Puisi-puisi Ananda Aprilia

Puisi-puisi Ananda Aprilia

PEREMPUAN

Perempuan penuh kepalsuan
Sebersit senyumnya merujuk kepura-puraan
Tawa yang berderai adalah bahagia yang dipaksakan
Tak ada yang paham
Bahwa bungkamnya adalah ribuan kata yang tak mampu diungkapkan
Bahwa bahagianya adalah luka yang diendap-endapkan

Perempuan penuh kepalsuan
Mencintai tanpa pernah mau mengakui
Berulang katakan benci
Namun masih berarti di dalam hati
Berkali-kali ingkar sendiri
Tapi rindu tak jua melesak pergi

Perempuan penuh kepalsuan
Hanya berani menatap dari kejauhan
Sering kali katakan melupakan
Namun masih mengulang-ulang kenangan
Berkali-kali harapannya dipupuskan
Tapi tak mampu untuk melepaskan

Sekali lagi kutekankan bahwa perempuan cermin kepalsuan
Air matanya sesak tapi tak mau tumpah
Bibir tersenyum cerah
Namun hatinya bersimbah darah

Jakarta, Februari 2017.


RANTING

Pada persimpangan jalan di mana pusat kota dan kata dipadukan
Tertangkap olehku pokok pohon yang kesepian
Tak ada daun, hanya ranting masih bertahan
Seperti harap yang dihalang oleh pahit kenyataan
Bersitatap aku dengan puluhan mereka
Mereka sama kuat, sama menggetarkan
Namun—hatiku jatuh hanya pada salah satunya
Ranting terindah yang membuatku terpana
Dan angin—membawa ranting itu padaku
Rantingku, aku memilihmu

Aroma tanah basah memeluk kekosongan yang fana ciptakan
Semesta jatuh hati, dan angin merasa ingin memiliki
Tak pelak keindahanmu berhasil meluruhkan
Hingga getar itu kembali—tak ingin berhenti lagi
Barangkali embun akan tetap jatuh cinta pada daunnya
Namun rantingku, aku mencintaimu

Rantingku, aku ingin kamu
Seperti akar menginginkan air untuk terus hidup
Seperti daun menginginkan cahaya agar tetap bernapas
Seperti tumbuhan menginginkan matahari dan hujan untuk satu kesempurnaan

Tetes air langit turut membasahi kita
Semakin banyak, semakin sulit pula aku menggenggammu
Deras dinginmu menjejakkan duka
Hujan menyapu-lenyapkan anganku begitu saja
Tak bisa kubedakan mana air mataku dan mana air semesta
Air hujan dan air mataku sama derasnya
Air hujan dan sembilu dirimu sama dinginnya
Kamu ingin terbang dan hilang bersama angin
Dan angin—membawa dirimu pada genggaman orang lain
Maka rantingku, aku melepasmu

Jakarta, November 2016.


MUARA KATA

Sempat aku berkata tapi tak mengerti apa-apa
Pernah aku merangkai tapi tak jumpa kata-kata
Pada bisumu, seluruh jawabanku bermuara
Tanpamu aku hanya kepala tanpa rencana
Telanjang tanpa kata-kata
Lupa akan perjalanan dan tak urung menjumpa ujung
Penghujung seluruh kata
Adalah sastra

Engkau adalah bentangan kata yang menjamah sebuah makna
Menghadirkan bahasa, mengecup rangkaian yang menyapu duka
Kudapati ke mana perjalanan dan tujuanku mengarah
Adalah sastra, rumah tempat jiwaku merebah

Sastraku jiwaku
Tidak berpendar, kita menyatu
Menerobos khayal demi memaknai sebaris kata
Menghidupkan fana dan menguatkan yang nyata
Jiwa dari goresan penaku berpulang
Adalah sastra, yang menjembatani ilusi dan menjadikannya sebuah karya

Bersama engkau kuhidupkan sebuah cerita
Melawan rasa takut tanpa perlu surut
Bangkit dari ilusi tapi tak memilih pergi
Aku terkunci,
Di satu jiwa yang membuatku memiliki mimpi
Melampaui gerbang di mana goresanku menjumpa
Gerbang tak berujung sebuah bahasa
Adalah sastra, muara dari segala kata

Jakarta, November 2015.


KELIRU

Bagaimana mungkin aku keliru,
Sementara kau uap yang membekas di jendela kereta api dan tidak kusapu
Kau perjalanan panjang hendak ku tuju di antara roda kereta yang tak melaju
Kau dingin yang berhasil meremukkan tulang-tulangku
Kau riuh tengah malam dan gemerisik air kala pagi
Kau jeda antar kota yang menahanku bangkit untuk pergi
Lalu sesaat kereta peraduanku berhenti,
Masih kulihat dirimu menjelma persinggahan kereta api
Kau imigran gelap yang mati-matian membunuh sepi
Dan aku terlanjur jatuh hati

Bagaimana mungkin aku keliru,
Ketika matamu menatapku dan pada detik itu aku terpaku
Ketika bibirmu mengulas senyum lalu saat itu aku membisu
Ketika genggam tanganmu meraih jemariku sesaat aku membeku
Sebuah enigma menamai dirinya sebagai rindu
Dan aku sudah mencintaimu tanpa pernah seorang pun tahu

Mungkin benar, aku memang keliru
Kulihat seorang perempuan menyusup di baris-baris puisi lama lalu mengamit lenganmu
Kau rengkuh bahunya dan tidak putus memandangi bibirnya tanpa ragu
Dia tertawa, kau tertawa dan ujung matamu berkedut
Lalu kusadari tak pernah ada kita hari itu
Kau bukan milikku dan aku tak pernah memilikimu
Lantas ke mana kereta ini membawa sisa-sisa perjalananku?
Sebab sia-sia saja—aku bukanlah peraduan yang kau tuju

Kau benar, aku memang keliru
Aku yang menanti di balik gerbong kereta api tapi tidak kau sadari
Aku yang terhimpit berdiri di antara penumpang lain namun tidak kau temui
Aku yang samar-samar menatapmu meski  kau acuh tak peduli
Dan ketika kereta melaju membawa kita hari itu,
Perasaanku terhadapmu menjelma paradoks yang ingin segera kuakhiri
Namun ketika kereta kembali berhenti,
Kau pergi dan tak pernah kujumpai lagi

Jakarta, Maret 2017.


PARADIGMA HUJAN

Karena hujan sudah terlanjur mencintaimu
Seperti rahim yang tak mungkin menelan lagi anaknya
Dan awan yang mustahil menarik tetes-tetes airnya
Terlebih elegi memaksa semesta meruntuhkan barisan luka
Rintik itu tak bisa kembali ke peraduannya
Sebab ia telah semena-mena jatuh terhadapmu

Angin menampar daun jendela, menyisakan segurat tetes di sana
Terlepaslah rindu yang disembunyikan langit darimu
Begitu riuh sampai terdengar gemeletuk gigimu
Teramat dingin, namun jauh lebih parah dinginmu
Mungkin embun akan tetap jatuh cinta pada daunnya
Namun hujan yang terlanjur jatuh—akan tetap mencintaimu

Di musim hujan, angin adalah pisau
Lalu dingin adalah engkau
Sementara aku—aku adalah hujan,
Aku adalah perempuan yang disetubuhi rindu dan rela tidak dibayar

Jakarta, April 2017.


SEGALA

Kepada lelaki yang ingin aku lihat tiap kali aku membuka mata,
Kutemukan kau dimana-mana
Di udara dingin yang membuat orang-orang menggigil dan meringkuk dalam selimut,

Kutemukan kau sebagai sesuatu yang menghangatkan tubuhku tanpa perlu apa-apa
Bersama hujan deras yang membuat langit lapang dan kilat yang menyala-nyala,

Kutemukan kau sebagai sisa tetes air di permukaan kaca jendela yang tak pernah kusapu karena sesungguhnya terlalu indah
Belum pernah kuberitahu bahwa aku tak butuh selimut, tidak pula api unggun, atau payung yang terbuka lebar melindungi tubuhku dari basah
Kecuali dirimu;
Karena kamu menjelma sebagai apa-apa yang aku inginkan ada.

Kepada lelaki yang kucintai sama seperti saat pertama kali aku jatuh hati,
Aku tidak ingin apa-apa. Senyummu saja.
Karena kau tahu, tidak ada yang cukup di dunia ini
Tapi senyummu tidak pernah kurang.

Jakarta, Desember 2016.


TANAHKU BERKATA-KATA

Lantaran luka dan air mata yang terkuak dalam kebisuan
Tanahku sesungguhnya serpih kesepian yang meminta didengarkan
Terombang-ambing mengarungi air mata kesedihan
Mengawang dengan harap muara kejayaan
Ratusan suku menapak menciptakan keutuhan
Tersimak ragam bahasa yang menguatkan persatuan
Menyuguhkan budaya berbeda namun satu kesatuan
Tanahku, surga dunia yang memaparkan keindahan
Namun, bagaimana tanahku bisa didengarkan?
Sementara teramat banyak yang menulikan indra pendengaran
Bagaimana tanahku bisa didengarkan?
Saat tak ada suara atau bahkan teriakan
Hanya sembilu,
Dalam bisu…

Tanahku tak berirama
Tak bisa mengukir aksara, bersuara, atau merupa
Namun diamnya tanahku berkata-kata
Tanahku, tidak hanya inginkan air mata
Ia inginkan kejayaan bermuara
Di mana seluruh Indonesia ialah saudara
Semua saudara
Bahkan hingga kedua mata terpejam sempurna
Aroma tanahku masih terhirup di lembah surga

Jakarta, Agustus 2016.


Ananda Aprilia (Lahir di Jakarta, 13 April 1999) adalah siswi tingkat akhir di SMA Negeri 85 Jakarta. Pernah meraih Juara 1 Cipta Puisi tingkat Kabupaten di Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N), dan meraih Juara Harapan 3 Cipta Puisi di tingkat Provinsi. Juga pernah meraih Juara 3 Cipta Puisi lomba Bulan Bahasa tingkat Sekolah.

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.