Ternyata Kakak…
Aku menutup mulutku yang menganga karena tak menyangka melihat kakak pulang bersama mamah dalam keadaan yang masih tidak bisa melihat. Seminggu yang lalu kakak dioperasi di rumah sakit yang berada di daerah rumah kakek dan nenek, karena sudah mendapat donor kornea mata dari orang lain.
“Kak, mata kakak?” Aku melambaikan tanganku ke wajahnya tepat di bagian matanya. Namun, tidak ada reaksi dari matanya. Sama sekali tak bekedip.
“Mah, kakak, kok, tetap gak bisa melihat?” Aku bertanya pada mamah yang sedang menggandeng tangannya. Tapi, mamah tidak menjawabku. Ia malah masuk ke dalam meninggalkanku dan kakak yang masih berada di depan pintu.
“Kakak gak apa-apa, kok, jika harus selamanya gak bisa melihat. Asalkan kakak bisa terus bersama kamu, Dek.” ia berkata sambil memegang erat tongkat yang selama ini menuntunnya dalam gelap. Aku menangis mendengarnya.
“Maafkan aku, Kak. Karena aku kakak jadi gak bisa melihat seperti ini.” aku memeluknya, menumpahkan tangisku di dalam pelukannya.
“Jangan menangis, kakak gak apa-apa, kok.” ia membalas pelukanku dengan tangan kirinya mengelus lembut rambutku yang sedang tergerai.
Andai sikapku dulu tidak seperti itu padanya, pasti sekarang ia masih bisa melihat indahnya dunia ini, juga bisa tetap belajar untuk menjadi apa yang dicita-citakan olehnya. Tapi karena keegoisanku, kehidupannya menjadi hancur. Sekarang ia tidak bisa melanjutkan kuliahnya yang sebentar lagi akan selesai. Kalau seperti ini jadinya aku tidak bisa membuktikan ucapanku pada Cindy, teman sekaligus musuhku di sekolah bahwa aku mempunyai kakak yang tampan dan sempurna saat di acara pesta ulang tahunnya yang akan berlangsung tiga hari lagi.
Seminggu yang lalu, aku mendapat undangan dari Cindy yang berulang tahun ketujuh belas. Ia memberi syarat kepada para undangan dengan membawa saudara, kakak atau adik saat datang ke pesta ulang tahunnya nanti. Selain merayakan ulang tahunnya, ia juga akan merayakan kelulusan kakak perempuannya yang sudah menyelesaikan kuliahnya sambil memperkenalkan kakaknya itu pada kami. Aku langsung menceritakan itu pada kakak melalui telepon ketika ia sedang berada di rumah kakek dan nenek untuk melakukan operasi di rumah sakit yang berada di sana.
Aku pikir kakak akan bisa melihat kembali setelah dioperasi nanti. Namun aku salah, ia tetap tidak bisa melihat meski sudah mendapat donor mata dari orang lain. Bagaimana aku bisa membuktikan ucapanku pada Cindy kalau kakak masih tidak bisa melihat? Padahal, aku menerima tantangan Cindy saat ia menantangku untuk mendatangkan kakak yang sudah kuceritakan padanya saat di pesta ulang tahunnya nanti. Pasti dia akan menertawaiku ketika mengetahui kakak yang selama ini aku bangga-banggakan padanya ternyata dalam keadaan seperti itu, tidak bisa melihat.
“Dek, kamu masih mau datang ke acara ulang tahun temanmu sama kakak?” Tanyanya sehari sebelum pesta ulang tahun Cindy berlangsung.
Aku hanya diam mendengarnya. Aku bimbang. Sebenarnya aku tidak malu datang ke sana dengannya, tapi aku takut ia hanya menjadi bahan tontonan dan tawaan orang-orang yang ada di sana, terutama Cindy.
“Dek, kok diam? Kamu masih mau datang ke acara ulang tahun temanmu sama kakak, gak?” ia mengulangi pertanyaan yang diajukannya tadi padaku karena aku hanya diam, tanpa menjawabnya.
“Mau dong, Kak, kan cuma kakak yang aku punya.” Jawabku.
“Yakin? Gak malu datang ke sana sama kakak?”
“Kenapa harus malu? Kakak, kan, kakak aku, masa aku malu, sih, datang sama kakakku sendiri?” kakak tersenyum mendengarnya.
Ketika hari ulang tahun Cindy tiba, aku merapikan penampilannya. Selama ini penampilannya suka acak-acakkan. Terkadang salah memakai baju. Seharusnya bagian depan, malah dia pakai di bagian belakang. Rambutnya pun tidak tersisir dengan rapi karena ia tidak bisa merapikan dirinya sendiri.
“Kakak ganteng!” Pujiku setelah merapikan penampilannya.
“Yeh, percuma aja ganteng kalau kakaknya gak bisa melihat.” Ucapnya putus asa.
“Kakak, kok, bicaranya gitu, sih? Aku gak suka, deh, kalau kakak jadi gak semangat gini. Sudah, ayo kita berangkat.”
Aku langsung menggandeng tangannya, menuntun ke mamah untuk berpamitan.
“Mah, aku sama kakak berangkat dulu, ya.” Pamitku padanya yang sedang menonton tv di ruang tengah.
“Iya, hati-hati. Jaga kakak, ya!” Pesan mamah.
“Iya Mah, pastinya.” Jawabku.
“Mamah, kok Bintang yang menjaga aku? Seharusnya, kan, aku yang menjaga Bintang.” kakak angkat bicara mendengar pesan mamah itu.
“Gak apa-apa, Kak, kali ini aku yang menjaga kakak, ya.”
“Kamu ini,”
“Hehehe..”
Lalu, aku dan kakak ke luar dari rumah dan berjalan sebentar menuju jalan raya menunggu taksi yang datang untuk bisa mengantar kami sampai ke rumah Cindy. Sekitar lima menit menunggu, akhirnya taksi pun datang. Aku dan kakak masuk ke dalam, kemudian taksi itu melaju dengan kecepatan sedang.
Di perjalanan, aku tidak bicara sama sekali dengan kakak. Hatiku tak tenang membayangkan bagaimana nanti setelah tiba di pesta ulang tahunnya Cindy. Tapi, aku mencoba untuk berpikir yang baik-baik hingga tak terasa kami sudah tiba di depan rumahnya.
Para undangan menoleh ke arah kami ketika kami baru berjalan tiga langkah memasuki halaman rumah Cindy. Ia belum melihat kedatangan kami, ia masih sibuk menyambut tamu-tamunya yang baru saja datang sebelum aku. Setelah itu, ia melihat-lihat sekeliling sampai akhirnya matanya terbelalak ketika melihatku dan kakak.
“Jadi ini kakak kamu? Kakak yang kamu bilang sempurna, kakak yang kamu bangga-banggakan, dan kakak yang…”
Sebelum ia melanjutkan ucapannya yang bermaksud untuk mencemooh kakak, aku langsung memotongnya.
“Cukup Cindy, cukup. Aku sudah memenuhi persyaratan kamu dengan mengajak kakakku untuk datang ke ulang tahun kamu karena aku masih menghargai kamu sebagai temanku. Tapi kenapa kamu malah seperti ini?” Aku berkata dengan nada tinggi tanpa mempedulikan yang lain sedang memperhatikan kami.
“Selamat ulang tahun, ya. Sampaikan selamat buat kakak kamu juga yang sudah menyelesaikan kuliahnya. Ini kado buat kamu, kami pamit!” Cepat-cepat aku berkata sambil memberikan kado yang sedang kupegang padanya sebelum ia lebih mencemooh kakak lagi.
Kemudian, aku langsung membawa kakak pergi meninggalkan rumah sekaligus pesta ulang tahun Cindy dengan terburu-buru. kakak masih dalam kediamannya tanpa berkomentar sama sekali saatku dan Cindy saling berbicara tadi. Aku terus menggandeng tangan kakak dengan kesal. Kami terus berjalan, tetapi masih di sekitaran rumah Cindy. Ketika melihat ada bangku di sebuah taman aku mengajak kakak untuk beristirahat sejenak.
“Maafkan sikap Cindy tadi ya, Kak.” Amarahku sedikit reda ketika sudah menjatuhkan pantatku di bangku tersebut.
“Gak apa-apa, kok, Dek. Coba kalau keadaan kakak gak seperti ini, teman kamu pasti gak akan seperti itu.” ia selalu mengatakan itu setiap kali yang lain berlaku seperti Cindy tadi. Aku hanya diam mendengarnya sambil melihatnya. Pandangannya terus ke depan tanpa beralih ke mana pun.
Saat tahu ada yang menjual minuman di sekitar tempat kami ini, aku berniat membeli minum untukku dan kakak.
“Kak, aku mau beli minum dulu. Kakak tunggu di sini, ya.” Kataku sambil beranjak pergi menuju penjual minuman yang sedang mangkal di sana. Kakak hanya mengangguk tersenyum menjawabnya.
Aku pun kembali kepada kakak setelah membawa dua botol minuman yang rasanya sudah tidak asing lagi untuk lidah kami berdua. Kami langsung meminumnya sambil mengobrol-ngobrol yang membuat kami lupa waktu.
“Sudah malam, Kak, pulang yuk!” Ajakku saat tahu waktu sudah menunjukkan pukul sebelas.
Ketika aku hendak menggandeng tangannya dengan maksud menuntunnya berjalan seperti biasa, ia menolaknya.
“Jangan dituntun, ya, kakaknya, kakak bisa jalan sendiri, kok.”
“Nanti kalau kakak kesandung batu terus jatuh bagaimana? Aku gak mau kakak kenapa-kenapa.” Aku menolak keinginannya itu. Jelas saja, bagaimana ia bisa berjalan dengan baik tanpa terjatuh kalau ia saja tidak bisa melihat yang ada di sekelilingnya?
“Lihat kakak!” ia berkata sambil mengoyang-goyangkan tanganku yang sedang mengikat tali sepatuku yang tanpa disadari terlepas.
“Lihat kenapa, Kak?” Tanyaku yang masih mengikat tali sepatuku.
“Lihat kakak, Dek, lihat kakak!” ia terus menyuruhku untuk melihatnya sambil terus menerus mengoyang-goyangkan tanganku.
Setelah mengikat tali sepatuku, aku langsung melihatnya seperti yang ia perintahkan tadi.
“Kakak?” Aku membelalakkan mata dan menganga saat melihat posisi duduknya menghadapku, juga pandangan matanya yang biasanya hanya lurus ke depan kini memandangku.
“Jangan nganga gitu, Dek, jelek tahu.” ia berkata sambil menutup mulutku yang sedang menganga dengan tangannya. Aku membuang tangannya dari mulutku lalu menarik wajahnya dengan kedua tanganku mendekat ke wajahku.
“Kakak bisa melihat?” Tanyaku. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum sebagai jawabannya.
Karena masih tidak percaya, aku melambaikan tanganku ke wajahnya untuk memastikan bahwa ia sudah bisa melihat. Matanya berkedip. Ternyata benar, ia bisa melihat. Kedua bola matanya tertuju tepat pada kedua bola mataku saat kami bertatapan.
“Yeeeyyy, kakak bisa melihat lagi!!” aku berteriak kesenangan tanpa sadar orang-orang yang sedang berlalu di jalan melihat ke arah kami karena mendengar teriakkanku. Melihat itu, kakak langsung menaruh jari telunjuk kanannya ke bibirnya, mengisyaratkan padaku untuk tidak berisik karena orang-orang sedang melihat kami.
“Maaf ya, kakak cuma pura-pura aja buat ngetes kamu. Dan hasilnya kamu lulus tesnya karena ternyata kamu sudah mengubah sikap buruk kamu yang dulu. Hahaha.” Ia tertawa terbahak-bahak.
“Ah.. Kakak jail!!” Aku menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi. Sementara ia masih tetap tertawa terbahak-bahak.
“Jadi, operasi kakak waktu itu berhasil?” Tanyaku. Ia mengangguk.
“Berarti, mamah sudah tahu dong masalah ini?”
“Iya, malah kakak sama mamah sepakat untuk mengetes kamu dengan cara kakak tetap berpura-pura gak bisa melihat.”
“Ah.. kalian resek sudah membohongiku.”
“Hahaha, kasian adik aku dibohongin.”
Aku kembali menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi, sementara ia hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Aku benar-benar tak sadar kalau ia hanya berpura-pura. Ia sangat terlihat seperti dulu, yang masih tidak bisa melihat.
“Aku janji akan mengubah sikap burukku ke kakak, aku akan patuh dan sayang sama kakak. Pokoknya, aku akan menjadi adik yang baik buat kakak.” Aku berkata sambil menggenggam kedua tangannya, sementara ia dengan serius memperhatikanku yang sedang berbicara.
“Maaf, ya, Kak, dulu aku sempat membenci kakak atas kepergian ayah. Padahal, itu semua bukan kesalahan kakak. Ayah pergi bukan karena kakak, tapi karena takdir. Maafkan aku, Kak, maafkan aku sudah jahat sama kakak.” Tak lupa aku kembali meminta maaf atas apa yang sudah kuperbuat dulu padanya.
“Gak apa-apa, Dek, kakak mengerti, kok. Kamu pasti gak rela, kan, ayah pergi? Tapi kamu gak menyangka, kan, punya kakak yang ganteng?” Ia tersenyum nakal.
Mendengar itu, lagi dan lagi aku menghujani tangannya dengan pukulan yang bertubi-tubi. Kami pun tertawa lepas. Lalu, kami pulang ke rumah ketika malam semakin larut.
Keesokkan harinya, aku berangkat sekolah untuk yang pertama kalinya diantar kakak. Padahal, dulu ia selalu menawariku untuk diantar olehnya. Tapi, aku selalu menolaknya karena aku masih membencinya. Kini, rasa benci itu sudah hilang dari dalam hatiku. Dan kini juga, rasa sayanglah yang semakin hari semakin bertambah padanya.
Namaku Siti Mariyam. Lahir di Tangerang pada 2 Januari 1999. Aku masih kelas 3 di SMA Arif Rahman Hakim yang ada di tempat tinggalku ini, Tangerang Selatan. Hobi menulis dan membaca cerita. Cita-cita sudah pasti penulis. Hehe, gak juga kok ? cita-citaku banyak, sampai bingung mau jadi apa. Hihihi ??? yang jelas aku ingin menjadi orang yang sukses, baik, dan jujur.