Puisi-Puisi Ajaz El-Mazry

Puisi-Puisi Ajaz El-Mazry

TINTA TUHAN

Harus berlari pada kegersangan semula.
Menanggung perih di atas gemerlapnya penistaan cinta.
Tak kuasa pada sang rasa, seakan gejolak harap menerkam ramuan takdir.
Berbisik sudah air mata ini di bawah sepertiga malam tuhan,
membias sakit pada setiap jejak nafasku.
Ku langkahi laut pantura itu, ku pecahkan batu batamu pada sehelai rasaku, ku tancapkan musisi cinta di atas fenomena hidup yang tinggal jejak dan takdir.

Di sini daratan, di sana lautan
bersatu seiring syahdu yang menggelora,
tak mampu ku urai setiap arti pada setiap lambaian sakit sunyi ini.
Hanya bisa bertegur sapa dengan segenggam angin yang masih sudi berlayar dalam petiku.
Pelanginya indah penuh kronologi,
memberantas kacamata hidup tanpa makna.
Berdiam dengan secangkir tuak,
mendaki sajak di setiap uraian tarkib kehidupan.
Ku rangkul rindu ini pada setiap titik hijaiyah yang tersisa.
Harus pergi bersama belenggu laknat cinta,
pada rentetan rindu yang tak mampu ku pecahkan.
Dengan ucapan barokallah ku menjauh dari detak naibul kalam hidup,
membendung aliran ini dengan setiap do’a suksesku.

Pamekasan, 27 Oktober 2016


RASAKU DURHAKAKU

Berfikir menjadi misteri tak ada rumus,
Bertindak lampias hati adalah secercah maksud.
Memaksamu berdiam dalam telaga itu cintaku.
Membuatmu bahagia pada deretan bata adalah cita-citaku.
Semakin tua pelangi itu memandangi tombak di ujung juang,
semilir kasih akan semakin menggelora dalam figora “aku ingin bersamamu”.
Sudah tahu ini laknat tak termaafkan,
Segerombolan juang tanpa SK.

Berdiam sejenak pada semangkok bakso.
Menahan ludah pada lengkungan sendok air mata.
Tak dapat ku temukan kamus hidup, kecuali “jangan tinggalkan aku”.
Penuh sudah,
lukisan-lukisan dosa pada pilar-pilar rasa yang ku genggam pada secarik tisu.
Lantaran diriku terhianat akan tarkib cinta.
Semboyan kutuk berkiblat pada firasat,
membenci kasih dalam diare tuhan,
sehingga hari ini menanti takdir keajaiban petani vs nelayan.
Menyatu dalam satu profesi.

Pamekasan, 30 Oktober 2016


MENGUTUK TAKDIR

Bercorak pada segelintir kata,
menyapaku dengan sesuap getaran ragu.
Menoreh gelisah pada secercah kehidupan,
laksana pundak cinta tenggelam pada tangisan secangkir kopi.
Teriakan nafsu menoton pada setiap sembahan hamba,
mengarungi akal di setiap tetesan senyum.
Berhenti melangkah di kota tua itu,
menjadikan salib berdosa pada laskar ketuhanannya.
Rindu ini tak mungkin pudar di hadapan mata sipitmu,
sebelum prasasti dunia tak lagi mengakui rasa yang ku torehkan.
Hirupan semangat akan selalu menerbangkan semangatku,
pada setiap tarian manjamu.

Tak ada alasan bagi seorang penyair harus tenggelam bersama arus puitis dan egois.
Karena namamu adalah mukjizat dewa yang harus ku layarkan dalam laut kebiruanku.
Sekelompok do’a menangis di tengah sujud rapuh itu,
mengutuk malam agar selalu melahirkan malaikat-malaikat kecil.
Berbisik pada tangan tuhan agar harapan cepat tunai seiring juang penuh nilai.

Pamekasan, 30 Oktober 2016


RATAPAN RINDU

Ku ukir hasrat dalam naluri,
terbingkai senyum yang mengekar pada setangkai puisi tuhan.
Seruhan waktu berusaha merobek bibirmu pada garis lelengkung rindu,
di atas meja senyap ku sajikan nyanyian sang pelangi,
menjadikan makhluk laut tertawa dengan segenggam pasirnya.
Tak perlu cahaya lilin tuk jadikan sebuah halusinasi,
Membongkar tandus kekeringan dengan sebelah sayap malaikat adalah sebuah mukjizat lautan yang terhegimoni.

Saat ini adalah dimana pelayaran tanpa mahkota,
penerbangan tanpa sayap yang nyata,
perjalanan tanpa arah permata,
diam pun tanpa makna dan senjata.

Bangsa burung berusaha menghiburku dengan syair merdunya,
mentari munculkan cahaya semangatnya,
mimpi malam menghipnotisku dengan kabar baiknya.
Tak jua hidup ini semangat,
hanya dapat meliput gelisah pada setiap detik ‘aku rindu kamu’
Lambaian sujud tahajud sudah semakin menghilang dalam pandanganku,
Membawa doaku pada singgasana istijabah.
Ku tuang semua harapan pada secangkir dhuha hari ini,
membisikan perintah pada telinga dua rakaat ini.
Sehingga aliran waqi’ah meneteskan permata suci,
menjadi saksi pada setiap aksara cinta yang ku eja untukmu.

Pamekasan, 6 oktober 2016


SELASAKU PATAH

Kusam sudah kertas yang ku cuci pada telaga surga,
terkhianati akan kabar cemburu dalam relung diamku,
Tak ku sangka pedang ini kembali menusukku pada syair selasa,
menghunusku dengan tamparan perih tak mungkin.
Ku usap air mata ini dengan memori takdir,
mengerti akan tasrif tuhan dalam setiap ejaanku,
tak kuat ku harus karungi hidup tanpa tarian ‘e pathok’ mu.
Menjelma monster di atas sergapan angin malam,
membisu pada soal firasat ‘dhina torot’

Malam, ada serangan sakit rasukan,
tak dapat ku liput berita itu pada diare hidupku,
Munafik diri ini bila harus jujur pada nyata.
Ku dustakan suara pada setiap majlis arti.
Ku hanya bisa tegak seiring lambaian senyum itu,
membeku dalam jejak langit bunda.
Astagfirullah yang dapat terurai dalam lisan gemetarku,
hanya bayang simalakama yang terlintas dalam fikirku.
Ku kembali putarkan tasbih hidup antara takdir dan nyata.
Ramuan ikan laut tak lagi menjadi bekron puisiku malam ini.
Tetesan harapan terbendung satu kata pada telingaku.
Merelakan adalah ketidak relaanku pada waktu ini.
Ku teriakkan pedihku di tengah ramuan nyamuk-nyamuk bangsat,
lantaran cinta dalam selasa.

Pamekasan, 7 oktober 2016

e pathok = di pukul
dhina torot = biarkan saja


TAK MUNGKINMU DALAM SEMOGAKU

Terserab halus pada puing-puing ilahi,
tatanan mahkota berjalan tanpa arah
Rumputan tinta bergoyang seiring musik tanpa bunyi,
berdo’a pada segelas syair-syair madu.
Ku titip sayap pada sang awan, agar dapat mengarungi jejak mempesona itu.
Ku tatap cahaya krupuk renyah pada pandang pantai badur,
sekilas ketemukan sekelompok senyum pada hamparan pasir tabu.
Teringat akan janji pada sang tahajud,
bertaukidkan setetes dhuha pada bayang tombak mentari.
Harus ku imani takdir ini pada hakikat nyawa,
selaras dengan hentakan petani pada perahu-perahu aksi itu.
Ku diami ceritaku pada gosib aksara cinta,
terhimpun dalam setiap hembusan kasih,
menyelimuti bongkahan rindu,
sehingga harus mati di ujung ‘semoga’.

Amien.
Selalu beradu nyali pada trik-trik alif lam mim,
mengeja jari jemari demi terbentuknya semboyan penuh arti.
Ku taruh lidah dalam kertas puisi polusi,
mengundang asap malaikat pada bayangan kota syahdu.
Merintih pada air mata ilalang di atas rubrik tawanan.

Pamekasan, 7 Oktober 2016


ALHAMDULILLAH

Menangis awan ini tanpa seiring maksud,
harus terkubur pada secangkir madu,
ku hanya bisa memandangi bahagia itu dibalik semak-semak takdir.
Laut samudra teralir sudah puisi sang pujangga,
memberantas sepi dalam ketetpurukan kemarau.
Bisikin pelangi mulai menetes pada secarik kertas milikku,
membawaku berteduh dibawah gubuk tua,
mengajariku tentang indahnya untaian alhamdulillah.

Kakiku gemetar, hatiku resah, badanku panas, mulut beku,
lantaran simbol itu menjadi waqof pada hentakan cinta.
Sekali lagi mulutku melepaskan alhamdulillah.

Gemerlap bintang bersyair bersama diatas tahajud,
kicauan burung mengaji dibawah sayap-sayap dhuha,
darahku bungkam pada penyaksiannya,
keringatku melahirkan alhamdulillah.

Tak tahu diri ini harus berpijak kemana, diantara mobil-mobil kota yang pandai menyemprotkan asapnya,
sempat hadir bisikan keluh dalam bahasa rayuan,
namun badai kembali hadir, dengan senyum alhamdulillah.

Pamekasan, 4 Oktober 2016


AKU ADALAH AKU

Berlayar pada santunan pena,
merenung akan nafsu yang tertidur pada rentetan senar.
Ku harap daun cemara ini duduk bersamaku,
bersanding sebagai bintang di bawah mading murobby.
Tak ada bayang harus menjamu sungai cerita,
di atas laskar puisi perkuliahan pintu.
Tingginya ranah rasa yang terapung pada dermaga penuh misteri,
membawa anikdot dalam gelap punuh makna.
Harus ku syairkan kembali capucino pada ruang gelisah penuh arah.
Bersama iringan rindu sang musafir cinta.

Detik grimis mulai menertawakanku pada segerombolan gosib gereja-gereja tua.
Mungkin harus tersalin sabar pada setiap tonggak penantian,
seiring tetesan senyum penuh berlian.

Pamekasan, 31 Oktober 2016


Ach. Jazuli adalah seorang lumut desa yang terlahir tanpa dikenal peradaban pada taggal 17 agustus 1997 di dusun bajik, Tambaksari, Rubaru, Sumenep. Dia memulai penggalian cakrawalanya di SDN Tambaksari 3 kemudian melanjutkan studi di pondok pesantren Darul-Ulum dasuk selama kurang lebih 6 (enam) tahun, dan di pesantren itulah dia menyelesaikan jenjang SLTP dan SLTAnya di lembaga yang sama yaitu MTS dan MAS Darul-Ulum dasuk.
Selama di pesantren dia adalah salah satu santri yang berkelut di komunitas rumah ilmu, organisasi intra (OSIS, SANGGAR ANDHARU, PRAMUKA), maupun organisasi ekstra (PIK-R SAKERA DASUK, PELAJAR ASWAJA). Selanjutnya, dia keluar dari pesantren itu pada tahun 2016 dan melanjutkan studi prosesnya di STAIN Pamekasan yang hari ini menjadi warga Prodi tadris bahasa Indonesia (TBIN) semester 2.
Di STAIN Pamekasan yang punya nama pena Ajaz el-mazry  juga ingklut di beberapa organisasi dan komunitas diantaranya, UKM PI dan RISET, UKM IQDA, FKIM dan Bengkel sastra.

Jejak Publisher

One thought on “Puisi-Puisi Ajaz El-Mazry

  1. I got this site from my buddy who informed me regarding this site and at the moment this time I am
    browsing this web page and reading very informative content at this place.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.