGI ITU
Rindang hujan, bergemiricik bebas, jatuh dari mata angkasa.
Tangis cakrawala pecah di sekujur tubuh rerindang daun
setia menunggu embun pagi yang tak kunjung datang.
Angin-angin laut, bergegas berlarian saling berkejaran
memecah ruam-ruam luka senja, menganga lebar di hadapan
yang fana.
Sang abadi duduk diam di muka tembok maya yang kokoh.
Katanya, tapal batas yang fana dan yang abadi:
Hidup yang meminta kematian.
Kediri, 2017
KACA YANG CEMAS
Jangan kau gosok terus.
Kaca itu, dan aku yang hangus.
Kaca itu akan tergores. Dan
aku akan teriris. Hatiku.
Kata-kata di atas kaca
bukan dari debu.
Tapi dari aku yang
menggebu.
Kaca dan sungai sama belaka.
Tempat kau mematut diri.
Tapi aku bukan langit.
Tempat kau menggambar.
Kau kira kabut melekat di kaca.
Tidak. Ia malah merekat erat.
Lebat di antara kaca-kaca
gedung.
Kabut adalah aku.
Yang takut dan memaku.
Kau adalah kaca.
yang mau aku membaca.
Kau yang tak ada.
Konawe, 2017
KAU YANG MENGHAPUS AKU
Di atap bandara malam ini, ada yang mengapung perlahan
Menggeliat, rendah, menjauh dari cahaya dan dirinya.
Hujan dan kenangan
Bergantian menderas dilangit, menyisakan tanya. Aku
Kalender yang kau sobek tiap hari.
Kertas yang kau gores kisah, kau lukis kasih,
Kau sisihkan di tepi ingatan yang kau kikis
Perlahan dan perlahan mengiris, diri ini meringis.
Hari menjelma bulan secepat matamu menari
Di atas tangan kenangan yang mengasihi diri. Mungkin
Aku yang sibuk membaca diri, atau
Kau yang sibuk menghapus aku
Di setiap sudut-sudut ingatanmu.
Konawe, 2017
KITA DI BOROBUDUR
Aku mencoba menemukan
diriku dimana-mana
sejak kau memecah-mecah tubuhku
berhamburan dimana-mana
Tapi hanya ada abu yang duduk terdiam
setelah terbakar habis api unggun
yang kau saksikan bersama dirinya
semalam. Dan anak-anak hujan
yang berhenti bermain, menunggu di depan
pintu ibu mereka. Dan langit
yang minta dilukis. Dan angin laut
menghembuskan sepi.
Hanya aku, yang tak kutemukan
dalam dirimu.
Jogja, 2017
LANGIT DAN LAUT
Tiap hari kau membiarkan dirimu
tersesat dibelantara awan, di langit
yang semakin sengit meminta
pecahan-pecahan dirimu yang utuh
Sedang di bawahnya membentang
laut lapang, dan segala yang hilang.
ikan-ikan dan pemburu ikan-ikan
terbang kesana-kemari.
Di antara keduanya:
Jarak dan arak yang tak habis-habis
yang sama-sama memabukkan.
Bandara Surabaya dan bandara Makassar
dan bendera putih dan awan-awan putih.
Makassar-Surabaya, 2017
DI BAWAH ATAP MIMPI
1
Mimpi, kata seorang ahli adalah
Ingin yang ditekan dalam angan.
Benarkah? Jangan-jangan.
Mimpiku benar-benar terlarang.
Setiap malam tidurku berlabuh
ke pulau mimpi. Padahal
aku ingin ada sehari saja aku
sampai di pagi tanpa singgah di mimpi.
Untungnya setiap malam, gelap selalu
menghalangiku terlelap. Yah, setidaknya
aku terbebas barang sebentar dari mimpi.
2
Di bawah atap mimpi, aku berlindung
dari hujan kenangan yang tiap malam menderas
di langit lelap. Aku harap aku punya payung
di sini: Topeng.
Sajak yang kubaca tiap malam menjelang
kantuk menggantung di mataku berubah di pulau mimpi.
Menjadi penyair buta yang terus saja menghunjamku
dengan pisaunya: pisau kata-kata.
Dan dia adalah seorang wanita. Yang kukenal pula.
” Kau terlalu baik, jadi sebaiknya, kita cukup jadi teman,
yang baik-baik”: pisau yang ia gunakan.
3
Setelah bangun dari mimpi, aku menjadi sepi. Sangat sepi.
Rupanya di sini lebih sakit dari mimpi. Di sini ada kau
yang tak mau menepi di hatiku.
Berkali-berkali aku keluar masuk mimpi. Tapi kau selalu
saja tak menghilang.
Di waktu lampau kau jadi kenangan.
Di waktu kini kau jadi angan.
Di masa depan kau jadi angan-angan.
Ahh.. bisa tidak kau menghilang saja.
Dan sekarang apalagi.
Kau malah menjadi tantangan.
Konawe, 2017
Nama Muh. Wahyu Setiawan, Lahir di Konawe, 15 Juni 1997. Saat ini sedang berkuliah di Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar. Bergiat di komunitas Stigma (Stimulus Paradigma)
Bisa dihubungi di akun media sosial: FB: Muhammad Wahyu Setiawan (https://www.facebook.com/reinjy) IG: wahyu.cocos