Don’t

Don’t

Seorang anak meringkuk di balik pintu. Ia menelungkupkan kepalanya. Suara tangisan, jeritan, dan barang-barang pecah memeriahkan rumahnya. Ia menutup telinganya. Tak lama kemudian, terdengar bunyi pintu dibanting. Suasana sepi menyeruak di dalam rumahnya. Ia membuka pintu dengan perlahan lalu keluar untuk melihat keadaan di luar. Rumahnya telah berubah menjadi lautan darah. Tiada teriakan, tiada tangisan. Ia hanya memandangi lautan darah itu dengan tatapan kosong.

***

Tasya

Aku memandangi puluhan pasang mata yang tengah menatapku sambil tersenyum. Kecuali satu orang. Seorang anak laki-laki hanya menatapku sekilas lalu kembali menelungkupkan kepalanya di meja. Ia menatapku dengan sorotan matanya yang tajam. Aku sedikit terintimidasi oleh tatapannya.

Bu Winda mempersilahkanku memperkenalkan diri. Aku berdeham. Kutarik lengkungan manis di bibirku lalu berkata, ”Aku Tasya. Mohon bantuan dan kerja samanya.”

“Tasya, silahkan kamu duduk di sana,” tunjuk Bu Winda pada sebuah bangku kosong.

Aku membelalakkan mataku. Aku menatap Bu Winda untuk memastikan apakah Bu Winda telah keliru menempatkanku di bangku itu. Aku merutuk kesal mengetahui Bu Winda tak mengerti dengan isyarat mataku. Tentu saja aku merutuk dalam hati agar aku tak dianggap sebagai murid baru yang bertingkah.

Aku menjejakkan kakiku dengan malas. Jarak bangku yang hanya lima langkah terasa seperti puluhan kilometer. Perasaanku mengatakan mulai hari ini hidupku tak akan berjalan dengan lancar.

***

Arthur

Kudengar Bu Winda menunjuk sebuah bangku pada murid baru itu. Aku tahu bangku yang ia maksud adalah bangku kosong yang ada di sampingku. Aku merutuk dengan kesal. Maksudku, hei kenapa harus singgasanaku? Bukankah masih banyak bangku kosong lainnya? Guru tua itu semakin lama semakin bertingkah.

Langkah kakinya berhenti di dekat bangkuku. Aku mengangkat kepalaku lalu memegang singgasanaku. Tak akan kubiarkan ia merebut singgasanaku. Ia memegang singgasanaku dan menatapku dengan tatapan ‘biarkan aku duduk di sini’. Aku membalas tatapannya dengan tajam. Ia tersenyum. Aku tahu ada kelicikan dalam senyum manisnya. Ia lalu mengangkat tangannya.

“Bu Winda, tampaknya penghuni kursi ini tidak mengizinkan saya duduk. Haruskah saya membacakan mantra untuk mengusirnya?” ujarnya sambil memamerkan senyum manis penuh kelicikan padaku.

Seisi kelas tertawa mendengar perkataannya. Bu Winda menatapku dengan tatapan ‘biarkan ia duduk atau kamu akan berurusan dengan saya’. Aku melepas tanganku lalu kembali menelungkupkan kepalaku. Dua wanita licik telah mengganggu hariku. Dan wanita licik satunya lagi telah berhasil merebut singgasanaku.

***

Tasya

Kulihat seseorang tidur di hamparan rumput taman belakang sekolah. Sebuah jaket hitam menutupi wajahnya. Menyedihkan sekali orang ini. Apakah di rumahnya tak ada ranjang untuk tidur? benakku. Aku lalu mendekatinya. Kutarik jaket yang menutupi wajahnya. Betapa terkejutnya aku. Ia adalah devil yang duduk di samping bangkuku.

“Hei, Arthur. Cepat bangun,” ujarku sambil menendang kakinya.

Ia mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia meregangkan ototnya lalu bergegas berdiri. Sorotan mata tajamnya memandangiku. Ia mengenakan jaketnya lalu menaiki tembok sekolah.

“Hei, berhenti. Apakah kamu gila? Kamu akan dihukum oleh Bu Winda,” cegahku.

“Bukan urusanmu,” katanya lalu meloncati tembok. Ia pun raib dari pandanganku.

Aku menghentakkan kaki kesal. Kutendang batu kecil yang ada di hadapanku. Hei, kenapa ia harus begitu menyebalkan? Kujejakkan kakiku meninggalkan tempat itu.

***

Seorang anak menggandeng tangan ayahnya. Mereka tertawa bahagia. Sang anak bergelayut manja pada ayahnya. Ia menunjuk sebuah balon dan meminta ayahnya membelikannya. Ayahnya tersenyum. Ia lalu membelikan balon itu untuk anaknya.

Kemudian balon itu pecah. Ayahnya yang baik bak malaikat telah hilang. Berganti dengan sosok mengerikan yang memegang senjata berlumuran darah. Satu korban jatuh di hadapannya. Darah segar mengalir dan membentuk genangan darah. Sejak saat itu, sorotan mata anak itu berubah.

***

Arthur

Kuremas minuman kaleng yang kuminum lalu membuangnya. Kukenakan topi hitam lalu menutupinya dengan topi jaketku. Aku lalu mendekati targetku. Tak akan kubiarkan lepas. Aku telah hidup hanya untuk menunggu saat ini.

Aku menyentuh bahu orang itu. Ia pun berbalik. Segera kulayangkan tinjuku padanya dengan amarah yang meluap. Ia tak tinggal diam. Ia juga membalas pukulanku tetapi meleset. Kukeluarkan sebilah pisau lipat dan siap untuk menusuknya.

“Berhenti,” teriak seseorang.

Aku menoleh. Target yang kuincar langsung melarikan diri. Aku berniat mengejarnya. Tetapi sesuatu yang hangat menahanku. Aku pun tak berkutik.

***

Tasya

Aku memandangi bintang-bintang yang bertengger di langit malam. Namun pikiranku tak tertuju pada bintang-bintang itu. Tiba-tiba saja aku memikirkan Arthur. Tatapannya dan tingkah lakunya. Aku menghela nafas. Mungkin aku sudah gila. Aku harus menyegarkan pikiranku. Sedikit lari di malam hari mungkin bisa menenangkan pikiranku.

Dan di sinilah aku. Kulihat sosok mencurigakan berjalan mengikuti seseorang. Ia berpakaian serba hitam. Sosok itu menghajar orang yang diikutinya. Ia lalu mengeluarkan sebilah pisau.

“Berhenti,” teriakku.

Sosok itu menoleh. Aku membekap mulutku. Bukankah dia adalah Arthur? Ia lalu mengalihkan pandangannya dariku dan berniat mengejar orang itu. Refleks aku langsung berlari ke arahnya dan memeluknya dari belakang. Aku juga terkejut dengan apa yang kulakukan.

“Lepaskan aku. Aku harus membalaskan dendamku padanya.”

“Jangan lakukan itu. Kamu hanya akan mengotori tanganmu sendiri,” ujarku.

“Mata dibalas dengan mata, gigi dibalas dengan gigi. Bila manusia hidup seperti itu, maka rantai kebencian tak akan pernah putus dan manusia tak akan pernah menemukan kebahagiaannya,” lanjutku.

Sesuatu yang hangat dan bening menyentuh tanganku. Hening pun menyeruak di antara kami. Ia lalu melepaskan pelukanku. Dan berbalik memandangiku.

“Terima kasih telah mencegahku membunuh ayahku sendiri. Aku dendam kepadanya karena ia telah membunuh ibuku. Sejak saat itu, aku bertahan hidup hanya untuk membalas dendam pada ayahku. Kupikir aku akan lega bila telah membalaskan dendamku tetapi ternyata dengan tidak membunuhnya membuatku menjadi lebih lega.”

Aku tersenyum. Ia juga tersenyum. Sorotan matanya yang menyiratkan kebencian telah hilang. Berganti dengan sorotan mata yang lembut. Mungkin ia akan menjadi Arthur yang lembut mulai sekarang. Bintang-bintang yang bertengger di langit malam tersenyum puas melihat kebenciannya telah sirna.


Namaku Septiani. Aku lahir di Pangkalpinang, 20 September 1997. Aku tinggal di Pondokan La Tulip (Unib Belakang) Jalan W.R. Supratman Gg Juwita 2 RT 07 RW 04, Kelurahan Kandang Limun, Kecamatan Muara Bangkahulu, Bengkulu 38122. Aku mahasiswi Universitas Bengkulu jurusan Ilmu Komunikasi. Karyaku pernah dimuat dalam Antologi Cerpen dan Puisi Sebuah Apel (Kantor Bahasa Bangka Belitung, 2014), Antologi Komik Fantasteen Urban Kisah-Kisah Paling Horor di Karnaval #2 (DAR!Mizan, 2014), Antologi Cerpen Sepotong Senja Sepenggal Sangka (FAM Publishing, 2016), Antologi Puisi Aku Kembali (El-Markazi Publisher, 2016), Antologi Cerita Mini December Sun (Ellunar Publisher, 2017) dan Antologi Cerpen My First… (Jejak Publisher, 2017). Aku dapat dihubungi melalui nomor HP 082280689947, email septiseptiani249@gmail.com, instagram @septi_sss, atau facebook Septiani.

 

 

 

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.