Sekumpulan Puisi Meisya Fitri
STASIUN RENTA
Keyakinanku untuk tetap diam berawal dari sana.
Dari deretan kursi yang mulai sepi.
Di stasiun kereta yang terakhir kita singgahi
Aku melepas apa yang disebut kenangan
Membiarkan ia berlari menjauh
Didesak gerbong-gerbong yang sudah renta dan lusuh
Senja kala itu tak lagi hangat.
Saat semburatnya menerpa wajahmu, tak ada gurat senyum terlihat.
Ia terlalu jingga. Mataku sibuk memicing dan menghindarinya.
Inilah kepergian yang mereka katakan. Namun bagaimana menahannya, tak pernah mereka ceritakan.
Himpit benakku yang kosong saat kau beranjak.
Didesak air mata yang mulai memberontak.
Kau dan ranselmu yang selalu ke sana kemari.
Terkadang tak pernah kembali lagi hingga pagi.
Aku hanya persinggahan kau bilang.
Mungkin serupa losmen murahan.
Maka di stasiun ini aku menyerah pada bagian kehilangan.
Merayakan muram, duka, dan luka bergantian dengan malam.
Seperti ini sajakah? Aku yang berkabung dan kau tetap pongah.
Merasa jemawa dirimu setelah merajamku dengan cambukkan rindu.
Semoga jalan pulangmu kali ini ke rumah.
Tidak ada lagi pemberhentian untuk menidurkan hati
Sembari kau taburi nyeri
Pergilah. Stasiun ini pun mulai hilang napasnya.
Semua yang kupunya bawalah.
Aku tidak sudi mendekapnya.
Beban itu kau saja yang tanggung.
Rindu, air mata, atau hembusan kenangan yang menggantung.
Stasiun ini hanya tempatku melepas lelah.
Persis sepertimu yang menganggapku sebagai lahan singgah.
DINI HARI, DIA DAN KAMU
Dia tetap jadi rongga-rongga jalan napasmu.
Berkali-kali atau ratusan kali menganggapmu candu.
Yang tak pernah bertanya mengapa ada cinta.
Di antara salah waktu dan salah suasana.
Dini hari dia dan kamu adalah dua rupa yang sama.
Menggali, mengais apa yang kalian sebut nikmat bercengkerama.
Dia yang tak pernah bertanya. Mengapa cinta harus tentang kamu.
Dan bagaimana rindu bisa menyerupai sendu.
Kalian tak ubahnya kepulan asap kopi.
Hangat, mengepul sarat gairah.
Antara kau dan dia jaraknya hanya tepi cangkir.
Saat dia berhenti bertanya mengapa bibirmu terasa anyir.
Yang dikulum oleh lidah adalah kata-kata.
Bukan pujian, hanya sepenggal ungkapan.
Dia dengan rasa dingin di sekitar pahanya.
Kamu dan tanganmu yang kerap kali bicara. Meraba. Merasa.
Tumpukan rindu itu harus diiris lagi.
Tapi kalian tak ada yang mampu lakukan.
Keduanya sibuk menjilati manis atau pahit keadaan.
Mereka memilih duduk di tengah rumpun ilalang.
Mengecup waktu hingga berhenti.
Memeluk rindu hingga lupa ke mana harus pergi.
Mereka yang tak pernah bertanya.
Mengapa mengkaji cinta harus serumit ini.
NENEK SERUPA SENJA
Dari sepasang mata tua.
Seorang nenek yang lebih senang kusebut dia temaram senja.
Senja keemasan utuh oleh hangat, doa dan harapan.
Tentang aku dan ketidakmungkinan.
Dari tangan nenek aku belajar memeluk usia.
Renta tidak selamanya rapuh.
Akulah yang sesungguhnya lebih keruh.
Dari mata sang senja temaram, aku belajar menelaah.
Bahwa cinta terkadang lebih baik diam.
Bukan berarti dia lantas kalah lalu menyerah pada hilang.
Pelukannya yang tak pernah seerat aku.
Penyesalan dari rautnya memenuhiku dengan sadar.
Sang senja yang temaram, akulah yang mengusikmu.
Maafkan. Kepergianku kelak bahagiamu.
Kali ini aku akan bertahan diam di hadapanmu.
Seraya ikut berdoa dan menempatkan semuanya sebelum semoga.
MERAH BULAN
Bulan purnama merekah, merah, dia marah.
Fajar memaksa, memerkosa hingga pagi membuatnya pucat pasi.
Bulan merah lenyap sudah.
Hilang ditelan kekosongan janji.
Lalu aku di ambang jendela. Menatap. Menunggu bulan merah membisu.
Dia tertawa padaku yang menangis sedu.
Memandangiku penuh haru atau kasihan.
Tubuhku pun dilucuti, digores ketidakpastian.
Bulan merah mulai mengamuk.
Dia melirikku yang urung membasuh kantuk.
Setiap malam selalu terjaga.
Menghindari mimpi yang tak lagi menyerupai bahagia.
Pada fajar aku berpihak.
Memaksa bulan terbenam pada sekawanan langit.
Si bulan terkaget, tersentak.
Dipecahkannya rinduku sengit.
DANDELION SERAPUH ITU
Dandelion itu rapuh, hampir jenuh.
Mungkin sebenarnya sudah lama mati.
Hanya menunggu bunganya jatuh.
Bersimpuh tanpa gaduh.
Dandelion itu meski basah.
Tertimpa hujan dengan angin bersekutu.
Dia tetap bergeming.
Menuju keyakinan tentang kamu.
Dalam dandelion dan keringanannya terbawa udara.
Hembusan napasnya setara suara.
Dia bergerak menjadi dandelion baru di suatu suasana.
Sambil berharap kamu di sana memungutnya.
Dandelion itu sakit.
Hampir musnah.
Dalam tangkainya dia hanya punya rindu secercah.
Tentang kamu. Tentang apa kenangan yang sulit pecah.
Dandelion putih hampir hilang kau tiup dalam-dalam.
Agar menghilang diam-diam.
Agar dalam dadamu tak lagi bersemayam beban.
Tentang melepas atau meninggalkan.
AKU REBAS KARENA KAMU LUKA
Nyata bahwa aku retakan lantai, di teras rumahmu.
Bahwa aku sobekan menganga, di helai kemejamu.
Atau aku noda cela, di celana panjangmu.
Aku berbekas. Aku rebas.
Gaungan rindu itu kau sebut jemu.
Mungkin bosan terlalu lama bersemayam dalam dadaku.
Namun senyumanmu itu rajam. Nyata.
Karena aku tahu apa yang diselubungi di baliknya.
Karena aku rebas dan kamu luka.
Kehilangan dirimu, aku rebas.
Merindukan dekapmu, aku rebas.
Menunggu kehadiranmu, aku rebas.
Memikirkan bahwa ternyata bukan hanya aku, aku rebas.
Kau terlanjur melekat. Kau kadung menjerat.
Aku ingin meronta, tapi kau bilang harus terbiasa.
Aku rebas dan kau luka.
Meisya Fitri, perempuan berumur 29 tahun yang lahir 10 Mei 1988 adalah seorang yang sejak kecil senang menulis dan membaca. Aktif mengikuti berbagai event lomba dan masih semangat menulis di wattpad dan tumblr. Bisa dihubungi di akun facebooknya N Meisya Fitri, atau instagram @meisyafitri.