Kedengkian dan Penyesalan

Kedengkian dan Penyesalan

“TIDAK!!”

“IBU!!!!” Teriakku histeris.

Aku berlari mendekatinya, tanpa peduli duri semak belukar ini melukaiku. Tanganku menyentuh wajah putih ibuku. Menggoyangkan tubuhnya yang tergeletak sembarang di tanah. Napasku tersenggal, ku genggam erat kain yang terbalut di tubuhnya. Aku berteriak kalap menatap rembulan yang telah sempurna muncul di tengah langit malam. Mataku menatap perut ibuku yang terkoyak habis, darah berceceran dimana-mana. Orang-orang tergeletak, mengalir darah dari beberapa tumpukan orang-orang yang tewas.

Suara endusan hewan liar itu kembali terdengar. Mataku menatap ke arah sumber suara itu terdengar. Terlalu gelap, aku tidak dapat melihat sosok yang mungkin akan datang. Cahaya rembulan itu masih kalah oleh gelapnya malam. Tubuhku sedikit mundur dari samping mayat ibuku. Napasku tercekat ketika sepasang bola mata merah bersinar di ujung kegelapan di sana. Jelas dia menatap ke arahku. Suara gemersik ranting dan daun terdengar begitu dekat. Itu berarti dia mengurangi jarak di antara kami. Aku memundurkan tubuhku beberapa langkah kebelakang bersamaan dengan itu suara gemersik daun dan ranting tidak terdengar lagi, menghilang begitu saja.

Seketika aku mematung menatap sosok hewan mengerikan di hadapanku. Aku menahan napasku ketika cahaya rembulan berhasil menyentuh tubuh hewan itu, memperjelas setiap inci kengerian di tubuhnya. Jelas itu bukan serigala atau harimau. Hewan itu sangat besar, mungkin kombinasi dari keduanya. Tingginya sekitar 1,6 meter. Taringnya begitu tajam dan menusuk, itu adalah taring yang telah mengoyak ibuku. Penuh dengan cipratan darah di taring dan bulu hewan itu. Dia mulai mengendus mendekatiku, kurasakan mata merah itu semakin tajam. Dia siap menikamku kapan saja.

Aku tidak bisa bergerak sama sekali. Hewan itu semakin dekat. Kutukan kematian desaku itu ternyata bukan sebuah tahkyul yang hanya beredar begitu saja. Kini aku menatap dengan kedua bola mataku sendiri hewan kutukan itu. Aku percaya semuanya, walaupun terlambat. Ku pejamkan mataku. Mungkin lebih baik aku menyusul orang tuaku.

“Desika” sayup-sayup suara lirih memanggil namaku. Aku membuka mataku, ketika otakku menerjemahkan dan menemukan ingatan tentang pemilik suara itu.

“Paman” dia menatapku, lengan kirinya terluka.

“Kemana hewan mengerikan itu?” Mataku mengedar kesekeliling pepohonan, mencari sosok hewan itu. Namun, tetap tidak ada.

“Desika dengarkan aku, kau harus ikut paman.” Ucapnya.

“Sebentar paman, jangan berisik hewan itu bisa kembali lagi.” Aku tetap menatap sekelilingku was-was. Aku takut jika hewan itu tiba-tiba muncul dan menikam kami.

“Desika, hewan itu tidak akan menyakitimu.” Aku menatapnya.

“Kenapa? Me-” Sebuah benda keras menghantam punggungku. Pandanganku kabur, aku tidak bisa melihat dengan jelas. Kurasakan tubuhku terjatuh dan menyentuh tanah. Gelap setelah itu, aku tidak mengingatnya lagi.

Kubuka mataku paksa, terperanjat duduk. Mataku menatap cahaya yang masuk lewat celah jendela. Keringat mengalir di pelipisku. Tanganku menepuk-nepuk dadaku. Itu kejadian tujuh tahun lalu, hampir setiap malam kejadian itu selalu hadir di tengah mimpi kosongku. Air mataku jatuh menetes membuat sebuah bulatan basah di selimut yang membalut tubuhku. Suara ketukan pintu terdengar.

“Masuklah, aku sudah bangun.” Ucapku seraya menyeka pipiku.

Seorang wanita berusia 40an membuka pintu kamar, mendekat ke arah kelambu ranjangku. Dia berdiri disamping ranjangku, setelan hitam dan biru terbalut di tubuhnya. Setelan khas seorang pelayan Istana.

“Pangeran ingin menemui anda Putri Desika.” Ucapnya seraya menundukan kepalanya.

“Aku akan pergi mandi lebih dulu.” Ucapku.

Pelayan itu setengah membungkuk lalu beranjak pergi meninggalkan kamar.

***

Seorang pria bertubuh tinggi berbalut jas putihnya tersenyum ke arahku. Aku berjalan mendekat ke arahnya bersama dua pelayan istana yang mengekoriku. Sedikit ku angkat gaunku untuk mengurangi kesulitan langkahku.

“Kenapa Pangeran Julian menunggu di sini? Sebaiknya kita ke dalam.” Ucapku seraya menatapnya.

“Tidak aku lebih suka di sini dibanding istana yang membosankan.” Dia menatapku.

Secarik kilatan emas muncul di matanya. Kilatan emas itu hanya dimiliki oleh bangsawan di kaum ini. Kaum yang terkutuk. Kaum yang diramalkan sebagai kutukan desaku dan membunuh semua orang. Ya, pria dihadapanku ini adalah pemimpin hewan-hewan itu. Selama tujuh tahun aku harus terjebak menjadi permai surinya di kerajaan yang telah membunuh semua keluargaku. Termasuk pamanku, seorang pengkhianat yang telah membunuh kedua orang tuaku dengan kedua tangannya sendiri.

Tapi semuanya akan berakhir hari ini. Hari yang ku tunggu selama tujuh tahun terjebak bersama hewan-hewan mengerikan ini. Di hari ulang tahunku ke-22, aku akan membalaskan semua masa laluku yang telah menyiksaku tanpa ampun. Akan kupastikan mereka menerimanya.

Dia memegang tanganku, mendekatkannya ke bibirnya lalu mengecup punggung tanganku. Aku menatapnya, dia tampan tapi sayangnya itu tidak cukup untuk membayar semua luka masa laluku. Kulepas genggaman tangannya lalu mengambil mangkuk di nampan salah seorang pelayan. Semangkuk cairan herbal yang telah ku campurkan dengan darah rusa.

“Sebelum kita pergi, jangan lupa meminun obatnya.” Aku tersenyum seraya memberikan mangkuk itu. Dia mengambil mangkuk itu lalu meneguk cairan herbal bersama darah rusa itu. Darah yang akan melemahkan hewan-hewan itu. Aku menatap mangkuk kosong yang diberikannya kepada pelayan. Sebuah senyuman tergores di bibirku, aku tidak dapat menahan kesenangan yang kurasakan. Hanya tinggal satu langkah lagi aku bisa membalaskan semuanya.

“Kami akan pergi berdua, kalian boleh pergi.” Ucapnya kepada kedua pelayan dan prajurit yang selalu menemaninya. Mereka setengah membungkuk lalu meninggalkan kami.

“Kita akan kemana?” Tanyaku, ketika dia menggenggam tanganku dan berjalan.

“Kudengar ada sebuah bunga yang langka telah tumbuh di hutan dan itu sangat indah.”

“Akan kupetikan itu untuk salah satu hadiah ulang tahunmu.” Dia tersenyum manis ke arahku.

***

Kini hanya pepohonan yang ada di sekelilingku. Kami masih terus berjalan bersisian. Entah dimana bunga yang dia maksud itu. Langkahku terhenti ketika dia melangkah ke tempat yang tidak akan pernah kulupa. Tempat semua hewan-hewan itu membantai dan mengoyak habis semua penduduk desaku.

“Ini, akhirnya kita menemukannya.” Dia menoleh ke arahku ketika bunga yang dia maksud ada di hadapannya. Dia memetikannya untukku lalu memberikannya kepadaku. Menggenggam erat kedua tanganku.

“Aku mencintaimu.” Kalimat itu terlontar. Meskipun seribu kali dia telah mengatakannya, hatiku tetap kokoh dengan kedengkianku.

“Aku juga.” Aku tersenyum palsu. Dia menatapku lamat.

Suara gemersik ranting berhasil mengalihkan pandangannya dariku. Kilatan emasnya muncul kembali di matanya, ketika lensanya mengedar. Dia melangkah waspada. Menyembunyikan tubuhku di belakang tubuh tingginya.

“Tetap disana.” Ucapnya seraya melangkah maju.

“Ada apa?” Tanyaku, dia mengabaikanku.

Aku hanya dapat mendengarkan suara gemersik itu saja. Penglihatanku tidak setajam hewan-hewan itu. Dua menit dia menatap sekeliling. Tepat di detik terakhir seekor hewan berbulu hitam pekat melompat ke arahku. Merobek lengan gaunku dan menggores kulitku. Hewan itu sangat besar di banding tubuhku. Hewan itu mengendus, taringnya mengkilat tertimpa cahaya. Tubuhku gemetar.

Pangeran Julian membanting hewan itu menjauh dariku. Mereka bersitatap. Kilatan emas di matanya menghilang digantikan warna hitam pekat. Aku hanya terduduk ketakutan menatap mereka.

“Bukankah kau dari kerajaan selatan?” Pangeran Julian berkata tanpa melepaskan pandangannya dari hewan itu. Hewan semakin beringas seolah tidak terima identitasnya terbongkar, bukan malah berubah ke wujud manusianya, hewan itu menyerang Pangeran, menggigit lengannya. Julian berhasil menangkis serangan hewan itu dengan insting hewannya, walaupun kini lengannya terluka.

Mataku menatap ngeri hewan itu yang berontak ketika Julian menyerang dan menikamnya. Aku memejamkan mataku, cukup bagiku melihat kematian orang-orang, aku tidak mau melihatnya lagi. Biarkan kematian Julian nanti penutup terakhir yang aku lihat. Kueratkan genggamanku di lengan kiriku yang terluka. Perkelahian itu berakhir dengan suara dentumman yang keras. Kubuka mataku kembali. Sangat berantakan, hewan itu tersungkur tak bergerak di bawah sebuah pohon. Julian tersenyum seraya melangkah ke arahku dengan darah di lengannya.

Aku menatapnya datar. Kupikir ini saatnya. Tanganku mengenggam erat belati yang telah ku siapkan. Aku berdiri dari dudukku lalu berlari seolah menghambur kepelukannya. Kupercepat langkahku lalu memeluknya seraya menusukkan belati itu sekuat tenaga. Belati itu berhasil menancap tepat di jantungnya, salah satu kelemahan hewan-hewan itu. Dia terdiam. Aku hendak melepaskan pelukanku karena tujuanku sudah tercapai. Belum sempat aku menjauhkan tubuhku darinya dia telah menarikku kembali kepelukkannya. Mengusap rambutku dengan lembut, lalu mengecup puncak kepalaku.

“Akhirnya kau bisa membalaskannya Desika.” Ucapnya lirih lalu terjatuh ke tanah. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Dia terdiam kembali mencoba berdiri lagi.

“Aku tahu” Dia sedikit meringis menahan belati yang kini telah sempurna menancap di jantungnya.

“Aku membencimu dan kaummu!” Ucapku penuh kedengkian. Dia tersenyum membuatku bingung.

“Aku tahu Desika”

“Aku tahu semuanya, aku tahu kau selalu mencampurkan darah rusa ke obatku, aku tahu kau tersiksa karena masa lalu mu yang kuperbuat, aku tahu tentang rencanamu, aku tahu kau sangat ingin membunuhku ketika aku menyentuhmu, aku juga tahu kepalsuan perkataanmu”

“Untuk itulah aku membawamu ke hutan, membantu keberhasilan rencanamu. Lebih baik aku mati di sini agar kau tidak menjadi buronan kaumku.” Dia memegang jantungnya.

“Apa maksudmu?” Aku menatapnya nanar.

“Maafkan aku Desika.”

“Maafkan aku yang telah membuat seluruh desa itu tewas termasuk orang tuamu dan lebih parahnya lagi maafkan aku yang mencintaimu dan menjadikanmu tersiksa karena harus menjadi permaisuri orang yang telah menaburkan garam di luka masa lalumu”

“Aku bahagia rencanamu berhasil”

“Kupersembahkan kematianku sebagai salah satu kado yang telah kurencanakan untukmu, karena aku tahu itu yang paling membuatmu bahagia”

“Selamat ulang tahun Desika, aku mencintaimu.” Dia ambruk kepelukanku.

Itu kalimat terakhir yang dilontarkannya. Semua yang dilontarkannya membuatku membisu. Aku terduduk seraya memeluk Julian. Sangat sesak, ada apa dengan aku? Kalimat itu tercerna dengan baik oleh otakku. Meluluhkan semua kedengkian dan kebencian yang ada pada diriku. Air mataku mengalir deras ketika menyadari bahwa dialah orang yang paling tersiksa bukan aku. Dia selalu mendukungku walaupun dia tahu aku membencinya. Dia juga tersenyum saat meminum ramuan itu walaupun dia tahu bahwa hari ini dia akan mati di tanganku.

“Bangun Julian, maafkan aku!” Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tangisku pecah tidak terbendung lagi.

“Aku mencintaimu Julian.” Tanganku mengenggam erat tangannya. Mentautkan jemarinya.

Sangat sakit, kali ini bukan kepalsuan Julian. Aku benar-benar mencintaimu. Aku mengutuk diriku sendiri.  Terlambat sudah, semuanya terlambat karena kedengkianku. Kedengkian itu membatukan hatiku.

“Aku mohon bangun Julian!”


Alfiah Sundara, anak kedua dari 3 bersaudara ini lahir di Tasikmalaya 06 Februari 2000. Menulis adalah salah satu hobinya sejak umurnya 13 tahun. Berstatus sebagai pelajar di SMAN 2 Tasikmalaya. Dia bergolongan darah A dengan rhesus positif.

Facebook : Alfiah Sundara

Blog : Alfiahsndr

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.