Mereka Tak Butuh Dokter Gigi

Mereka Tak Butuh Dokter Gigi

Tak ada yang berbeda pagi itu, masih seperti ratusan pagi di belakang. Matahari terbit seperti biasa, menyeduh teh melati di beranda klinik seperti biasa, menyiram bunga di halaman seperti biasa, dan tak ada satu pun pasien datang ke klinik -setelah peresmiannya setahun lalu- masih seperti biasanya.

Ironi, penyambutanku sebagai dokter pertama di kampung Nira sangat meriah. Disambut tari-tarian, bahkan anak kepala kampung yang menggemaskan itu secara khusus mengalungkan karangan bunga padaku. Sejak aku turun dari ambulans, riuh tepuk tangan untukku tak berjeda, aku terharu luar biasa dengan penyambutan semeriah itu. Bahkan peresmian klinik gigi digelar lebih meriah. Seluruh suku di sekitar kampung pun turut hadir. Siswa, guru, pegawai negeri bolos hanya untuk datang ke peresmian klinik. Sampai-sampai, acara tersebut disiarkan langsung oleh radio lokal. Otak dari semua ini tentu kepala kampung yang ingin memberantas praktik perdukunan di kampung dan mendorong warganya berpikir logis.

Selama berpuluh tahun Lora menjabat sebagai kepala kampung, jika warganya sakit mereka lebih senang pergi ke dukun. Di Kampung Nira ada dukun beranak, dukun tulang dan dukun yang paling tenar yaitu Bagua, dukun gigi. Sebuah praktik yang sangat di luar nalar, Bagua mendapat ilmu menyembuhkan gigi dari mimpinya bertemu peri gigi. Ia pun tak perlu susah-susah memeriksa gigi mana yang sakit, hanya dengan perantara balok kayu dan palu, bagian balok yang menjadi perumpamaan rahang gigi lalu diketukkan ke bagian yang sakit. Seketika sakit gigi itu hilang! Bahkan tak perlu membuka tekak busuk pasien. Lora sangat membenci itu. Maka ia berinisiatif mendirikan klinik gigi di kampung Nira dan memohon bantuan dokter gigi dari kota. Dokter yang sangat beruntung memberantas klenik perdukunan gigi itu adalah drg. Theresia Tjitrabudi, aku.

Sering kali saat hendak berangkat tidur, aku berpikir mungkin warga kampung ini tak membutuhkan dokter gigi. Setahun lebih klinik ini dibuka, tapi tak satu pun pasien datang. Padahal gratis, tapi tetap saja nihil. Yang lebih menyedihkan, tempat praktik dukun gigi tepat di seberang klinik. Setiap hari ada saja orang-orang yang sakit gigi datang ke rumah Bagua tua yang giginya sendiri pun tak karuan penampakannya. Perawat dan ambulans yang tadinya disiagakan di klinikku, akhirnya dikembalikan ke Puskesmas kecamatan. Tinggallah aku sendiri di klinik bersama peralatan kedokteran gigiku yang belum pernah berguna untuk warga kampung Nira. Setiap hari kerjaku hanya menyapu klinik, menyiram bunga di halaman, menyeduh teh, membaca novel,  menunggu pasien dan menunggu pasien.

***

Ketua Lora sering kali mengingatkan warganya agar gigi busuk warganya sebaiknya dikonsultasikan kepada yang punya wewenang medis seperti dokter Theresia.

“Gigi kau Mus, yang sudah macam kena karat itu baiknya dicabut saja! Pergi ke klinik gigi dokter Theresia. Orangnya cantik, ruangannya bersih, gratis pula. Tak ada alasanmu untuk tak ke sana” ujar Ketua Lora. Mustamat yang sedang meringis sakit gigi itu tak acuh.

“Dicabut akan jauh lebih sakit, Ketua! Tak akan aku ke klinik, bagus aku ke rumah Bagua tua, tak perlu cabut, semua langsung beres!” jawabnya sambil menahan sakit.

Lain waktu Ketua Lora memaksa, mengancam atau mengiming-imingi.

“Kau kalau bersedia berobat ke klinik gigi, jabatanmu dari penjaga pintu air bisa naik jadi juru tulis kantor desa, Run! Aku yang jamin” katanya pada Toharun yang gerahamnya membuatnya susah makan, susah tidur berhari-hari. Toharun menggeleng tegas.

“Warga Kampung Nira yang sakit gigi dan tidak berobat ke klinik gigi maka akan dipersulit dalam segala urusan administrasi di kampung ini!” ancamnya di akhir pidato sambutan peresmian pompa air kampung. Warga memandangnya cemas.

“Ketua suruh aku ikut program KB, aku menurut. Ketua suruh aku membangun jamban untuk keluargaku, dengan senang hati kulaksanakan. Ketua suruh aku mandi 2 kali sehari, tak pernah kulanggar. Tapi Ketua menyuruhku cabut gigi di klinik, membuka mulutku di hadapan orang yang bukan mahramku, aku tak mau. Bukan mahram!” Beber Samsudin yang kesal disuruh cabut giginya yang berlubang parah di klinik gigi dokter Theresia. Aku menghela nafas mendengar keluhan Ketua Lora. Sampai begitu Ketua Lora mengajak warganya berobat ke klinik gigi. Tapi tetap nihil.

Aku memandang jauh ke luar jendela kaca klinik. Mungkin sebaiknya klinik ini ditutup. Warga Kampung Nira tak butuh dokter gigi.

***

Di halaman klinik yang luas, anak-anak kampung bermain karet, main petak umpet, main sepak bola, sementara aku hanya menonton sambil sesekali ikut tertawa. Anak-anak itu membuatku melupakan kesepianku di klinik, merehatkan kepalaku yang terus memikirkan cara menemukan Enlai, adik tiriku yang diculik delapan belas tahun silam, saat usianya baru empat tahun.

Aku yang sedang bermain di taman kota berdua dengan Enlai –saat itu ibuku sedang membeli gula-gula kapas- tiba-tiba seorang pria berbadan tinggi besar dengan tato naga di lehernya, seketika membopong Enlai dan berlari kabur. Sempat aku berlari mengejar Enlai, tapi pria itu sangat cepat, waktu itu aku baru tujuh tahun. Aku ketakutan dan menangis sejadi-jadinya di tengah taman. Orang-orang memperhatikanku, aku tak acuh. Beberapa menit kemudian ibuku tergopoh-gopoh menghampiriku dengan gula-gula kapas di tangannya. Ia terus menanyaiku apa yang terjadi dan di mana Enlai. Aku terus menangis dan menangis.

Setelah ayah tiriku mengetahui Enlai hilang, berminggu-minggu ia tak mau bicara denganku dan ibuku. Aku merasa jadi orang yang paling bersalah atas hilangnya Enlai. Maaf, kawan, aku jadi berpanjang cerita soal masa laluku.

***

Genap setahun klinik dibuka, atas usaha –usaha mohon disikapi dengan bijak- yang dilakukan oleh Ketua Lora akhirnya aku mendapatkan pasien pertamaku. Ia pria bertubuh tinggi besar mengerikan yang dua gerahamnya berlubang besar dan tiga hari lalu tak sengaja serpihan makanannya masuk ke lubang itu. Jadilah selama tiga hari ia menderita kesakitan luar biasa. Jika diizinkan sebenarnya ia pasti sudah lari ke dukun Bagua tua di seberang klinik, tapi abangnya, Ketua Lora mengancam akan membakar KTP-nya jika adiknya berani ke dukun.

Pria menyedihkan itu datang diantar Ketua Lora. Wajahnya pucat, pasti karena menderita tak bisa memakan apa pun selama tiga hari belakangan ini. Ia memakai jaket hitam yang krahnya menutupi leher.

Dengan perasaan terharu bercampur bahagia tiada tara, aku menerima pasien pertamaku. Aku hampir menitikkan air mata saking senangnya. Pria itu kupersilahkan masuk ruangan pemeriksaan. Aku mempersiapkan peralatanku dan selanjutnya mengerjakan geraham bermasalah itu. Tak ada kendala apa pun, kecuali pria itu terus mengerang kesakitan, urat-uratnya bertimbulan di pelipis dan leher yang tersingkap. Aku berdebar-debar, tapi semua beres dan selesai.

Mataku menangkap sesuatu yang aneh di lehernya. Antara tak ingin percaya dan terkejut atas yang kulihat, ada tato naga kecil di leher pria itu. Naga yang kulihat di leher penculik Enlai, belasan tahun silam. Samar-samar kuingat perawakan tubuhnya mirip penculik itu, tinggi besar. Juga wajahnya dengan rahang tegas. Marah dan dendam merasukiku. Mataku panas lantaran emosi memenuhi kepalaku.

“Di mana Enlai?! Di mana bocah laki-laki Tionghoa yang kau culik belasan tahun lalu?! Jawab atau kau kubunuh!!!” jeritku menyerangnya, mencekik lehernya. Tangannya yang besar berusaha menampik tanganku yang mencengkeram erat lehernya. Wajahku terasa mendidih.

Ia menjawab sambil tersedak-sedak terkejut. Ketua Lora berlari masuk ruang pemeriksaan mendengar teriakan-teriakan. Sontak ia berusaha membebaskan adiknya yang kucekik.

“Ada apa?!” tanyanya panik, menatapku tajam. Adiknya kini aman dalam lindungannya. Aku masih mengamuk.

Kemudian Ketua Lora yang tak tahu menahu apa yang terjadi antara aku dan adiknya segera menengahi kami. Ia membawa kami duduk di ruang tamu, mengambil air putih dan mulai mencari benang merah masalahku pada adiknya. Aku ditanyainya macam-macam pertanyaan, pun adiknya. Kami berdua diam, ia menunduk dalam, aku menatapnya berapi-api penuh benci. Tadi hampir saja kusobek lehernya dengan pisau. Ketua Lora menyerah setelah setengah jam menanyaiku dan tak mendapati benang merahnya. Aku angkat bicara.

“Ketika penculikan itu terjadi usiaku baru tujuh tahun dan sudah dapat mengingat baik kejadian itu. Orang yang tiba-tiba membawa kabur Enlai, adik tiriku, pria berbadan tinggi besar menyeramkan dengan tato naga di sisi kiri lehernya. Persis tato naga di leher Karmun. Dia memang terlihat jauh lebih tua, tapi aku masih ingat wajahnya, bentuk keras rahangnya, dan tato itu. Aku menderita sejak Enlai hilang. Ayah tiriku tak mau bicara berminggu-minggu denganku dan ibuku. Tiap ia punya masalah, aku-lah yang jadi pelampiasan amarahnya. Sehari-hari aku dipukuli dengan rotan, kepalaku pernah dilempari sepatu PDL-nya.” tuturku, pipiku basah. Pria itu mengangkat wajah.

“Pria itu memang aku. Aku dibayar oleh Nyonya Chen, yang tak lain adalah ibu kandung Enlai, untuk merampasnya dari mantan suaminya. Aku dan Syam menculik Enlai di taman, membawanya ke rumah Nyonya Chen, menerima bayaran lalu pergi. Tak tahu apa yang terjadi kepada Enlai setelah itu, yang kutahu Nyonya Chen malam itu juga pergi ke Singapura. Setelah itu aku tak tahu. Bukan urusanku” katanya datar.

“Chen keparat!” geramku. air mataku menganak sungai di pipi, deras meluap.

Rupanya Chen menculik Enlai karena ia tak diizinkan bertemu dengan putra semata wayangnya itu sejak mantan suaminya menikah dengan ibuku. Kutahu ia masih mencintai mantan suaminya dan tak pernah ikhlas jika suaminya menikah lagi, termasuk dengan ibuku, sepupu jauhnya sendiri. Akhirnya begitulah cerita bergulir. Chen merampas Enlai dan membawanya tinggal di Singapura, tetapi masih mengintai ayah tiriku.

Sebuah sepeda menikung ke halaman klinik, tergesa. Mustamat tergopoh panik ke dalam klinik, matanya mencariku. Soal kami tadi ter-jeda karena kedatangan Mustamat.

“Assalamu’alaykum, Ketua, dokter, bang Karmun” salamnya, terengah-engah. Setelah kupersilahkan duduk ia mengatakan maksud kedatangannya yang seperti menjemput dukun beranak, tergesa-gesa.

“Dokter, ada telepon di kantor kelurahan. Untuk dokter. Dari Jakarta!” katanya cemas. Aku terkejut. Dari Jakarta? Siapa? Mama? Ada apa? Tiba-tiba perasaanku memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi pada keluargaku di Jakarta.

Di kantor kelurahan, penelepon dari Jakarta itu ingin bicara denganku.

“Cici, pulanglah. Aku rindu” katanya di seberang telepon sana. Suara lelaki, aku tak kenal. Tapi ia memanggilku “cici”, pasti masih familiku.

“Cici tidak bisa pulang sekarang.” Jawabku berdebar-debar.

“Tidakkah Cici merindukanku? Tidakkah Cici ingin melihat ayah?”

“Cici, ayah meninggal” kalimat terakhirnya menyambarku. Ayah meninggal? Aku tertegun. Aku tak percaya jika ayah tiriku meninggal. Ayah kandungku sudah meninggal saat usiaku empat tahun dan aku benci kehilangan ayah lagi. Di sisi lain, aku takut itu tipuan. Aku tak tahu siapa penelepon itu. Lama aku mendiamkannya.

“Pulanglah Cici, Enlai rindu”

Enlai?! Bagaimana mungkin?!

Gagang telepon terlepas dari genggamanku, terjatuh lunglai. Hatiku bertambah ngilu. Aku tak mengerti perasaan apa yang melandaku. Kupikir pagi itu seperti pagiku biasanya. Tadi pagi aku menyeduh teh dan duduk di beranda, seperti biasa. Lalu aku menerima pasien pertamaku dengan suka cita. Drama berganti suasana saat kuketahui pasien itu ternyata penculik adik tiriku. Kemudian datang telepon dari Jakarta yang membuatku berdebar-debar. Aku langsung down saat kudengar ayah meninggal. Tiba-tiba, kini kutahu yang sedang bicara denganku adalah Enlai, adikku yang belasan tahun entah hidup entah mati di luar sana. Seember es seakan ditumpahkan ke kepalaku. Ulu hatiku juga semakin nyeri.

Enlai sudah seminggu di Jakarta karena ayah terkena serangan jantung dan terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Ia tinggal di Singapura bersama ibunya setelah penculikan dirinya belasan tahun lalu. Enlai mendapat kabar ayah sakit dari sepupu jauh ayah yang menelepon ibu Enlai. Enlai diizinkan menemui ayah di Jakarta selama beberapa hari. Namun, akhirnya ayah meninggal.

***

Hari itu juga aku pergi ke Jakarta. Warga kampung Nira berkumpul di muka klinik. Ada Ketua Lora, Karmun, dukun-dukun –termasuk Bagua tua- dan warga lainnya melepas kepergianku dengan muram. Seakan aku juga membawa pergi suka cita dari kampung Nira. Setahun aku mengabdi di sini hanya mendapat satu pasien, pun pasien itu akhirnya membuatku mengamuk. Aku akan merindukan menyeduh teh pagi di beranda dan memandangi bunga-bunga di halaman klinik, pun dengan Bagua tua, rivalku sepanjang masa abdiku.

Dan hari itu aku mencukupkan tugasku di kampung Nira. Kampung yang sebetulnya tak butuh dokter gigi. Bus tumpangan membawaku pergi, melenyapkanku ke Jakarta dengan dua titik air mata di ujung mataku.

 

*cerita ini kupersembahkan untuk kakak perempuanku, Duma Hardiana Manurung.


Penulis bernama Amalia Aris Saraswati. Lahir di Banyumas, Jawa Tengah, pada 24 November 1997. Meminati cerpen dan puisi sejak kanak-kanak tetapi baru aktif menulis sejak SMP. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA di Jawa, sekarang penulis masih berstatus mahasiswa di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian, Universitas Andalas.

Penulis bisa dihubungi melalui email (amaliarizky0924@gmail.com) atau melalui line (ID: withoutnovember), FB: Amalia Aris Saraswati dan nomor telepon 081270864957.

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.