Perempuan Etanol
“Ini etanol terbaik yang pernah ada dalam minuman. Kenapa tidak coba?”
Aku menggeleng dan hanya tersenyum atas pernyataannya.
“Kenapa? Agamamu melarang?”
Kali ini aku mengangguk dan masih tersenyum padanya. Dia terlihat sedikit kesal.
“Aku bisa pesan minuman lain? Aku kurang suka minuman dingin”
“Sekalipun ini terlihat dingin, ketika kau minum akan terasa hangat”
“Itu karena kandungan etanolnya”
“Payah”
“Aku mau pesan kopi saja”
Aku menuju sudut ruangan, memesan kopi hitam panas dari sambungan lokal dalam gedung itu. Sambil menelepon, kulihat dari sudut mataku perempuan yang mengajakku ke sini. Dua jam yang lalu dia memintaku untuk mengantarnya ke gereja dalam rangka ibadah mingguan. Kemudian setelah ibadah dia memintaku untuk membelokkan mobil ke tempat ini. Kontras sekali, setelah ibadah dia minum. Tapi rasa-rasanya tidak masalah, toh agamanya tak melarang dia untuk minum minuman apa pun termasuk yang mengandung etanol. Dia meneguk langsung dari sebuah botol minuman berlogo laki-laki yang seperti sedang melangkah. Aku tidak banyak tahu tentang minuman jenis itu, warnanya pekat seperti parfum yang sering dijadikan oleh-oleh orang pulang haji.
Selesai memesan kopi, aku kembali duduk di samping perempuan itu. Aku sedikit merasa aneh. Dia mengajakku ke tempat karaoke tapi tidak sekalipun perempuan itu menyanyikan sebuah lagu. Padahal dia memesan ruang terbaik dan privat. Entah apa yang ada di benaknya. Jika hanya ingin minum, bukankah bisa di bar saja. Tapi dia memintaku untuk memesan ruang karaoke. Pandangan matanya kosong, lagi-lagi dia meneguk minuman itu. Botol yang dipegangnya sudah berisi separuh. Masih ada satu botol penuh di meja. Dia memesan dua. Sepertinya dia akan menambah lagi pesanan minuman itu nantinya, kurasa. Dia masih diam setelah aku kembali duduk dekatnya.
“Apa bedanya kopi sama whisky? Sepertinya sama saja.”
“Setidaknya kopi tidak membuat mabuk, justru membuatmu terjaga dengan kesadaran penuh.”
Seorang pelayan mengetuk pintu, dia mengantarkan kopi pesananku. Aku mengucap terima kasih padanya. Aku sedikit kecewa dengan pengemasan kopinya. Dihidangkan dengan gelas sekali pakai, okelah itu tidak masalah. Tapi gelas itu ditutupi oleh cap, dan aku harus menyesapnya melalui sedotan pipih. Padahal bagiku, kopi bukan sekedar untuk dinikmati minumannya, tapi juga untuk dihirup aromanya. Sayang, penyajian di tempat ini malah menghalangi jalannya aroma kopi menuju hidungku. Tapi tidak akan aku protes, bagaimana pun aku tetap suka kopi.
“Aku rasa terjaga karena kafein adalah bentuk lain dari mabuk karena etanol”
Pernyataan perempuan itu membuatku meletakkan kembali kopi yang baru saja kuminum. Bagaimana bisa dia memiliki pemahaman seperti itu, sementara kopi jelas-jelas tidak membuat seseorang hilang kesadaran.
“Titik masalahnya adalah etanol membuatmu hilang kesadaran. Sementara kopi bisa membuatmu terjaga dan memiliki kesadaran penuh. Hilang kesadaran itu yang membuat manusia mampu bertingkah tidak manusiawi.”
“Tapi butuh jumlah yang besar untuk membuat kita hilang kesadaran karena etanol. Kalau hanya seteguk kurasa tak masalah. Dan kemampuan minum setiap orang berbeda, tergantung kekebalannya pada etanol.”
Bukan main, perempuan yang kuhadapi adalah seorang fresh graduate dari jurusan manajemen dengan predikat cum laude. Sepertinya berbincang dengannya akan selalu mengarah pada sebuah perdebatan. Meski sebenarnya dia tidak berniat untuk debat. Dia hanya haus akan pengetahuan, memenuhi rasa penasarannya. Tipe perempuan yang selalu ingin mendominasi, tapi sejatinya selalu ingin dilindungi oleh lelakinya. Satu botolnya sudah habis. Namun dia masih bisa berbicara wajar. Satu botol belum cukup mengusir kesadarannya.
“See, aku masih bisa berpikir jernih kan”
Lagi-lagi dia membuktikan bahwa dia baik-baik saja dengan minumannya.
“Sedikit atau banyaknya tegukan, tetap saja dilarang. Satu tegukan akan mengarahkan pada tegukan lain. Sedikit tegukan kemudian menjadi tumpukan tegukan. Pada akhirnya tak terasa sudah meminum banyak dan berlebihan, kemudian hilang kesadaran.”
Dia tersenyum dan membuka botol keduanya. Meneguknya sekali. Lagi. Meneguknya lagi. Kemudian dia menolehkan kepalanya kepadaku. Seolah ingin memperagakan ucapanku barusan.
“Maksudmu candu? Bukannya kafein juga menimbulkan candu?”
“Iya benar. Tapi tidak pernah ada dalam sejarah seorang pecandu kafein ugal-ugalan dalam mengemudi hingga menimbulkan kecelakaan. Tidak pernah ada pecandu kafein yang menjadi beringas hingga membunuh bahkan memperkosa orang lain. Tidak ada. Kafein justru membuat kita sadar sebagai seutuhnya manusia, dan untuk memanusiakan manusia. Sementara pecandu minuman beretanol terlalu banyak catatan buruknya, dampak yang ditimbulkannya.”
“Apa itu berarti kamu menganggapku buruk?”
“Selalu ada alasan mengapa kamu memilih minuman itu dan tempat privat ini”
Mendengar pernyataanku barusan, dia menatapku dalam. Kemudian dia meneguk kembali botol keduanya yang tadi terminum separuh botol. Satu, dua, tiga tegukan dia menelan perlahan. Seolah ingin merasakan cairan tersebut melalui sistem pencernaannya. Anehnya dia tidak lagi meneruskan minumnya. Dia meletakkan botolnya di meja, dengan sisa seperdelapan botol. Kini dia menghadapku, badannya juga.
“Itulah kenapa aku memilihmu untuk menemaniku di sini. Hanya kamu yang bisa mengerti. Hanya kamu yang bisa mengimbangi introduksi sebelum aku ingin menceritakan sesuatu.”
“Mengapa harus berbelit jika ingin bercerita. Kamu bisa bercerita kapan saja, di mana saja kepadaku.”
“Tidak semua orang bisa dengan mudah menceritakan permasalahannya. Beberapa orang membutuhkan minuman dengan kadar etanol tertentu untuk bisa menceritakan permasalahannya dengan lancar. Mungkin sama halnya dengan beberapa klienmu yang kamu suruh minum obat sebelum sesi konseling. Mereka butuh dikontrol oleh obat kan untuk bisa lancar konseling?”
Aku mengangguk, mengiyakan. Memberinya kesempatan untuk bercerita tentang masalah yang dipikulnya. Dia merasa stres akhir-akhir ini. Tentang pekerjaannya, di perusahaan besar ternama. Namun malang nasibnya sebagai fresh graduate dipekerjakan habis-habisan oleh bosnya, belum lagi seniornya. Seolah ini adalah bentuk pengaderan yang lebih tinggi dari ospek kampus. Tidak peduli sebagus apapun CV-nya. Dia tetap dianggap anak kemarin sore di perusahaan itu. Belum lagi permasalahan dengan kekasihnya, hubungannya sedang ada konflik. Laki-lakinya, dia bilang tidak sepertiku yang bisa mengimbanginya. Kata pacarnya, dia terlalu mendominasi dan banyak menuntut. Sudah seminggu mereka tidak berkontak. Ah belum lagi masalah dengan keluarganya. Aku pun masih betah mendengarkan segala keluh kesahnya.
Dia menangis. Tapi dengan cepat segera menghapus air matanya sendiri. Seolah dia tak memberiku kesempatan untuk menghapus air matanya. Selalu begitu, dia tak ingin terlihat lemah. Padahal bagiku, setiap manusia pasti memiliki titik lelahnya, batas kekuatannya. Bukan masalah bagiku. Aku tidak pernah menamai jenis hubungan dengannya. Teman, tapi usia kami terpaut beberapa tahun, mungkin itu bukan masalah. Kami sudah sama-sama dewasa, tidak akan begitu kentara perbedaan umur beberapa tahun saja. Awal mengenalnya pun bukan karena satu jurusan. Ya kami memang satu kampus. Berbeda jurusan dan beda program. Maksudku, waktu itu aku sedang menempuh pendidikan magister profesi sementara dia masih kuliah semester empat untuk pendidikan sarjana. Dia, maksudku kami mulai saling mengenal ketika aku menyebarkan broadcast tentang tawaran konseling, untuk keperluan tugas praktik kuliah tentunya. Di antara beberapa yang mau menjadi subjek pembelajaranku, dia yang paling bertahan. Bahkan sampai sekarang.
Dia masih terus bercerita tentang keluh kesahnya. Sampai akhirnya air mata jatuh lagi di pipinya. Kali ini dia juga tidak memberiku kesempatan untuk menghapuskan. Pada akhir ceritanya, dia menarik nafas panjang. Mengatur nafasnya agar kembali tenang setelah menangis. Agak lama dia berhenti untuk mengatur emosinya. Selesai berkutat dengan dirinya, dia melirikku sekilas. Kemudian meraih kembali botolnya, sisa seperdelapan itu diteguknya habis. Diletakkannya botol kosong itu kembali ke meja. Kini dia kembali mengambil nafas panjang. Menyandarkan dirinya ke punggung sofa. Tak lama kemudian, dia tumbang.
Ini adalah tugasku. Membawanya pulang dalam keadaan tumbang. Menggendongnya dari ruang karaoke menuju parkiran dengan berbagai pandangan orang. Mulai dari yang sinis hingga acuh. Tidak sampai di situ, aku harus mengantarnya menuju rumah orangtuanya. Menghadapi ayahnya yang akan memakiku habis-habisan, mengira bahwa aku lah yang menjadikannya mabuk. Mengira bahwa aku lah yang menodai putrinya. Bahwa seorang laki-laki lebih mudah dicurigai sebagai orang yang menjerumuskan perempuan untuk keadaan seperti dia. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Tapi entah mengapa, aku rela.
Tsurayya Maknun, bertambah usia di bulan Februari. Sedang menempuh pendidikan di Universitas Airlangga, Surabaya. Menyukai dunia menulis sejak SD. Namun baru mengirimkan naskah ke media ketika SMA, setelah dipengaruhi oleh gurunya. Sejak saat itu karya-karyanya diterbitkan di media dan menjuarai lomba. Silahkan mampir di blognya http://tsurayyastar.blogspot.com
Keren. Ceritanya ngalir banget dan pesannya ngena. Good job. ?
Terima kasih?