Hold My Hand

Hold My Hand

Perlahan aku menarik lepas plester yang menempel di punggung tangan kananku. Ada luka berbentuk titik berwarna merah tua tampak di atas kulitku begitu benda berwarna putih itu benar-benar terlepas. Luka bekas tusukan infus itu sudah tidak lagi mengeluarkan darah.

“Mau langsung pulang?”

Aku menoleh pada Nisma, perempuan yang duduk di sebelahku, yang sedang mengendalikan mobil yang kami tumpangi. Aku tidak langsung menjawabnya, memilih untuk diam menatapinya. Perempuan inilah yang selama dua minggu selalu setia datang menjengukku di rumah sakit, membantuku untuk makan, membersihkan tubuhku tanpa pernah terlihat jijik. Perempuan inilah yang dengan setia menemaniku hingga aku tertidur tanpa pernah mengeluh merasa bosan mendengar cerita-cerita yang selalu aku ulang-ulang. Tapi, bukan dia yang memenuhi kepala dan hatiku selama ini. Bukan dia yang selalu aku rindukan. Karena aku masih saja merindukanmu.

Kamu. Sudah dua minggu ini aku tidak melihatmu, tidak mendengar suaramu. Bagaimana kabarmu? Apa mungkin kamu juga sedang merindukan aku?

“Langsung pulang?” tanya Nisma, mengulangi pertanyaan sebelumnya.

“Mau tidak menemani minum kopi sebentar?” tanyaku padanya.

Dia tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Nisma lantas membelokkan mobil yang kami tumpangi di kedai kopi langganan kami, langganan kita. Kamu tentunya ingat, di tempat inilah kita dulu bertemu untuk pertama kali. Dulu, sewaktu aku sering membolos kuliah di jam terakhir dan lebih memilih menghabiskan waktu di tempat ini sambil membaca buku-buku yang disediakan kedai kopi ini. Dulu, sewaktu berkali-kali aku menemukanmu duduk sendirian di tempat duduk pojok dekat pintu masuk dan larut dalam buku yang kamu baca. Dan dulu, sewaktu aku, dengan jantung berdegup kencang, berjalan cepat ke arahmu dan memberanikan diri menanyakan namamu. Ya, dulu.

“Espresso,” kataku sebelum Nisma menanyakan pesananku.

“Seperti biasa, ya?” tanyanya sambil tersenyum. Dia lantas berpaling pada pelayan yang siap mencatat pesanan kami. “Espresso dan Cappucino,” katanya.

Nisma kembali berpaling padaku begitu pelayan itu pergi. Dia memandangiku.

“Kenapa?” tanyaku.

“Benar tidak apa-apa? Tidak pusing?” Sebelah tangannya menindih tanganku yang aku letakkan di atas meja. Dia tampak mengkhawatirkanku.

Aku menggeleng. “Aku kangen sekali dengan tempat ini.”

“Iya, aku mengerti. Bagaimana tidak kangen kalo biasanya hampir setiap hari mampir ke sini tapi dua minggu ini dikurung di rumah sakit.” Nisma masih menatapku.

Aku tertawa. Iya. Dia benar. Mana mungkin aku bisa tidak merindukan tempat sederhana ini sedangkan hampir setiap hari aku kemari bersamamu, menatapimu menghabiskan secangkir macchiato kesukaanmu. Lalu mendengarkan lagu kesukaan kita yang sering sekali diputar di kedai ini.

 

You think I’ll leave your side, baby. You know me better than that..

You think I’ll let you down when you’re down on you knees?

I wouldn’t do that.

 

“Lagu ini…” Nisma menggumam sewaktu lagu kesukaan kita tiba-tiba mengalun.

Ada senyuman tampak di wajahnya. Ya, aku tahu dia juga menyukai lagu ini. Aku yang meracuninya. Aku sering memperdengarkan lagu ini padanya. Ah, aku memang jahat. Aku memaksanya menyukai lagu ini hanya agar dia tidak perlu protes ketika harus menggantikanmu menemaniku mendengarkan lagu ini.

 

When you’re on the outside baby and you can’t get in,

I will show you, you’re so much better than you know.

When you’re lost, you’re alone, and you can’t get back again,

I will find you, darling and I will bring you home

 

Kamu tahu, sebenarnya ada sedikit rasa sedih yang menyeruak di dalam hatiku setiap kali aku mendengar lagu ini. Lagu ini mengingatkanku pada tatapan kecewa di wajahmu malam itu. Kamu masih ingat? Malam itu, di hari jadi kita yang pertama, kamu pernah memintaku untuk berdansa denganmu. Waktu itu aku menolak ajakanmu. Berdansa itu terlalu kekanak-kanakan buatku. Aku tidak mau. Sama sekali bukan aku. Tapi setelah itu ada rasa sesal yang selalu menggangguku. Apalagi setiap teringat kekecewaan yang langsung tampak di matamu. Yang aku tahu tidak akan dapat lagi aku obati. Karena kita tidak mungkin lagi berdansa.

“Merindukannya?” Nisma kemudian meminum cappucino-nya yang baru saja diantarkan oleh pelayan.

Yah, aku memang tidak pernah bisa menutupi apa yang aku rasakan. Seperti yang selalu kamu katakan padaku, aku ini tidak pandai berbohong. Sekuat apa pun aku berusaha, aku tidak pernah bisa menyembunyikan apa yang sedang aku rasakan. Terutama darimu dan dari Nisma. Kalian selalu saja bisa menebak apa yang aku rasakan.

“Aku merindukannya,” jawabku pelan, hampir seperti berbisik. Aku memainkan jari di bibir gelas espresso-ku. Lebih memilih memandangi jalanan di luar jendela di sebelahku daripada tatapan penuh pengertian dari Nisma.

Genggaman tangan Nisma di tanganku memaksaku untuk meninggalkan jendela, kembali berpaling pada perempuan yang selama ini tidak pernah mengeluhkan keadaan kami, keadaan kita itu. Dia yang selalu mengerti betapa aku sangat mencintaimu, betapa kamu begitu tidak bisa hidup tanpa aku. Dia yang selalu ada di antara kita.

Aku menarik tanganku dari dalam genggamannya lalu meneguk habis espresso-ku. “Mari pulang,” ajakku.

Nisma ikut menghabiskan minumannya lalu menemaniku melangkah keluar dari kedai kopi itu, kembali berkendara di atas mobilnya. Sampai tak lama kemudian, setelah beberapa belokan, Nisma menghentikan mobil. Perempuan itu menunjuk ke arah teras rumah, ke arahmu yang seperti biasa sedang menikmati sore.

“Maaf, aku harus segera pergi,” bisik Nisma sebelum kemudian memeluk dan mengecup pipiku. “Salam buat papa ya, Ma?”

“Iya.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman lantas bergegas turun, menarik turun tas pakaianku dari dalam mobilnya, dan membiarkannya meninggalkanku.

Kamu menatapku sewaktu aku membuka pagar dan mulai melangkah ke arahmu. Terus menatapku, membuatku tersenyum, mengeluarkan kerinduan yang sudah bertumpuk di dalam hatiku. Rasanya aku ingin berlari ke arahmu lalu menabrak tubuhmu, memelukmu erat seperti setiap kali aku lama tidak melihatmu dulu. Tapi saat ini aku harus menahannya karena aku tidak mungkin lagi bisa melakukannya sekarang.

“Apa kabar?” tanyaku begitu sampai di hadapanmu.

Tidak ada jawaban darimu. Seperti yang sudah kuduga. Kamu hanya menatapku.

“Sedang menikmati sore?” tanyaku lagi sembari menjatuhkan diri di sisimu. “Aku kangen,” lanjutku.

“Anda siapa?” tanyamu.

Aku menarik napas panjang, berusaha mencegah air mataku jatuh. Ya, aku sudah menduga akan seperti ini. Semenjak meninggalkan rumah sakit tadi, aku memang sudah mempersiapkan diriku dengan apa yang akan terjadi saat aku bertemu denganku. Makanya aku menahan diri, tidak ingin terlalu meluapkan kerinduanku, tidak ingin terlalu kecewa.

“Lupa padaku?” tanyaku, menanyakan pertanyaan yang aku sudah tahu pasti jawabannya. Ya, kamu memang lupa padaku.

“Maaf, tapi saya sedang menunggu seseorang. Saya sedang menunggu istri saya. Biasanya dia pulang kerja jam segini,” katamu.

Pahit rasanya mendengarmu mengatakan itu. Kamu bilang sedang menunggu istrimu pulang kerja.

“Biasanya dia sudah pulang lalu dia akan mengajak saya ke kedai kopi di ujung jalan itu. Kami akan minum kopi di sana. Kami suka sekali ke tempat itu. Di sana selalu memainkan lagu kesukaan kami.” Ada binar kebahagiaan sewaktu kamu menceritakan semua itu. “Sayang dia tidak pernah mau berdansa. Katanya dia malu. Tapi tidak apa-apa. Dia tidak harus mau berdansa. Saya sudah cukup senang dia selalu ada di sisi saya, menemani saya, dan menggenggam tangan saya setiap kali bersama saya.”

Aku menyukai binar di matamu setiap kali kamu bercerita seperti ini. Aku menyukai rasa cintamu yang tampak di sana. Tapi ini menyakitkan setiap kali kamu tidak mengingatku seperti ini. Ini menyesakkan, membuat rasa sesalku karena tidak pernah mau berdansa denganmu dulu kembali menyesakiku. Seandainya aku tahu tidak akan ada kesempatan lagi untuk bisa berdansa denganmu setelah itu, aku pasti tidak akan menolak. Seandainya…

“Maaf. Seharusnya saya tidak mengatakan hal ini pada orang asing. Maaf,” katamu. “Tapi saya begitu merindukannya. Rasanya sudah lama sekali saya tidak bertemu dengannya. Padahal baru tadi pagi dia berangkat kerja.”

Tidak ada kata-kata yang bisa aku ucapkan sekarang. Aku hanya membiarkan tetes-tetes air mataku mengalir turun.

“Maaf. Saya sudah menyakiti Anda?” tanyamu khawatir.

“Oh, tidak. Maaf.” Aku menghapus air mataku dan memaksakan sebuah senyuman. “Saya juga suka ke kedai kopi itu. Saya suka sekali dengan espresso buatan mereka,” ceritaku.

Kamu mengerutkan kening, menatapku. “Sama dengan istri saya,” katamu. “Dia juga suka sekali kopi di dalam gelas super kecil itu.”

“Saya juga heran. Padahal ada yang mengatakan pada saya, macchiato lebih enak dan tidak terlalu berat.”

Sekali lagi kamu mengerutkan kening lalu menatapku lama dalam diam. Kamu tampak terkejut ketika aku tiba-tiba menggenggam tanganmu, memasukkan jari-jariku di sela-sela jarimu.

“Dia selalu menggenggam tanganku seperti ini,” katamu. “Dia… Kamu…”

Sebelah tanganmu membelai pipiku, menghapusi air mataku yang masih saja jatuh.

“Kamu…”

Aku tidak bisa lagi menahannya. Aku menghambur ke pelukanmu cepat dan menangis di sana. Menumpahkan semua kerinduan yang sudah aku tahan selama dua minggu ini.

“Terima kasih,” bisikmu seraya mengelus belakang kepalaku lembut. “Terima kasih tidak meninggalkanku.”

Hanya anggukan kepala yang bisa aku berikan. Tidak ada lagi kata-kata. Padahal kita sudah mengalami ini berkali-kali. Tapi tetap saja ada kebahagiaan luar biasa yang memenuhiku setiap kali aku berhasil membuatmu mengingatku. Berkali-kali seperti ini dan masih akan terus berkali-kali seperti ini.

 

“Suatu hari nanti aku mungkin akan melupakanmu,” katamu sore itu ditemani secangkir macchiato. “Jika nanti aku lupa, ingatkan aku,” katamu lagi.

Sore itu aku tidak bisa mengatakan apa pun. Aku memang tidak mampu lagi mengatakan apa pun semenjak diagnosa dokter tentang keadaanmu menyerang pertahanan diriku. Alzheimer.

“Otakku mungkin melupakanmu. Tapi aku tidak mencintaimu dengan otakku. Aku mencintaimu dengan hatiku dan hati tidak pernah lupa.”

Aku hanya bisa menggenggam tanganmu, memasukkan jari-jariku di sela-sela jarimu.

“Genggam tanganku seperti ini,” katamu. “Jangan lepaskan.” Kamu balik menggenggam tanganku.

 

Aku melepaskan pelukanku dan menatap wajahmu, menatap kedua matamu yang tengah menatapku.

I love you,” bisikku.

I love you more,” balasmu sebelum kemudian kembali menarikku ke dalam pelukanmu.

Ya, aku tahu besok kita akan memulai ini lagi dari awal. Tapi besok pagi aku akan terbangun denganmu di sisiku dan tanganmu menggenggam tanganku. Jadi, aku akan punya lebih banyak kekuatan untuk menghadapi apa yang harus aku hadapi setiap pulang bekerja. Aku akan lebih siap daripada hari ini. Lagi pula, hati tidak pernah lupa, kan?


Fina Mahardini. Penulis saat ini tinggal di Ternate, Maluku Utara. Tiga kegiatan yang disukainya adalah membaca, menulis, dan mengajar. Tulisannya yang lain bisa dibaca di blog pribadinya myperfecttwilight.blogspot.co.id. Penulis dapat dikontak melalui email fina.mahardini@gmail.com atau facebook: https://www.facebook.com/fina.mahardini.

Jejak Publisher

2 thoughts on “Hold My Hand

  1. I like it, ajari saya buat cerita romance mbak. Habis, saya belum pernah jatuh cinta jadi sulit rasanya. ^^>

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.