Kita Sedang Bermimpi
Kita sedang bermimpi,
mengelilingi sebuah kota dengan lampu gemerlapan dan jalanan yang sepi. Hanya ada kau dan aku. Hanya ada kita. Tanpa kendaraan, kita berlarian ke sana ke mari, memasuki satu toko ke toko berikutnya tanpa sungkan. Mengambil beberapa pakaian bagus, mencobanya, dan kembali ke luar untuk mengambil beberapa barang lainnya. Kita masuk ke sebuah restoran dan makan sesukanya. Kita makan dengan sangat lahap, tanpa terasa perut kita sudah semakin membesar karena terlalu banyak makan. Kau tertawa begitu lebarnya hingga seakan kau menutup mata.
Lalu aku terbangun dan sadar. Kudapati dirimu ada di sampingku, masih terlelap pulas. Kusibak rambut tipis di pipimu, dan spontan aku mencubit pipimu dengan lembut itu karena gemas. Lalu kukecup keningmu sepelan mungkin agar kau tak terbangun.
Kita sedang bermimpi,
duduk berdua di sebuah bangku taman kota. Kau mengangkat kakimu dan menaruhnya di atas pahaku, serta lenganmu yang melingkari leherku. Kita berdua saling membalas senyuman tanpa berkata apa-apa. Lalu kau menarik kepalaku, membuat bibir kita bertemu, sedikit kasar, namun tak apa. Kau masih menciumku, tak peduli pandangan sinis orang yang lewat di depan kami. Bahkan seorang pria paruh baya memaki kita berdua, mengatakan bahwa generasi kita adalah generasi yang terburuk. Rupanya mereka lupa siapa yang membesarkan generasi sekarang. Kita masih berciuman, mesra, panas.
Lalu aku terbangun dan sadar. Aku tertidur di sofa, sementara kau di atas ranjang. Entah berapa jam lamanya aku tidur, namun rasanya baru semenit yang lalu aku mencium keningmu sebelum aku beranjak ke sofa ini dan tertidur. Kulihat jam di tembok, oh, sudah sepertiga malam rupanya.
Kita sedang bermimpi,
kita saling berpelukan, sangat erat. Aku sudah siap pergi dengan tasku, dan sebuah kereta yang menungguku. Kau menangis, mengatakan bahwa kau tidak siap dengan kepergianku yang mendadak. Aku berusaha menenangkanmu bahwa aku akan baik-baik saja. Kau akan baik-baik saja. Aku akan pulang secepat mungkin. Aku akan menemuimu sesering mungkin jika aku ada kesempatan. Kau berpesan agar aku menjaga hati, menjaga perasaanmu. Aku berjanji akan melakukannya, aku mengatakan demikian agar kau tak khawatir. Percaya saja padaku. Aku mengambil tas dan berjalan dengan pelan menuju kereta. Kau masih menggenggam erat tanganku, seakan tak akan ada lagi hari esok untuk kita. Aku melepas genggamanmu, dengan enggan, dengan berat hati, dengan air mata yang sudah hampir jatuh. Aku menahan air mataku. Sungguh, aku pun tak ingin pergi.
Lalu aku terbangun dan sadar. Matamu masih saja tertutup. Aku rasa kau betah tidur. Ruangan ini dipenuhi oleh keheningan semu, aku merasa sendiri meskipun kau berada di ranjang. Kau masih pulas terlelap, sama sekali tak bergerak. Wajahmu pucat pasi, bibirmu kering. Ingin kukecup bibir itu agar kembali basah dan merah seperti biasanya.
Kita sedang bermimpi,
untuk merayakan kepulanganku, kita sepakat untuk menghabiskan waktu ke luar kota. Dengan mobil yang kita sewa, kita menjauh dari keramaian dan hiruk pikuk metropolis. Kau berkata ingin melihat pantai dan merasakan deburan ombak yang menerjang pesisir pantai. Hembusan angin yang kencang menjadi candu bagimu ketika kita duduk berdua di atas sebuah batu besar memandang matahari yang mulai terbenam. Kau mencintai senja, seperti kau mencintaiku. Dalam perjalanan pulang, kau tertidur pulas. Raut wajahmu menunjukkan kelelahan, namun tetap memancarkan aura kecantikan. Kau tersenyum dalam tidurmu, bahkan menyebut namaku berulang kali. Aku tak bisa menahan air mata haru yang jatuh di pipiku. Keesokan harinya aku akan kembali pergi, untuk itu, aku menatap wajahmu lama-lama. Ingin kupuaskan kerinduan ini sebelum pergi. Aku bahkan tak menyadari lampu yang semakin mendekat di depan. Hal terakhir yang kudengar adalah suara benda keras yang saling bertabrakan.
Lalu aku terbangun. Kepalaku terasa sangat sakit dan mataku terasa berat. Aku terlalu sering tidur. Aku mengingat kembali mimpi-mimpiku dan merasa ada keganjilan. Itu tidak terlihat seperti sebuah mimpi. Aku tak mungkin mengingat mimpi secara keseluruhan dan mengulangnya seperti sebuah rekaman video. Tidak, mimpi tidak semudah itu untuk diingat. Mimpi-mimpi itu terlihat seperti memori.
Kita sedang tidak bermimpi. Bukan, bukan kita. Namun hanya aku. Aku tidak sedang bermimpi. Aku hanya merekonstruksi kenangan-kenangan kita berdua sebelum hari itu tiba. Mengingat ulang momen-momen indah sebelum kecelakaan naas itu terjadi pada kita. Kenangan kebersamaan kita selama ini sebelum aku terbangun di sebuah ruangan yang serba putih, denganmu berada di sampingku. Kita berlumuran darah.
Lalu aku ingat dan sadar. Kau masih tidur, jika boleh aku menyebutnya demikian. Tidak, kau belum mati. Kau hanya tertidur secara paksa. Alam bawah sadarmu yang berkehendak demikian. Selang infus masih terpasang di tubuhmu, dan bunyi “bip” alat pendeteksi jantung juga berfungsi. Alat itu masih menunjukkan grafik naik turun. Kau belum mati.
Aku penasaran, apakah di tidurmu kau juga mengalami hal yang sama sepertiku? Kita sedang mengenang masa-masa indah, bukan?
Lalu kapan kau akan bangun?
Kapan kau akan bangun dari keadaan koma ini?
Kita sedang bermimpi,
berdiri berhadapan di sebuah rumah peribadatan di satu kota. Kau membawa karangan bunga dengan gaun putih yang indah, kau tampak begitu cantik. Aku mengenakan setelan jas hitam yang kekecilan, dadaku terasa sesak. Kau melempar sebuah tawa kecil, tidak ingin merusak momen sakral ini. Kita saling menatap penuh cinta, dengan banyak orang yang melihat kita. Mereka bersorak, bertepuk tangan dengan riuh, ikut merasa gembira atas momen kita berdua. Kemudian, dengan pelan dan lembut, aku menciummu, dengan air mata, dengan penuh doa-doa.
Lalu aku sadar mimpi yang satu ini bukan memori. Ini benar-benar mimpi. Mimpi kita berdua. Kapan kau akan bangun untuk memenuhi mimpi kita yang satu ini?
Bill Alexander adalah mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang. Lahir di Surabaya pada tahun 1994, mahasiswa yang hobi menulis sejak SMP ini sempat mengenyam pendidikan di pondok pesantren di Gresik selama tiga setengah tahun. Ketertarikannya pada bahasa dan karya fiktif sangat kontras dengan jurusan yang diambilnya di bangku kuliah ketika harus berhadapan dengan lika-liku politik dan karya non-fiktif. Pernah mengambil kursus Bahasa Inggris di tiga tempat dan waktu yang berbeda, kini penulis sedang fokus untuk mempelajari Bahasa Jerman di Malang, walau hanya sekedar untuk memenuhi tugas kuliah. Penulis sempat berhasil menerbitkan dua cerpennya di majalah sekolah SMA dengan judul Perubahan untuk Negeri dan Buku Saku Agni untuk majalah digital BEWARE! Edisi kedua pada November 2014 , dan memiliki keinginan untuk menulis novel epik fiktif yang memang sudah menjadi genre favoritnya selain misteri. Penggemar serial Game of Thrones ini bisa dihubungi melalui:
Twitter: @_billalexander_
Instagram: @gtfobilly