Sepilihan Puisi Ariyani Jingga

Sepilihan Puisi Ariyani Jingga

ANTARA DIAM, RUAM, DAN KUSAM

Jika boleh, aku ingin seperti ini
Begini saja
Mencintaimu dalam diam dalam ruam sampai kusam
Sebab bagaimanapun dikau tetaplah azam
Sedang daku adalah awam lagi terpendam
Bagiku,
Angin tak perlu tahu
Laut tak perlu tahu
Langit tak perlu tahu
Pohon-pohon tak perlu tahu
Tanah-tanah yang retak pun tak perlu tahu
Juga mereka!
Manusia-manusia yang sibuk berkeliaran tanpa alas kaki itu juga tak usah tahu
Bahkan jika harus kukubur bangkaiku sendiri yang mati karena iri
Semua,
Tak usah tahu bahwa sempat ada tempat yang diguyur hijau
Tak usah tahu bahwa yang hijau pun perlahan pelan kuning
Diam-diam kering, garing
Yang dicinta tak perlu tahu
Tentang berpapasan di persimpangan jalan di setiap waktu
Telak menyejukkan gersang yang merindu siraman air
Telak membuat sebuah perahu menambatkan dirinya sendiri
Pada pantai yang tidak ia tahu siapakah tuannya?
Baginya, itu semua tidak penting!
Sama sekali
Aku takkan gentar walau pudar
Jikalaupun pudar, aku masih bisa berpendar bukan?
Sekali lagi aku tegaskan
Meski cinta padamu adalah sebenar-benarnya tegas
Meski cinta padamu tak lapar pengakuan
Sebab kutahu ada satu yang tahu tanpa harus kuberi tahu
Ialah Tuhan Yang Maha Tahu

Tegal, 1 Agustus 2017
9.58 p.m.


MELUKIS BAYANG-BAYANG

Izinkan aku melukismu
Sebab hanya ini yang bisa kulaku
Saat yang tersisa hanya bayang-bayangmu
Sementara kamu memilih terbang bersama angin malammu
Izinkan aku menulismu
Menyelamatkan waktu yang kian silam kian suram kian karam
Bersama ragamu yang tunduk dalam keabadian
Aku tak pernah ragu
Walau aku adalah sebenar-benarnya bisu
Aku tak pernah ragu
Sebab aku kau menyatu
Sebab kau aku satu

Tegal, 1 Agustus 2017
10.23 p.m.


KETIKA AKU TAK BISA TIDUR

Ketika aku tak bisa tidur seperti malam ini
Kau tahu apa yang kupikirkan?
Aku memikirkanmu
Aku memikirkanmu lalu menganyammu menjadi baju tidurku
Ketika aku tak bisa tidur seperti malam ini
Kau tahu apa yang kulakukan?
Aku minum kopi sampai pagi
Aku minum kopi sampai pagi sampai aku tak rindu lagi
Ketika aku tak bisa tidur dan merinduimu seperti malam ini
Kau tahu apa yang kulakukan?
Aku membariskan para abjad
Aku merapikannya sampai benar-benar rapi
Aku merangkainya menjadi sederetan puisi
Aku merangkainya menjadi sederetan puisi meski tak ada yang menyebutku penyair
Kau tahu?
Puisi itu serupa gundukan rindu yang setiap malamnya membelenggu
Membelenggu penuh nafsu tanpa secuilpun ambigu
Puisiku tentangmu tak mengenal bait
Yang ada hanyalah rima-rima yang aromanya adalah tangisan para ibu
Kutumpahkan abjad demi abjad
Kutumpahkan kata demi kata
Terkaparlah kita demi kita
Terkaparlah wahai gundukan rindu penuh nafsu yang membelenggu!
Mati saja sampai habis sang kopi
Jangan hidup lagi sampai pagi
Jangan datang lagi setelah pagi
Aku mau tidur setelah malam usai
Selesai

Tegal,1 Agustus 2017
10.49 p.m.


ELEGI DIRI

Aku
Aku berdiri
Aku berdiri di sini
Aku berdiri di sini di tepi kali
Aku berdiri di sini di tepi kali tanpa alas kaki
Lalu, kau berdiri di mana?
Kau lupa, Panji
Kau telah berjanji
Tapi sering kali lupa diri
Hingga berkali-kali kau ingkari
Kali ini
Coba kau ilhami
Coba kau resapi
Coba kau renungi
Sampai mati
Sampai nanti
Akupun mati

Tegal, 1 Agustus 2017
11.03 p.m.


SAJAK PAGI HARI

Pagi ini aku terbangun karena sinar yang memaksa dirinya masuk
Memaksa masuk melalui celah-celah kecil di dinding kamarku yang retak
Aku juga terbangun karena mendengar suara bayi menangis
Menangis entah karena lapar atau karena basah popoknya
Setelah itu aku menulismu
Menulismu kini adalah candu bagiku
Menulismu kini adalah candu bagiku yang mustahil kau miliki
Menulismu kini adalah candu bagiku yang mustahil memilikimu
Sebab,
Engkau serupa istana megah
Engkau serupa istana megah yang di dalamnya hidup ratu dan raja
Ratu dan raja lengkap dengan seribu lebih dayang-dayangnya
Sementara aku adalah serpihan kulit dinding yang merapuh
Serpihan kulit dinding yang lusuh yang luruh yang jatuh
Jatuh dibentak angin, dimakan usia, atau hanya karena gonggongan anjing
Atau aku adalah rumpun rumput yang perlahan pelan meranggas di hadapmu
Aku adalah gersang di depan matamu, wahai istana megah!
Menggigil diguyur hujan, terbakar sang matahari tak masalah buatmu bukan?
Aku terbakar terkaparlah aku
Sebab inilah takdir
Tapi mana mungkin istana megah hanya butuh baju berwarna putih?
Mana mungkin istana megah hanya butuh selimut langit biru?
Mana mungkin istana megah hanya butuh burung-burung hitam yang terbang menghiasi?
Tak selamanya rumput itu kering
Karena masih ada musim semi di negeri ini Tuan!
Kau juga butuh hijau penyejuk hati bukan?

Tegal, 2 Agustus 2017
7.17 a.m.


SAJAK KATAK BISU

Aku abu-abu
Sementara kau biru
Aku surut
Sementara kau pasangnya laut
Aku hitamnya langit kala mendung
Sementara kau putihnya awan kala siang
Kau purnama yang menerangi malam
Aku katak bisu yang termangu di bawah sinarmu
Aku pagi dan kau sore hari
Tak pernah bertemu meski sekali waktu
Aku pagi dan kau sore hari
Akulah dingin sedang kau hangatnya
Aku gemeletuk gigi sedang kau kepulan kopi
Aku pagi dan kau sore hari
Tunggu,
Aku dan Kau sama-sama oranye kan?

Tegal, 2 Agustus 2017
7.39 a.m.


MELEPAS YANG TERHEMPAS

Mungkin ini yang disebut bertepuk sebelah tangan
Mencintaimu yang mencintai orang lain
Mungkin ini yang disebut bertepuk seperempat tangan
Mencintaimu yang mencintai orang lain yang mencintai orang lain
Bagaimana kau tahu?
Bagaimana kau tahu besarnya rasa di dalam dadaku
Sementara bola-bola matamu tak mau sekalipun menatapku
Sementara amarahmu membakar habis kertas-kertasku
Bagaimana bisa kau melepas yang sudah kau hempas?
Aku hanyalah kertas sedang kau luka tanpa bekas
Aku hanya ingin memberitahu
Walau kau sama sekali tak mau tahu
Kita sama-sama daun gugur
Kita sama-sama daun gugur yang dihempas ranting sebelum kuning
Kita sama-sama kering yang tertiup oleh angin
Aku takkan memaksamu
Aku takkan memaksamu meski aku bunuh diri hingga habis darah dalam diri
Bagaimana bisa kau pisah yang sudah kau pecah?
Aku kini debu sedang kau tetap luka yang kian lama kian kelabu

Tegal, 2 Agustus 2017
8.12 a.m.


CINTA SETELAH MATI

Setiap malam minggu di bawah temaram lampu di sudut kampungku
Sepasang muda mudi duduk di bangku di bawah pohon jambu
Kata angin, mereka tak mendapat restu ibu
Kata daun jambu yang diterpa angin, mereka bertemu sekali seminggu
Kata tanah yang retak-retak, mereka tak punya nafsu
Setiap bertemu mereka hanya menjilati air matanya sendiri-sendiri
Sementara kedua tangan mereka sibuk menepuk-tepuk dada yang sesak
Sesak oleh pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban yang muncul saling berkejaran
“Kita sudah mati Kang Mas”
“Kita sudah mati tapi aku bahagia seperti ini”
“Aku bahagia seperti ini Kang Mas”
“Aku bahagia tak menyatu di dunia tapi hidup bersama di dunia kedua”
Kata bangku yang menjadi tempat bertemu sepasang muda mudi itu
Mereka kini punya nafsu
Bersama menumpas rindu
Bercumbu setiap waktu

Tegal, 2 Agustus 2017
8.37 a.m.


GADIS YANG SEDANG KASMARAN

Akulah gadis yang sedang kasmaran
Akulah gadis yang cintanya semerah kelopak mawar
Sebiru langit di siang hari
Sebening embun pagi
Seterik matahari
Semanis senyum di sudut pipimu
Dan sedalam lesung pipitmu
Aku tak punya keraguan
Sebab sekali kau lepas sorot matamu yang tajam
Telak mampu memagut ruang yang sejak dulu kosong melompong
Kini kita menjadi sepasang sandal tuan
Bukan lagi sepasang sepatu
Karena kita melaju tinggi tanpa terjalin tali
Cintaku bukan cinta remaja yang mudah pupus hanya karena hujan
Hanya karena jarak karena ruang karena waktu dan karena restu
Bahkan jika kau menyorotkan sinar matamu ke sisi lain
Bahkan jika pasangan sandalku hilang entah diculik siapa
Bahkan jika rasa tak terbalas oleh rasa melainkan oleh luka yang menganga
Aku rela!
Aku rela bahkan jika satu minggu telah berubah menjadi delapan hari
Cinta yang kini memasung dadaku yang pilu pun takkan pernah kebas
Takkan pernah kebas hanya karena kau hempas
Hanya karena kau tumpas sampai puas ladas
Cintaku masih semerah kelopak mawar, sebiru langit di siang hari, sebening embun pagi
Seterik matahari, semanis senyummu, dan sedalam lesung pipitmu
Ketahuilah wahai dikau yang jauh di tebing jurang
Ketahuilah wahai dikau yang jauh di tebing jurang namun dalam di lubuk hati
Ini takkan berhenti meski kau mutilasi sepuluh jari-jemari tanganku
Ini takkan berhenti meski kau mutilasi sepuluh jari-jemari kakiku
Hingga aku tak bisa lari lagi dengan sandal sialanmu
Hingga aku tak bisa lagi menjadi pasangan sandalmu
Aku akan tetap melukismu meski kugunakan lidah sebagai kuasnya
Dan darah merah serta air mataku sebagai pengganti tinta atau cat minyaknya
Karena aku,
Akulah gadis yang sedang kasmaran

Tegal, 2 Agustus 2017
11.47 a.m.


ISI HATI SANG BIJI SAWI

Sebiji lazuardi yang kau sematkan di jari manisku malam ini
Ke depan akan menjadi hari-hariku yang penuh teka-teki
Ke depan akan menjelma bulir-bulir air mata yang mengkristal tanpa henti
Kasih, kau telah merajutku menjadi pasangan nyawamu kala itu
Lalu bagaimana aku mesti bertahan hidup
Sementara kau bawa lari baju tidurku
Sementara kau bawa pergi seluruh ruhku tanpa permisi
Aku bukan rambut kepalamu yang mengikuti kemanapun kau pergi
Aku hanyalah biji sawi yang kau tanam di ladang dada percintaanmu
Aku serpihan kulit padi yang kau gelar di altar masa depanmu
Tapi kemana kau bawa pergi janji suci yang kerap kau ucap berkali-kali?
Ah!
Mungkinkah madu yang kau daratkan di ujung bibirku rasa empedu?
Persetan dengan moncong mulut-mulut yang berteriak suamiku kawin lagi
Persetan dengan moncong mulut-mulut yang berteriak suamiku kawin lari
Persetan dengan moncong mulut-mulut yang berteriak suamiku kawin siri
Takkan kembali
Aku tuli!
“Mas Maliki!”
“Aku mencintaimu”
“Aku mencintaimu sampai nanti sampai mati”
Aku tuli!
“Mas Maliki, aku tuli maka kembalilah kali ini”
“Kembalilah kali ini sebagai bukti kau benar-benar mencintai”
“Kau boleh membawanya lari bahkan kau boleh membawanya mati”
“Kau boleh membawa semuanya asal kau ucapkan kata minta diri”
“Mas Maliki aku tuli”
“Aku tuli karena itu aku tak peduli”
Pada mulut yang kian lama kian moncong itu aku tak peduli
Sebab kutahu kau hanya mencintai biji sawi
Biji sawi yang ingin kau cintai seorang diri
Bawalah lari baju tidurku, bawalah pergi seluruh ruhku
Bawalah mati sepenuh jiwaku
Bawalah mati segenap cinta yang kian lama kian mengudar gairah kau aku
Tapi sekali lagi aku ceritakan
Meski cinta padamu adalah sebenar-benarnya cerita
Pamitlah sebelum pergi dan berjanjilah dengan sebenar-benarnya janji
Janji untuk kembali selepas pergi

Tegal, 2 Agustus 2017
6.06 p.m.  


Ariyani Jingga memiliki nama asli Krisna Bayu Ariyani Savitri. Ia lahir di Tegal, 5 Februari 1998. Kesehariannya adalah sebagai mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Semarang (UNNES). Aktif mengikuti lomba-lomba kepenulisan dan mempublikasikan sendiri karya sastranya di media sosial. Puisi-puisi dan cerpennya terangkum dalam beberapa buku antologi. Diantaranya yaitu Kado Terindah Untukmu (Jejak Publisher, 2017) dan Sketsa Stasiun (CV Saweu Pena Publisher, 2017). Dapat dihubungi melalui facebook : Ariyani Jingga, Instagram: ariyani_jingga, dan WhatsApp : 085200247545.

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.