Tersekap

Tersekap

Tanggal tiga belas, kembali kulihat kalender warna putih yang tersampir di dinding kamarku. Angka tetap sama, tanggal tiga belas di bulan ke dua belas. Langit Medan kembali kelabu, hujannya masih belum mereda dari kemarin. Bunyian petir bertautan erat dengan suara derasnya hujan yang jatuh ke pertiwi. Aku pun keluar dari ruangan minimalis tersebut, mengenakan jaket kulit warna krem dengan masker yang menutupi wajahku.

“Tauke Muda, apakah Anda sudah benar-benar sehat?” suara Frank—anak buahku, ia tengah mengisap satu batang tembakau yang dibungkus kertas rokok. Laki-laki berumur dua puluh enam tahun tersebut sudah lima tahun mengabdi terhadapku, namun tak kutemui unsur ‘pengkhianatan’ dalam dirinya.

Aku sendiri bernama Rustam, hanya seorang pria berusia tiga puluh enam tahun yang mengabdikan hidupnya dengan barang-barang haram yang terselundup dalam black market. Dalam dunia perbisnisan seluruh orang menyebutku dengan Tauke Muda—sejenis panggilan hormat untuk orang yang berasal dari Medan sepertiku. Black market sendiri sering pula diistilahkan dengan shadow economy—sejenis ekonomi yang berjalan di ruang hitam, di bawah meja. Dengan kata lain, seluruh penjualan yang kami gunakan ialah barang ilegal, barang-barang tersebut tidak melulu soal obat-obatan terlarang, melainkan barang yang terselundup melalui kapal-kapal kecil nelayan yang tidak melalui uji perpajakan. Barang-barang yang sering kami perjual-belikan relatif lebih murah dua kali lipat dari harga normal.

“Aku tidak sakit apa-apa Frank, jadi singkirkan pemikiran bodohmu itu!” jawabku datar, lelaki itu mendadak diam mengisap pelan rasa tembakau yang tertinggal di bibirnya yang mulai menghitam. Kuambil pistol yang berada di atas meja, kusampirkan benda itu di antara sabuk celana.

“Kau akan menuju bar itu lagi, Tauke?” Frank bertanya lagi, kali ini aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Lelah juga punya anak buah kelewat cerdas sepertinya, kututup kembali pintu rumah yang berbahan kayu mahoni tersebut.

***

Musik berdentum dengan kuatnya, memekakkan gendang telinga bagi orang yang masih normal sepertiku. Aku pun memutuskan menjauh dari pusat keramaian, duduk di kursi paling pojok, lebih memilih terselimutkan kegelapan.

“Rustam! Aku sudah menunggumu sejak setahun yang lalu, mengapa baru sekarang kau menerima tawaranku, heh?!” tiba-tiba seorang pria bersurai putih menepuk bahuku, di bibirnya mengisap cerutu dengan asap yang mengepul di sekitar wajahnya. Robinson—dialah dalang di balik kejadian menghilangnya anak secara tiba-tiba di desa yang kutinggali sekarang. Olehnya, anak-anak itu akan dijadikan budak atau paling parah diambil organnya. Kejam? Inilah kehidupan, inilah dunia. Yang miskin makin terpojok, yang tua makin tersodok, sudah hukum alam siapa yang kuat dialah yang bertahan.

Dalam shadow economy, kami tidak mengenal istilah ‘dosa’. Segala apa pun hal akan dihalalkan bagaimanapun caranya. “Ya, kupikir aku juga akan bergabung dengan kelompok bawah tanahmu. Bahkan menjadi ketua saja kurasa bayarannya takkan cukup untuk biayai anak-istri,” kataku beralasan. Seketika, bayangan wajah Maya—istriku dan Tika—anakku memenuhi isi kepalaku. Tak kubayangkan betapa kecewanya mereka menyadari jika orang yang mereka sayang bisa menjadi sejahat saat ini.

Robinson kembali terkekeh, menarik cerutunya dan menginjak benda tersebut hingga baranya mati. “Bagus, ini yang kutunggu selama ini. Tapi kau ingat Rustam! Selangkah kau maju, maka tidak ada kesempatan sedikit pun untukmu mundur!” katanya dengan mimik muka seriusnya. Aku mengangguk penuh keyakinan, memang ini keinginanku. Jika kata mereka aku berdosa, maka kini aku berendam dalam kubangan dosa itu, makin memperkotor diri—hingga sang Esa pun enggan untuk sekadar menatap wajahku meski dalam radius berapa pun.

“Setuju, kau diterima!” katanya sembari mengulurkan tangan menjabatku, tangan seorang pembunuh dingin yang tak pernah diendus oleh dinginnya jeruji besi. Robinson ialah warga negara asing yang pernah singgah di kota kelahiranku dulu—Medan. Awal-awal aku mengenalnya, ia sempat menjadi guru honorer di desa kami, mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak pedalaman. Tujuannya begitu murni waktu itu—ingin mencerdaskan anak-anak nusantara. Namun, sayang dunia lagi-lagi kejam. Robinson yang tulus harus terkotori dengan fitnah yang ada, ia dicurigai sebagai teroris yang sengaja bersembunyi di negara antah-berantah. Akibatnya, masyarakat semena-mena menghakiminya, mengibirinya dengan kejam hingga Robinson menyimpan rasa sakit itu dalam diam. Lambat laun, kesakitan itu berubah menjadi kerak kebencian yang menenggelamkannya dalam pusara hitam perdagangan.

Pria itu, resmi bergabung dengan sindikat perdagangan budak dan organ manusia. Menculik dan membunuh anak-anak tak berdosa hanya demi secarik kertas bernama uang. “Terima kasih,” ujarku datar. Ia menyeringai, mengacungkan gelas berisi wine-nya ke arahku, aku mengangguk tanpa menerima gelas itu.

***

Satu, dua, tiga! Hap! Tubuh ringkih itu langsung terkulai tak berdaya, pergerakan gesit tubuhnya pun mulai melemah dan berakhir dengan terpejamnya kedua kelopak matanya. “Kerja bagus! Anak ini incaran kami yang begitu sulit didapatkan Rustam! Kau tahu, penjagaan di rumahnya begitu ketat!” aku menatap ke arah Joni dengan tidak tertarik.

“Lalu, apa selanjutnya misiku?” tanyaku dingin.

“Karena kau masih baru bergabung dengan kami, hari ini kau hanya melihat bagaimana cara kerja kami. Sekarang, sebaiknya kita pergi!” pria itu mendesak tubuh si kecil agar masuk dalam karung goni yang sudah kami persiapkan. Karena tinggi anak itu melebihi batas karung, dengan kejamnya pria ini memukul tulang kering si anak dengan linggis di tangannya. Alhasil, darah pun tercecer.

“Kau gila!” seruku dengan pandangan jijik.

“Kau harus banyak belajar untuk menghilangkan sikap jijikmu! Dalam pekerjaan, jijik menjadi hal paling akhir!” katanya sembari menyeret karung goni tersebut.

Kami sampai di sebuah ruang bawah tanah, di mana sudah terkumpul puluhan anak yang sudah dalam keadaan tidak sadar. Mungkin, mereka sudah kehilangan nyawa? Entahlah, kurasa aku akan berhenti peduli terhadap keadaan orang lain. Kuedarkan pandanganku ke segala penjuru ruangan, bau anyir dan tanah menyeruak menjadi satu.

Mereka yang berbadan besar tengah menyiapkan pisau tajam di tangan mereka. “A-apa yang selanjutnya kalian la-lakukan?” tanyaku tercekat.

“Menyembelih mereka,” ujar Jodi enteng.

“Gila!” umpatku membuat mereka semua terkekeh menatapku. Apa yang salah? Apakah mereka sudah tidak waras? Membunuh anak yang tidak berdosa! Tak kuasa lagi, kutinggalkan ruangan itu, tak ingin lagi kukotori netraku dengan perilaku manusia yang sudah diambang kewarasan. Bahkan sikap mereka melebihi binatang jalang sekali pun. Tak membayangkan jika Tika—anakku sendiri diperlakukan demikian.

Aku memang berasal dari organisasi gelap itu, tapi sejujurnya aku tak pernah andil saat pemboikotan itu terjadi—saat darah tumpah ruah di sana-sini. “Maafkan Ayah, Tika,” ujarku lirih.

***

“Tidak mungkin itu Tauke! Kau tidak bisa mundur lagi, atau Robin akan mengoyak lehermu sendiri dengan samurai yang ia punya!!” pagi-pagi yang tenang harus dikacaukan dengan pekikkan suara Frank yang begitu memekakkan telinga—sakit!

“Itu hakku! Kau tak berhak menyuarakan apa isi hatimu, kau hanya perlu diam dan bekerja sesuai perintahku! Kalau memang ini batas hidupku, mau aku dilindungi pakaian besi pun aku akan tetap mati!” entah apa yang mendorongku bisa seberani ini.

Hanya karena ucapan, “Selamat tidur Ayah,” dari Tika semalam melalui telepon, hati kecilku jadi tergerak untuk mengakhiri semua ini. Kesadaranku tentang shadow economy yang makin mencekik keuangan negara membuatku termotivasi untuk menghentikan bisnis hitam ini. Rakyat kaya dan negara makin menderita—kurasa cara pikirku yang demikian sudah berubah karena malaikat kecilku yang selalu singgah di hati. Dialah buah hati tercintaku.

“Entahlah Frank, kurasa kita harus membubarkan organisasi ilegal ini. Tak lelah kah kau, bertahun-tahun hidup dalam kejaran polisi, berstatus sebagai narapidana yang menjadi sorotan publik? Tak ingin ‘kah kau, hidup damai, mempunyai bayangan masa depan cerah—tentunya dengan pekerjaan yang mulia pula. Apakah kau juga tak ingin mewujudkan impianmu yang tertunda? Menjadi seorang penulis, layaknya Andrea Hirata? Ayo kita wujudkan itu semua,” jelasku panjang lebar.

“Tapi Tauke..”

“Aku tidak pantas kau panggil Tauke, derajat kita sama. Tidak ada lagi anak buah, tidak ada lagi perintah-memerintah. Kita akan memulai semuanya dari awal,” Frank menangis tersedu-sedu, merengkuh tubuhku kuat-kuat. Aku hanya bisa tersenyum samar, nyatanya di balik kelempengan wajahnya ia juga menyimpan luka yang menganga dalam batinnya.

“Tapi, bagaimana kita bisa lepas dari Robinson? Aku tak ingin keluargaku menjadi incaran pria psycho sepertinya!” kata Frank bergidik ngeri.

“Mari kita hadapi bersama-sama!”

***

Aku menatap mengiba pada gundukan tanah yang kini terpapar jelas di hadapanku, taburan bunga tujuh rupa memperjelas jika gundukan tanah itu berisi manusia yang akan bermetamorfosa menjadi bangkai. Kususur pelan air mata yang menaungi kelopak mataku, “Aku tak menyangka jika kau akan berakhir seperti ini, maaf… maafkan aku yang selama ini membiarkan ketidakadilan merusak moralmu kawan. Tenanglah kau dalam dekapan sang Esa,” ujarku sembari menabur bunga di atas pusara itu.

Kutatap lagi nisan tersebut, merasa merinding dengan skenario Tuhan. Entah kapan, aku akan menyusulnya dalam liang kubur? Ah.. hanya Tuhan yang tahu.

“Ayo Tauke, kita harus segera pulang ke kampung halaman masing-masing!” seru seseorang sembari menarik tubuhku agar berdiri. Aku mendongak menatapnya, mendecak kesal. “Sudah kubilang, aku bukan lagi seorang Tauke. Panggil aku Rustam!” seruku. Ia hanya terkekeh geli, lalu berjalan mendahuluiku.

“Hai Rustam bangka, ayo kita raih impian kita seperti yang sempat kau ikrarkan senja itu!” aku geleng-geleng kepala melihat Frank memekik kegirangan. Seakan beban yang selama ini bertumpu di tulang belakangnya musnah sudah.

Pada akhirnya kematianlah yang dipilih Robinson untuk akhir hidupnya. Saat penggerebekan oleh anak buahnya terhadap kami berdua, aku pun sudah mempersiapkan matang-matang. Termasuk, menghubungi pihak berwajib untuk melindungi kami, tapi Robinson enggan untuk menyerah dan berakhir dengan kematian.

Dunia tak pernah tahu, bagaimana laki-laki itu menjerit atas nasib yang merenggut masa depannya. Robinson hanyalah satu dibanding segelintir orang yang memiliki visi dan misi yang begitu mulia untuk peradaban bangsa, namun lagi-lagi ketidakberdayaan memaksa menyekap mereka dan mengubur impian dalam-dalam. Mungkin, negeriku tidak akan pernah tahu pengabdian seperti apa yang pernah dilakukan pria yang kini dinilai kejam oleh media umum—menculik anak-anak tak berdosa lalu membunuh mereka secara keji dengan bagian tubuh yang tidak utuh lagi.

“Diberkahilah engkau oleh Tuhan Yang Maha Esa, tenanglah dalam peristirahatanmu.” Salamku padanya. Perlahan pergi meninggalkan tanah lapang yang terdapat ratusan nisan berjajar rapi. Rumah masa depanku kelak. . .


Nama saya Linda Kartika Sari. Hanyalah turunan Adam yang menyalurkan bakat lewat tulisan, seorang penikmat musik dan bacaan yang berhubungan dengan kehidupan. Hidup pun tak memiliki tingkatan tinggi—hanyalah siswa pelajar dari putih dan abu-abu.

FB       :           Linda Kartika Sari

 

Facebook Comments

Jejak Publisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.