IBU- Sehimpunan Puisi Maulidan Rahman Siregar

IBU- Sehimpunan Puisi Maulidan Rahman Siregar


IBU (1)

Belalang tempur itu menampar kepala anaknya. anak kemarin petang yang terpaksa lahir, anak yang sejak kemarin pagi dipaksa menempuh kerasnya kehidupan padang savanna, hingga tak mau untuk sarapan pagi dan sakit perutnya.

Anak belalang tempur itu dibiarkan tersesat oleh Ibunya, dipaksa mencari daun kering paling vitamin, menjauhlah bila pemburu menggodamu, kau bisa digoreng, Nak.
“Hidup ini keras, Nak! Gebuklah. Jangan sampai bodoh, jangan tidak bisa membaca, ada banyak cerita yang harusnya kau kunyah-kunyah.”

Esok hari, si anak yang ditampar kepalanya; berterima kasih pada Ibunya, melarikan diri, dan memilih sendiri dengan Tuhan. Ibunya menganggap ia durhaka, dan menampar kepalanya sendiri.

Nak, sekarang minumlah susumu, dan tidurlah
bukankah kau lebih suka kupu-kupu?

Pariaman, 2014


IBU (2)

dongeng ibu adalah puisi
kepada malam, ceritanya dikisahkan:
“pesawat berbadan awan
membawa kupu-kupu dalam gelap
belalang, ibu peri dan pohon-pohon
bertukar makanan dan minuman.”

anak bayi, boleh meminta surga
kata ibu
sambil menyeka air matanya

Ketaping, 8 Februari 2016


IBU (3)

Ibu, kau kah cerpen itu?
cerita tentang kepulangan melulu
cerita sesempit lemak tubuh dalam
yang berontak, yang menggigil
tuntaskan kelaparan.

suara-suara dari balik nadir kehidupan
memanggil ruh ke badan, teriakkan
lagi soal cinta, cinta melulu

kematian, dan kemiskinan di beranda
pengagguran buta cahaya, miskin aksara
tapi kau tak hirau, kau diam
lebih baik ke mushala, berdoa selalu berdoa
meminta apa saja.

Odop, 2016


IBU (4)

pada kakimu
yang diisukan sorga
kudapat cinta, yang tak ‘ku dapat di kaki ayah,
ayam dan lainnya

pada rahimmu,
yang ayah mana punya
kudapat Tuhan dan Agama, pertanda makhluk

pada bibirmu
yang Ayah pasti mau
kudapat petuah manfaat syarat makna, peneman luka

pada jilbabmu
yang Ayah sering beli
kudapat tatacara memilih isteri, penikmat hidup

pada doamu
yang Ayah juga kadang
kudapat bahagia, pelengkap cinta

Pariaman, 25 Januari 02: 24 wib


IBU (5)

dia seperti hujan
menangis dengan awan
dia juga mentari
terang setiap hari
dia bulan cantik
kilaunya menarik
dia bintang jauh
selalu didamba jatuh

dia hijau bumi
; alam elok bagi negeri
dia bidadari
terpeleset turun ke bumi

dia, Ibu.

Pariaman, 2014


IBU (6)

Yang Maha Kuasa adalah Tuhan
Yang membuatku terlahir dari rahimmu
Yang mewajibkan aku harus taat, patuh, tunduk, dan menyenangkanmu

Yang mengajariku segala rasa
Yang menjadikanmu sebagai satu-satunya wanita
Yang kusebut Ibu
Yang dengan telapak kakimu saja sudah dapat lihat surga
Yang dengan semua takdir itu saja membuat kukenal bahagia

2013


IBU (7)

di ketiakmu, Bu
kudapati bau paling surga,
alasan terbaik untukku mempertaruhkan
nyawa; bila harimu bertukar sejarah
menjadi hari Ayah

di jemarimu, Bu
kudapati doa tengadah, mengajariku
menuntaskan gelisah, menuntunku
dalam memaknai resah

ampun bermilyar ampun, Bu
di kakimu, yang kudapati hanya kulit
pecah-pecah,mungkin karena terlalu
letih melangkah, cari uang untukku kuliah

Terima Kasih, Bu
sudah meminjamkan rahimmu dulu
padaku

Februari 2014


IBU (8)

dia, bulan yang menggendongku dalam tangis
bintang yang memapahku dalam doa
mentari yang menyilaukanku dalam kalimat khawatir

dia, dalam sembilan bulan tak pernah keluh
dalam 2 tahun tak sempat letih
membawaku ke mana-mana, dalam doa-doa syahdu sepanjang masa

dia dan senyumnya
adalah alasan kenapa sorga masih di rumah

Pariaman, 3 Februari 2014


IBU (9)

Ketahuilah wahai penggorengan, aku menyebutnya Ibu
; bawang putih wangi dalam tumisan, makanan lezat dalam hidangan

Ketahulah wahai minyak tanah, aku menyebutnya Ibu
; air sirup di tengah lautan, tengadah doa dalam kehidupan

Ketahuilah wahai api, aku menyebutnya Ibu
; cuka masam saat marah, saat ia benar-benar resah

Aku menyebutnya, Ibu
Lengkapnya; Ibuku

Pariaman, 17/3/2014


IBU (10)

Bu, aku ke langit.
meminjam awan pada Tuhan
untukmu berteduh resah
memesan hujan pada Mikail
untukmu berlindung gelisah
kau mau kubungkus langit ketujuh, Ibu?

17/02/2014


IBU (11)

langit terbalik, tak sanggup menahan cahanya yang amat kilau, ia terjatuh. langit tunduk, terpaksa mengalah, pasrah atas jatuhnya.

suara perempuan langit itu, merdu tiada sendu. pekik nyaringnya mampu benamkan segala angkuh isi bumi, doa-doanya adalah dosa dan kejahatan yang jauh, ia pemilik senyum mentari dan terang bulan.

perempuan berwajah cahaya itu mengeram kasih yang banyak, sayangnya adalah teduh paling syahdu, ia bernadi Tuhan berjantung Muhammad.
kepada perempuan langit itu, segala tunduk dan patuh.

dengan perempuan langit itu, rumah sederhana menjelma surga.
Indonesia, rasanya.

Pariaman, 2014


IBU (12)

Bu, tentang setitik Titik yang dititip Ayah di rahimmu dulu, kini telah tumbuh bersemai kasih, cinta, dan harapan yang tak kunjung usai; berwujud taat dalam seperangkat syahwat seberat 87 kg.

berteriak “hore” lah, Bu!. pekikkan dengan keras hingga seluruh isi bumi langit mendengarmu, dan membalasmu dalam senyum
iya, Bu. aku kembali.
kini, surga telah rebah di pangkuanmu

Pariaman, 27/2/2014


IBU (13)

Ibu, aku mulai menyukai dangdut house music
dengannya, perempuan-perempuan terbang
memilih langit, gua-gua berhantu, dan angin ribut untuk dibuatnya sarang.

Ibu, seperti sajak ini
aku, bergoyang setengah gamang
pada pagi hingga petang
di hari-hari yang selalu berulang

doa jadi dendang
disimpan takut, dibuang sayang.

Padang, Januari 2015


Maulidan Rahman Siregar, lahir 03 Februari 1991. Puisi-puisinya tersiar di berbagai koran daerah; Duta Masyarakat, Singgalang, Haluan, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, DinamikaNews, MataBanua, MetroRiau, Koran Pantura, Tanjungpinang Pos, dan Sumut Post. Menetap dan bekerja di Padangpariaman.

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.