Setelah Pertunangan Hujan dan Matahari
“Apa karena aku bukan seorang muslim?”
“Tidak! Bukan begitu,” sanggah Rahma
Hening.
“Lantas apa?” ia sedikit memaksa. Mata keduanya berkaca, hampir pecah.
“Aku sudah bertunangan!”
Selesai.
Lelaki tampan itu merasa semua telah tamat. Tak ada yang perlu dipertanyakan lagi. Sedangkan Rahma, tanpa menegakkan wajah, ia berlalu pergi.
Hujan begitu marah malam ini, ketika mengingat bagaimana pertama kali mereka bertemu. Saat itu Rahma mendapat tumpangan payung untuk melawan derasnya hujan. Lelaki itu memang tak mudah dilupakan, bisa jadi sangat spesial, di hati Rahma.
Namanya Kai. Tampan, mapan, dan sopan. Usianya pun hanya berjarak dua tahun di atas Rahma. Awalnya semua biasa saja, Kai yang hanya karyawan biasa jatuh cinta pada Rahma, gadis lugu namun cukup bijak. Ternyata, cinta tak lagi berdaya saat kumbang lain berhasil memenangkan hati sang gadis. Oh Tuhan, beginikah rasanya?
Menatap punggung Rahma yang semakin jauh rasanya menyayat. Ia pun memalingkan tubuh dan berjalan dengan arah berlawanan. Air matanya menetes. Sebenarnya Kai bukanlah lelaki cengeng, tapi kali ini ia mati rasa. Wanita yang diharapkannya hanya tinggal mimpi. Bahkan jika ia memohon pun, tak akan ada arti. Semua sudah lebur.
Sebenarnya pula, andai saja jawaban Rahma tidak seburuk itu, lelaki itu ingin lebih maju. Ia ingin pindah agama. Kai tahu demi cinta, ia harus mengambil risiko. Lelaki tangguh. Tapi sayang, semua berakhir dengan kata “andai saja”.
***
“Kamu tahu apa yang aku suka dari setiap novel Zee?” tanya Rena. Rahma menggeleng. “karena ia selalu menulis dengan hati. Aku merasa apa yang ia tuangkan dalam setiap tulisannya adalah benar adanya.”
“Apa mungkin dia se-alay itu?” Rahma heran
“Loh, kok alay?” Rena sedikit kesal. Sahabatnya itu memang penggila novel. Terutama novel remaja, meskipun usianya sudah menginjak kepala tiga.
“Katamu Zee adalah pria tampan, pintar dan sangat berwibawa. Apa mungkin dia sealay itu dalam urusan hati?” ia kembali memasukkan headset ke telinga. Rahma memang pencinta lagu-lagu islami.
“Jangan salah, dalam salah satu seminarnya, ia pernah mengatakan bahwa ada seorang wanita yang mampu mengubah hidupnya menjadi begitu berharga.” jelas Rena. Tapi sepertinya Rahma sudah tak peduli.
Ada yang berbeda.
Kini Rahma telah berubah. Rambut lurus bergelombangnya sudah tak tampak lagi, tertutup hijab. Celana jeans yang begitu menempel di betisnya, telah berubah menjadi gamis syar’i. Alhamdulillah, ia menjadi wanita muslimah yang sebenar-benarnya. Kini Rahma menjadi seorang designer di sebuah butik milik keluarganya di Malaysia.
“Rencana mau ke mana liburan ini?”
“Aku ada acara launching busana muslim terbaru di Malaysia.” jawab Rahma. Jawaban Rahma sedikit menjengkelkan jika didengar dari sudut pandang Rena. Padahal rencananya ia ingin mengajak sahabatnya itu liburan. Ya setidaknya ke pantai, mungkin.
***
“Sial! Akhirnya aku harus menghabiskan liburan bersamamu!” keluh Rahma. Rena tertawa mendengar gurauan sahabatnya. Kabarnya, acara launching busana terbaru di Malaysia diundur. Februari nanti acara baru dapat dilaksanakan. Tentunya ini kabar bagus untuk Rena. Secara, hanya setahun sekali saja ia bisa berlibur bersama Rahma. “ini bukan liburan namanya..” tambahnya.
Sebenarnya menarik juga jika liburan diisi dengan menghadiri acara bedah buku. Tapi bukan itu yang diinginkan Rahma. Seharusnya Rena mengajaknya ke mall untuk sekedar berjalan-jalan atau makan. Tapi apa boleh buat, Rena adalah remaja di usia 30 tahun, dan penggila novel. Ya, seperti yang dibanggakannya, novel Zee paling sempurna.
“Apa semua penulis di negara ini selalu mengadakan acara bedah buku di pusat perbelanjaan?” keluh Rahma.
“Husss! Jangan sembarangan!” Rena mengatupkan telunjuknya pada bibir Rahma. Bagi Rahma, sahabatnya itu memang aneh. Memang, wajar jika seseorang menyukai buku. Tapi mengapa hanya buku Zee? Sedangkan sebelumnya, ia tidak begitu. Pandangannya lirih pada Rena yang sedang mencari tempat duduk.
Luar biasa.
Pembaca Zee memang sangat banyak. Namanya melambung tinggi sejak dua tahun lalu. Rahma yang baru 3 bulan kembali ke Indonesia merasa tabu dengan semua itu. Ia tak merasa ada yang spesial. Namun tidak dengan Rena, ia benar-benar lupa diri. Mata dan lehernya memanjang, ia mencari sosok Zee yang ditunggu-tunggu.
“Aku ke toilet dulu ya..” pinta Rahma.
“Iya. Tapi jangan lama-lama!”
Bahkan untuk melihat wajahnya lagi, Rena sudah tak punya waktu. Ia sangat khawatir kehilangan kesempatan melihat Zee.
Sesaat sosok Zee masuk dan acara pun dimulai. Tak menunggu lama, Zee pun langsung angkat bicara. Rahma yang sudah sampai pintu depan, tiba-tiba menoleh.
Allahu Akbar.
Apa yang terjadi? Apa mata Rahma sudah kabur? Atau ini memang fakta? Oh Tuhan, ia mati rasa. Bumi seakan membalikkannya.
Sungguh, ini tak mungkin.
***
“Apa?” Rena benar-benar terkejut.
Tanpa suara, seketika saja air mata Rahma menyentuh punggung tangannya yang sudah telungkup.
“Semua ini adalah takdir Allah. Semuanya sudah tertulis. Aku bertemu dengannya kembali dan ini akan menjadi hukuman baginya”
“Tapi kamu harus menemuinya, Ma” Rena menyentuh bahunya.
“Tidak!” ia menggeleng
“Tapi kenapa?”
“Aku adalah pembawa masalah baginya. Jika saja aku tidak hadir, pasti kesedihan yang dia alami tidak sesulit ini”
“Bukankah ini takdir Tuhan?” tanya Rena. Matanya berkaca, tapi ia menahannya. “Rahma…, semua sudah tertulis, seperti yang kau katakan” sambungnya. Rena memang puitis, tapi kali ini bukan karena novel-novel yang dibacanya, ia benar-benar terbuai.
Tergesa-gesa Rena menuju rak buku novelnya. Ia meraih salah satu novel Zee dan membacakannya.
Aku sedang menunggu pelangi, yang katanya akan hadir setelah pertunangan hujan dan matahari
“Kau tahu Rahma, dia sedang menunggumu. Dia menunggumu hadir setelah semua kecewa dan kesedihan yang ia rasakan. Kau harus tahu itu!” air mata Rena pun jatuh.
***
Hari ini Rahma akan kembali ke Malaysia. Berulang-kali Rena meyakinkannya untuk menemui Kai. Tapi percuma. Wanita keras kepala itu tak akan berubah pikiran.
Ia duduk di kursi tunggu. Menunggu giliran.
“Kau tahu Re, sampai sekarang aku masih belum mengerti.”
“Mengerti apa, Ma?” Rena menatap tabu wajah sahabatnya. Tapi Rahma, pandangannya lurus.
“Lima tahun lalu, aku gagal menikah karena tunanganku memutuskan hubungan tanpa alasan. Saat itu aku malu. Malu pada semua orang. Aku merasa tak berguna, bahkan bagi diriku sendiri. Aku menjadi wanita bodoh yang bertahan demi lelaki jahat. Namun, jauh dari itu semua, aku lebih bodoh. Aku meninggalkan seorang lelaki yang tulus menerimaku, aku tak kan melupakan kejahatan itu. Dan sekarang, bagaimana bisa aku kembali padanya?”
Pandangannya mengarah pada Rena. Air mata keduanya menetes.
Suasana berubah hening.
“Tapi Ma, apa kau tahu? Rencana Allah adalah yang paling sempurna. Kalian berpisah adalah sebuah tanda cinta Allah. Kalian diberi waktu untuk saling memperbaiki diri. Selama lima tahun ini, kau berubah menjadi wanita yang lebih baik, apa kau lupa itu? Dan lihat dia! Dia seorang muallaf Ma…” Rena menggenggam tangan Rahma. “apa kamu tidak melihat Karunia-Nya Ma? Allah menakdirkan kalian dalam rupa dan keadaan yang lebih baik. Aku yakin itu. Ma…, ayolah, jangan seperti ini lagi.” genggamannya semakin kuat.
“Apa kamu yakin?”
Pertanyaan Rahma membuat Rena mengangguk cepat.
Allah selalu punya rencana indah untuk hamba-Nya. Dan cinta? Ia adalah rasa yang diberikan-Nya sebagai bentuk hadiah bagi mereka yang menyadarinya. Rahma dan Kai adalah takdir yang dipersatukan dengan cara yang indah. Mereka adalah rangkaian takdir yang Allah rencanakan.
Ternyata tak ada yang sia-sia. Membatalkan keberangkatannya dan menemui Kai adalah bagian dari takdir.
“Aku tak menyangka kita bertemu kembali,” Kai terharu
“Aku juga tak bisa percaya kali ini aku yang pertama kali berlari menemuimu, Zee” Rahma tersenyum, tapi matanya berkaca
“Jangan panggil aku seperti itu”
“Bukannya itu nama barumu?” Rahma menaikkan alis.
“Iya. Tapi itu nama pena!”
“Ah sama saja!”
Suasana mencair.
“Apa kamu sudah menikah?” pertanyaan Rahma membuatnya kaget.
“Belum. Bagaimana denganmu?” Kai meneguk kembali tehnya.
“Aku ingin menikah denganmu!”
Wah, beraninya Rahma mengatakan itu. Kai tersedak. Ia menoleh ke arah wanita itu.
“Aku memang bukan penulis novel sepertimu. Jadi ini caraku! Bagaimana?” ia kembali menaikkan alis.
Kai mati sikap.
Semua sesuai harapan. Mereka menikah.
Begitulah. Cinta bukanlah saat kau memilih atau dipilih. Tapi cinta adalah ikatan suci yang pada akhirnya akan bermuara pada-Nya.
Nurul Aini, lahir di Aceh 30 Juni 1991. Anak dari pasangan Ir. M. Yani dan Aisyah, merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Lulusan Cumlaude dari salah satu Fakultas Teknik terkemuka di Aceh. Menempuh pendidikan Teknik Kimia di Fakultas Politeknik Negeri Lhokseumawe hingga mendapat gelar Diploma III. Memulai karir sebagai penulis serta seni puisi.
Menjuarai berbagai lomba seni puisi dan juga menjuarai beberapa perlombaan berpidato bahasa inggris. Menerima penghargaan pembaca puisi terbaik di Politeknik Negeri Lhokseumawe pada tahun 210-2012. Menjadi salah satu mahasiswi terbaik di jurusan Teknik Kimia dengan nilai Tugas Akhir tertinggi. Menjadi pelatih drama dan penulis skenario drama UKM Sanggar Seni Politeknik Negeri Lhokseumawe. Menjuarai perlombaan puisi PEKSIMAL(Pekan Seni Malikussaleh) sebagai juara II tingkat Fakultas, Universitas dan SLTA. Menjadi penulis “Kisah Sejati” untuk majalah kampus serta penulis cerpen untuk buku kumpulan cerpen dan majalah. Penulis puisi “Doa Ibu Mengembalikan Kakiku” dalam buku kumpulan cerpen Keajaiban Doa Ibu. Penulis puisi dalam buku kumpulan puisi “Gantung Aku di Monas”. Penulis puisi untuk Gaza dalam buku “Menyulam Doa Untuk Gaza”. Penulis novel religi “Saat Aku Melirikmu Serambi Mekkah” diterbitkan oleh penerbit Pena Nusantara. Penulis dan penyusun buku antologi puisi”Ayah, di Tanganmu Aku Belajar. Ibu, di Bahumu Aku Bersandar”. Bekerja di salah satu perusahaan finance di Jakarta Selatan pada tahun 2014-2014. Dan mengajar Kimia dan Bahasa Indonesia di SLTPS Plus Amal Peureulak, Aceh 2014-sekarang, dan meneruskan karirnya sebagai penulis.