Sepeda Merah Alan

Sepeda Merah Alan

Aku memperhatikan bagaimana mobil pick up itu parkir di halaman rumah. Seorang pria turun dari bangku kemudi, dengan cepat dan terlihat tidak sabar dia menurunkan sepeda berwarna merah itu dari atas mobil lalu dibawa ke hadapanku. Hari sudah sangat petang, dia sudah terlihat begitu kelelahan.

“Makasih banyak ya, Pak,” aku menyunggingkan senyum. Kuselipkan sebuah amplop berisi uang ketika tangan kami bersalaman.

Dia hanya mengangguk dan pergi dengan langkah tergesa. Seolah masih ada urusan penting yang sudah menunggu.

Aku menyentuh sepeda itu. Lalu duduk dengan tubuh lemas sambil memandanginya seolah dia adalah anak yang aku lahirkan beberapa puluh tahun lalu dan hilang begitu saja, hingga kami bertemu lagi sore ini. Cahaya senja yang keemasan memantul pada jari-jari rodanya. Botol minum yang masih bertengger di besi penyangganya kusentuh dengan perasaan paling terluka.

“Alan..,” bisikku lirih.

Bukan. Bukan nama sepeda itu. Tapi namamu.

Sepedamu sudah datang, tepat tanggal 10 Mei hari ini. Kau bilang akan memberikannya padaku sebagai kado suatu hari nanti. Tapi kenapa harus dengan cara paling menyakitkan ?

Senja yang sama, dua bulan lalu, tepat di hari ulang tahunmu. Aku sudah menunggumu dengan kesabaran paling besar. Dengan sebuah kado yang berulang kali aku pandangi, dan kamu masih lama datang. Tapi segala penantian dan harapanku kau bunuh oleh satu kalimat saja.

“Aku akan menikah,”

Mataku terpejam. Aku tahu, kamu pasti akan menikah. Bukan denganku. Tapi aku tidak mengira kalau saat itulah kau akan mengatakannya.

“Iya, Alan.”

Ah, hanya itu yang sanggup kukatakan. Rupanya waktuku sudah habis. Aku tidak bisa berdampingan lagi denganmu. Inilah ujung jalannya. Inilah batas aku harus melepas genggaman tanganmu.

“Aku minta maaf,” dia kembali berujar. Kepalanya tertunduk entah karena menyesal atau tidak mau mengakui kalau dia sedang menyayatiku pelan-pelan.

“Tidak ada yang salah. Kamu ataupun keadaan. Aku tidak pernah menyalahkan kalian. Jadi untuk apa meminta maaf? Ini memang tiba-tiba, tapi aku sudah menyadari jauh sebelumnya. Aku tidak akan bertanya kapan, atau siapa perempuannya. Semoga kamu bahagia.”

Saat itu lenganmu ingin merengkuhku, tapi kutolak halus. Berhentilah. Itu menyakitkan. Seperti membasuh luka dengan air garam. Perih. Karena sekali dipeluk, aku tidak mau melepaskannya lagi.

“Jangan sedih, aku yakin tanpaku kamu pun akan bahagia.”

Aku menggeleng perlahan. Air mataku sudah tidak tertahan. Maaf. Aku menangis bukan karena aku cengeng, tapi siapa pun akan seperti ini saat perasaannya dihabisi. Rasanya aku ingin marah, membunuhmu saat itu juga, tapi aku tidak mampu. Kalimatku pun hanya serupa patahan yang rapuh. Dia tidak berhasil terurai semuanya. Lalu berbagai pertanyaan menggelembung satu per satu. Seperti mendung sore itu.

Bukankah aku sudah memberikan semuanya? Apa masih kurang?

Bukankah cintaku katamu tidak tertampung seluruhnya? Lalu mengapa tidak berkecukupan?

Bukankah kamu juga pernah mengatakan kalau kamu tidak akan meninggalkanku? Mungkinkah aku salah dengar?

Bukankah katamu tindakanku semua benar? Lalu di mana letak kesalahannya?

 

Alan, kau pergi sore itu. Setelah menerima kado terakhir dariku. Kau pergi dalam balutan diam, tidak ada pelukan atau kecupan di keningku. Mataku basah sore ini. Berair lagi. Kau mengingatkan aku pada segala bentuk kepergianmu yang berwujud kesakitan. Bagaimana perasaanmu saat itu? Aku bahkan belum sempat menanyakan. Apa kau juga merasakan sendu yang serupa denganku? Atau justru kelegaanlah yang menyeruak dalam batinmu karena berhasil lepas dari belenggu sayangku selama ini, yang selalu menahan langkahmu mencari kebahagiaan yang lebih pantas untuk dinikmati?

 

Mataku tertuju pada sebuah kertas yang terselip di besi penyangga botol minum. Kertas berwarna merah jambu yang digulung dan seperti sengaja disimpan di situ. Tanganku dengan ragu mengambilnya. Mungkin hanya sampah, atau bon kurir yang mengantarkan sepeda ini tadi. Tapi begitu kubuka, aku melihat sebuah tulisan tangan yang tidak pernah aku lupa meskipun aku jarang melihatnya.

10 Mei yang ke sekian kali dalam hidupmu.

Maaf tidak bisa merayakannya atau memberi kado spesial seperti tahun yang berlalu. Aku hanya punya sepeda kesayanganku untuk kurelakan menemanimu. Belajarlah menaiki dia, lalu pergi ke mana pun kamu suka. Aku harap kamu bisa mencintai dia seperti kamu mencintaiku selama ini. Luapkan semua perhatian dan rindumu padanya yang walaupun hanya benda mati tapi kamu tahu aku masih ada dan hidup di sana.

Aku memang tidak pernah menulis apa pun tentangmu, maafkan aku. Karena sakit hatiku bila harus menjabarkan setiap rasaku padamu dalam rentetan kata. Karena aku tidak bisa memilikimu, karena cinta kita tidak bisa satu. Itu kenyataan yang sering aku sangkal selama ini. Demi bertahan pada pilihanku menyayangimu. Maaf bila aku tidak sanggup menepati janji untuk tetap berada di sampingmu, tak kan ke mana-mana seperti maumu. Aku terkutuk karena hal itu, aku salah dan berdosa membiarkanmu hidup dalam harapan-harapanmu tentang kita.

Semoga kamu dan keluargamu bahagia, aku juga sedang membentuk hal serupa saat kamu membaca surat ini. Sepeda merahku adalah pendampingmu mulai sekarang. Dia akan tetap menghidupkanku dalam ingatan. Ah, mungkin terlalu egois. Tapi aku juga tidak mau kamu anggap mati setelah ini.

Sayang kamu. 10 Mei.

 

Bahuku berguncang hebat. Aku ingat dulu terakhir menangis seperti ini saat ayahku meninggal. Rasa sakit, marah, atau apa pun itu yang mengaduk-aduk hatiku bercampur jadi satu.

“Bunda,” sebuah suara kecil menyadarkanku. Tangan mungil itu menyentuh bahuku. Lalu kulihat kecemasan dari bola matanya yang jernih dan hitam.

“Kenapa nangis? Bunda sakit?,” dia memiringkan kepalanya, memandangiku penuh rasa penasaran.

“Enggak sayang, bunda seneng dapet hadiah sepeda. Kamu lihat? Bagus, kan?”

Dia beralih dariku ke sepeda merah milikmu. Lalu mengangguk sambil tersenyum.

“Warnanya sama kayak sepedaku ya bunda, merah. Dari siapa?”

“Iya, sama kayak sepeda kamu. Ini dari temen bunda, nak.”

“Baik ya, aku juga mau dong dikasih sepeda. Bunda bilangin ya sama temen bunda supaya aku dikasih sepeda juga.”

Aku hanya bisa mengangguk sambil mencium pipinya yang lembut.

Alan, pergilah.

Bagimu sejak awal aku ini hanya tempat singgah. Bukan tempatmu kembali layaknya rumah. Terima kasih untuk sepedanya, Alan. Seperti maumu, dia akan jadi temanku setiap hari, membawaku ke tempat-tempat yang ingin aku datangi selain hatimu lagi. Aku hanya ingin air mataku mengering, agar aku tak perlu lagi terlihat menyedihkan karena dirundung pilu setelah sebuah kehilangan.

Kumohon Alan, apa pun tentang kita jangan pernah dilupakan. Walau bagaimanapun, aku dulu sempat bernaung di hatimu yang paling teduh. Meskipun hanya separuh. Walau bagaimanapun, aku pernah menjadi seseorang yang begitu mencintaimu lalu melahirkan anak-anak rindu yang kita pelihara satu persatu.

Aku mencintaimu, dalam rentang jarak.

Aku mencintaimu, dalam puluhan sajak.

Aku mencintaimu, dalam ulangan dekap.


Meisya Fitri, perempuan kelahiran Sukabumi 10 Mei 1988, adalah pecinta tulisan. Kegemarannya menulis sudah dimulai sejak di bangku sekolah dasar. Aktif menulis di tumblr dan mengikuti beberapa event lomba puisi, atau novel. Bisa di-follow instagram-nya @meisya fitri.

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.