HENTI
Sebagian orang sangat mencintai hujan, mendamba-dambakan tetesan air yang katanya bisa memberi kebahagiaan, mampu menyamarkan air mata, sanggup mengalahkan isak tangis dengan suara tetesannya yang semakin deras. Mari kuberitahu, bahwa aku bukan termasuk ke dalam sebagian orang itu. Aku sama sekali tidak tergila-gila dengan hujan, menurutku hujan hanya tetesan air yang jatuh dari langit, tak ada makna lain yang lebih baik dari itu. Orang-orang terlalu berlebihan bila memandang hujan sebagai sesuatu yang patut diabadikan, karena katanya, hujan membangkitkan kenangan.
“Melamun lagi,” suara berat milik seseorang mengusik lamunanku akan persepsi tentang hujan. Tubuhku memutar ke belakang, kedua mataku menangkap sosok lelaki bertubuh tegap yang berdiri di antara rak-rak perpustakaan. Sudut bibirku melengkung ke atas, tepat seperti dugaanku bahwa lelaki itu akan merelakan jam pulang sekolahnya untuk menyapa buku-buku perpustakaan.
“Belajar lagi?” tanyaku tanpa mengalihkan pandangan darinya. Begini caraku memandangnya dengan leluasa, beginilah caraku mengagumi dirinya dengan jarak yang cukup dekat.
“Hmm…” ia hanya bergumam seraya meraih salah satu buku dari atas rak, buku yang mengulas hal-hal berbau astronomi. Aku tetap memandanginya sampai akhirnya ku dengar lagi ia berkata, “Kenapa belum pulang?”
“Hujan,” jawabku sambil meraih salah satu novel. Kami berdua duduk di atas kursi yang disediakan di ruang perpustakaan, tidak ada orang lain yang berada disini karena perpustakaan merupakan tempat yang paling jarang dikunjungi oleh murid SMA. Tempat ini menjadi rekomendasi pertama bagiku untuk melihat lelaki itu, lelaki yang 6 bulan terakhir ini mampu membuat anganku meninggi.
Namanya Juna. Arjuna Fabian. Ia pernah bercerita bahwa nama depannya diambil dari tokoh pewayangan, dan nama itu menjadi jajaran pertama siswa berprestasi di SMA Royal High School. Kami berdua bukan teman sekelas, hanya dua orang yang kebetulan sering menghabiskan waktu untuk membaca jenis buku yang berbeda. Aku dengan segala jenis novel, ia dengan buku-buku pelajaran dan astronomi. Belajar. Itu adalah motto hidupnya. Ia adalah lelaki genius yang memikirkan masa depan.
Perpustakaan adalah tempat kami dipertemukan. Mulanya kami hanya teman satu angkatan yang tidak pernah dekat, namun waktu terus mempertemukan kami hingga menjadi dua sosok yang sangat akrab. Awalnya aku hanya mengagumi kecerdasannya, mengagumi caranya berbicara, mengagumi caranya tertawa, namun seiring waktu kekaguman itu berubah menjadi sesuatu yang bahkan tak bisa aku jelaskan. Sosoknya mampu mengacaukan seluruh kata dalam otakku dengan begitu cepat, sosoknya mampu membuat jantungku bekerja lambat.
“Jun,” panggilku nyaris tak terdengar. Aku bahkan menutup novel yang sedang kubaca, seseorang yang duduk di hadapanku ini lebih menarik daripada apapun juga. Aku akui, saat ini ia menjadi tali tempat harapanku bergantung.
“Hmm…” lagi-lagi ia hanya bergumam tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca. Aku memperhatikan betapa seriusnya ia membaca, ia seperti berada di ruang yang gelap, sunyi, dan tak ada siapapun yang mampu mengganggunya.
“Kenapa sih, kamu harus belajar seserius ini? Ini kan udah jam pulang sekolah, semua orang senang karna jam pelajaran berakhir. Tapi kamu, malah nambahin waktu belajar untuk diri sendiri.” Aku memandangnya dengan heran, ia adalah lelaki yang tidak mudah diterka jalan pikirannya.
Juna membalikkan halaman bukunya, menyandarkan tubuh tegapnya pada kursi. Suaranya kembali terdengar, “Belajar itu penting, Kana.”
“Aku tau, tau banget kalau belajar itu penting. Tapi kamu dikasih kehidupan dan waktu sama Tuhan bukan hanya untuk belajar, ada pelajaran lain yang harus kamu rasakan dari kehidupan, bukan hanya dari sebuah buku.” Aku tidak sedikitpun mengalihkan pandangan darinya, biarlah dia mencerna ucapanku agar ia tahu bahwa kehidupan tak hanya dihabiskan untuk belajar. Namun kehidupan adalah sebuah perjalanan agar kita mampu menghargai perasaan dan kesempatan.
“Tapi dari buku, udah banyak pelajaran yang saya dapat,” jawabnya lugas.
Aku tertawa hambar. Tak habis pikir mengapa kehidupan lelaki ini hanya berputar di satu siklus saja. “Hidup ini butuh pemanis, Jun, kamu gabisa dapetin kebahagiaan hanya dengan membaca buku.”
Akhirnya mata yang sejak tadi aku tatap, menatap ke arahku sepenuhnya. Juna menurunkan buku yang ia baca, memandangku dengan alis yang terangkat ke atas, kemudian bertanya, “Apa pemanis yang kamu maksud itu?”
“Cinta.”
Juna tertawa kecil, ia menatapku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah ucapanku barusan hanya satu kata tanpa makna. “Kamu terlalu sering baca novel, Kana,”
Aku menatapnya dengan wajah datar, siapa yang tidak kesal jika argumennya ditertawakan. Juna sepertinya mengerti perubahan ekspresi wajahku, ia menghentikan tawanya dan kembali bertanya dengan serius, “Darimana saya bisa dapatkan kebahagiaan yang kamu maksud?”
“Dari hati kamu,” jawabku memberikan sedikit jeda. “Hati kamu yang bisa merasakan kebahagiaan itu. Kamu gak akan bisa menemukan kebahagiaan di buku apapun, kamu hanya bisa menemukan kebahagiaan itu saat kamu jatuh cinta.”
“Apa kamu sudah merasakan jatuh cinta?” tanyanya.
“Ya.”
“Boleh saya tahu siapa orang yang bikin kamu bahagia itu?”
Aku menghela napas berat, entah mengapa jawaban yang sangat mudah jadi terasa sulit. Entah mengapa sorot itu membuat hatiku terasa sakit. “Nanti..,” aku memberi jeda sebentar. “..kalau kamu sudah merasakan jatuh cinta, aku akan berikan jawabannya.”
Juna terdiam. Hanya ada dua kemungkinan dalam diamnya, kemungkinan pertama adalah ia merekam setiap ucapanku dan bersedia membuka hati agar bisa merasakan kebahagiaan yang kumaksud, kemungkinan kedua, ia menganggap ucapanku hanya sebuah angin yang berlalu begitu cepat. Namun aku sangat berharap bahwa diamnya adalah kemungkinan yang pertama, agar Juna mampu membuka hatinya dan melihat bahwa ada seseorang yang diam-diam ingin menjadi alasan bahagianya.
***
Sudah hampir satu bulan aku tidak mengunjungi perpustakaan, tentu saja aku memiliki alasan yang kuat, aku sibuk mengikuti bimbel karena banyak sekali ujian yang aku hadapi mengingat posisiku sebagai murid kelas XII. Tentu saja aku jadi jarang bertemu dengan Juna, terakhir kami bertemu di koridor sekolah, ia berjalan menuju ruang multimedia, sementara aku menuju kantin. Dia menyapaku, dan tersenyum seperti biasa. Senyum yang aku rindukan akhir-akhir ini. Aku yakin Juna sangat belajar dengan keras untuk menghadapi ujian, terlihat dari kantung matanya yang menandakan bahwa ia tidur sangat larut.
Aku melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tanganku berulang kali, seharusnya hari ini aku bisa mengunjungi perpustakaan mengingat ujian sekolah berakhir kemarin, namun aku terjebak di ruang guru bersama dengan kertas-kertas penilaian. Mr. Smith, selaku guru Bahasa Inggris memintaku untuk membantunya memasukkan nilai ujian setiap kelas. Mana mungkin aku menolaknya mengingat guru itu sangat baik padaku. Entah apa yang terjadi pada diriku yang begitu ingin melihat wajah Juna. Seluruh indraku sangat merindukannya.
Setelah semua nilai selesai dimasukkan, aku segera pamit pada Mr.Smith untuk keluar. Aku berlari sepanjang koridor dan berharap supaya sosok yang ingin aku jumpai itu masih berada disana, harapan itu diiringi dengan doa-doa kecil dalam hatiku. Aku menghentikan langkah dan mengatur napasku ketika sampai di depan pintu perpustakaan, sebersit senyum tiba-tiba muncul ketika melihat sepatu milik Juna berada disana.
“Kana,” baru saja tanganku bergerak ingin membuka pintu perpustakaan, namun sosok yang ingin aku lihat sudah berdiri di hadapanku dengan tas yang tersampir di bahunya. Juna memandangku, mungkin ia heran mengapa jam segini aku masih berada di sekolah, atau mungkin, ia melihat aku berlari-lari dan menganggap bahwa aku adalah gadis yang bodoh.
“Juna,” balasku masih dengan senyuman. Rasanya sudah sangat lama aku tidak memanggil namanya. Mungkin ini berlebihan, namun ketika merasakan jatuh cinta, satu hari bahkan terasa sangat lama jika aku tidak melihatnya. Rindu ini merangkum seluruh harapan dan keinginanku untuk sekedar menatapnya. Itu saja. Karena selama bersamanya, semua terasa cukup.
Namun senyumku memudar tatkala aku melihat gadis yang baru saja keluar dari perpusatakaan, kemudian berhenti di samping Juna. Juna menoleh ke arahnya dan bertanya sepatah kata, gadis itu menjawabnya sambil tersenyum. Aku tahu gadis itu, dia adalah Luna. Jelas saja Juna dan Luna saling mengenal karena mereka teman satu kelas, namun yang aku tidak tahu adalah kenyataan bahwa mereka terlihat sangat dekat. Dan sebelumnya aku tidak pernah melihat Luna mengunjungi perpusatakaan, aku sangat yakin bahwa akhir-akhir ini mereka sering menghabiskan waktu bersama.
“Mau minjem buku, Na?” tanya Luna dengan senyum ramah. Meskipun kami tidak dekat, namun aku tau bahwa Luna memiliki pribadi yang baik, yang mampu membuat siapapun jatuh hati padanya.
“Kamu sibuk banget ya akhir-akhir ini, saya jadi jarang lihat kamu di perpustakaan,” ujar Juna.
Semua kata yang berada di kepalaku mengabur, tiba-tiba saja ada perasaan takut bahwa aku tidak akan bisa menatapnya dengan jarak sedekat ini lagi, takut bahwa hal yang ku kejar ternyata tidak mampu aku raih.
“Kana?” suara Juna membuyarkan lamunanku, aku kembali menghadapi realita dimana ada sosok lain di antara kami. “Kebiasaan, ngelamun terus. Saya kan udah pernah bilang jangan sering ngelamun.”
Aku mengulas senyum, menarik napas selagi aku masih mampu bernapas ketika menatapnya. Terkadang, aku melupakan napasku sendiri karena begitu mencintainya. “Maaf..,”
Juna menghembuskan napas berat, “Yaudah, saya sama Luna balik duluan. Jangan terlalu lama di dalam, gerbang sekolah sebentar lagi ditutup.”
Tak ada suara yang keluar dari mulutku, hanya anggukan kepala yang mewakili respon atas ucapannya. Aku memandangi tubuh Juna dan Luna yang mulai menjauh, mampir rasa sesak yang tidak bisa aku jelaskan. Seperti ada batas antara aku dan Juna, dia terasa begitu jauh. Sangat jauh, sampai aku sendiri mulai ragu apakah aku masih bisa menggapainya.
***
Ujian Nasional telah berakhir dengan begitu cepat, waktu memang terus bergerak maju tanpa memedulikan sebuah persiapan, harapan, bahkan pengulangan kenangan. Tentu saja seluruh murid kelas XII di Royal High School sangat gembira mengingat tak ada lagi beban yang memberatkan bahu mereka. Biar kuberitahu, biasanya kebahagiaan seperti ini disalahgunakan oleh sebagian murid SMA untuk aksi corat-coret. Sudah kukatakan bahwa aku tidak termasuk ke dalam sebagian orang itu, lagipula aksi corat-coret bukanlah hal yang patut untuk dibanggakan, yang ada hanya merusak susunan generasi penerus bangsa.
“Kana!” seru seseorang dari arah belakang. Bibirku mengulas senyum, aku sangat mengenal suara ini. Tubuhku memutar ke belakang, sekarang aku dapat melihat dirinya dengan jelas. Kebanyakan murid kelas XII telah meninggalkan sekolah, hanya segelintir orang yang masih tersisa. Aku dan dia sebagai contohnya.
“Juna, tumben banget kamu nyamperin aku,” senyum dibibirku masih tersungging untuknya, padahal aku sibuk mengatur detak jantungku yang sudah mulai tak beraturan.
“Boleh saya bertanya?” sergah Juna cepat.
Aku menautkan alisku, tidak biasanya Juna bersikap seperti ini. “Apa?”
“Bagimana ciri-ciri seseorang yang jatuh cinta?” tanyanya lagi.
Aku terdiam sebentar. Mencoba untuk bersikap setenang mungkin, merangkai kata seapik mungkin. Ini adalah harapan terakhirku, kesempatan terakhir sebelum nantinya aku tak akan bertemu Juna dalam jangka waktu yang sangat lama. Sebelum nantinya kami berdua sibuk dengan dunia masing-masing, namun tidak bisa aku pungkiri bahwa aku masih berharap dapat berbagi dunia dengannya.
“Ketika kamu mencintai seseorang, hari-hari akan lebih membahagiakan dari biasanya, akan ada rindu, akan ada menunggu, ada perasaan dimana pengharapan kita bergantung pada orang itu. Dia adalah pusat dari dunia kita,” jawabku seraya mencari makna yang tersirat dibalik sorot mata Juna.
“Kana,” Juna memanggilku lagi, kali ini dengan satu helaan napas. Ia kembali melanjutkan ucapannya, “Saya rasa.., saya—jatuh cinta,”
Senyumku mengembang. Rupanya Juna merekam seluruh ucapanku saat itu, dan sudah sejak lama aku menunggu Juna membuka hatinya, berani menyentuh hal-hal bernama cinta. “Apa kamu merasa bahagia ketika bersamanya?”
“Ya, saya merasa bahagia.”
“Boleh aku tahu siapa orang dibalik kebahagiaanmu itu?” tanyaku hati-hati. Aku melihat sudut bibir Juna terangkat membentuk senyuman, aku ikut tersenyum melihat kebahagiaan terpancar dari matanya.
“Luna..,” jawabnya pelan, namun penuh kepastian. “Luna yang berhasil bikin saya merasakan kebahagiaan jenis ini. Seperti katamu, kebahagiaan yang tidak dapat ditemukan dalam buku apapun. Saya jatuh cinta, Kana. Jatuh cinta dengan Luna,”
Senyumku memudar. Entah mengapa rasanya sangat menyakitkan. Aku merasa tali pengharapanku dipupuskan begitu saja, aku merasa bahagiaku direnggut secara paksa. Tak ada yang lebih pedih selain mengetahui apa yang kau kejar, justru memilih pergi. Seharusnya aku tahu bahwa dirinya umpama benda-benda angkasa yang sering ia baca. Dia menjelma bintang, tak dapat aku raih. Dia menjelma matahari, sinarnya tak dapat aku miliki. Dia menjelma bulan, bagaimanapun aku menggapai tetap saja tak akan sampai.
“Kana,” panggil Juna kesekian kalinya. Ia menatapku yang menunduk, kemudian melanjutkan ucapannya, “Jadi, bisa saya tahu sekarang siapa orang yang membuatmu bahagia karena jatuh cinta?”
Pandanganku mengabur, air mataku sudah meleleh, dengan gerakan cepat aku menghapusnya. Aku mendongak, menatap wajah Juna sambil tersenyum getir. Dengan bibir bergetar, aku menjawab pertanyaannya. “Kamu..,”
Juna sangat terkejut mendengar pengakuanku. Mungkin aku perlu memuji keberanianku karena semua perasaan itu telah terkuak, atau mungkin aku harus merutuk-rutuki keberanianku yang nyaris sama dengan sebuah kebodohan.
“Kana,” Aku memejamkan mata mendengar suara Juna yang terdengar sumbang. “Maaf…,” ucap Juna lagi dengan satu tarikan napas. “Maaf Kana.., saya… gak tahu..,”
Aku menggigit bibir bawah menahan gejolak luka dalam hatiku yang mendesak ingin dikeluarkan dalam bentuk air mata. Sesak. Sangat sesak rasanya. “Juna..,” panggiku dengan suara serak dan napas tak beraturan.
“Kana.., saya–“
“Jun..,” Aku memejamkan indra pengelihatanku, menulikan indra pendengaranku, dan menghapus kepingan harapan yang detik ini telah pupus. “Aku… aku mundur, ya, Jun…”
***
Aku pernah berkata bahwa jatuh cinta adalah bentuk dari kebahagiaan, bukan? Jatuh cinta adalah pelajaran lain dari kehidupan tentang bagaimana cara kita menghargai perasaan, namun, perjalanan kehidupan tidak selalu mulus. Harapan kita tak selalu akan tercapai, tujuan kita bisa saja berubah seiring bergeraknya waktu, atau mungkin pelajaran dari masa lalu. Ada 2 kemungkinan yang menjadi jawaban dari proses jatuh cinta, yang pertama adalah bahagia, yang kedua adalah terluka. Namun, jika kita bisa mengambil makna dan pelajarannya, akan muncul kemungkinan ke-3, yaitu terluka dan bahagia di waktu yang bersamaan. Aku mencintainya, tentu aku terluka ketika orang yang aku cintai ternyata mencintai orang lain, namun hal yang tidak satu orang pun ketahui adalah bahwa aku bahagia. Aku bahagia melihatnya bahagia.
Kita tidak bisa memilih ingin menjatuhkan hati kepada siapa, aku juga tidak menyalahkan waktu atau takdir yang mempertemukan diriku dengannya. Perasaan ini berasal dari Tuhan, dan akan kembali pada Tuhan. Melupakan memang sangat sulit, namun ribuan tetes air mata tak akan mampu membuat kita lupa akan luka. Kunci utama dari melupakan adalah menerima, dan memaafkan. Itu adalah pelajaran yang aku simpulkan dari proses jatuh cinta.
Sebagian orang sangat mencintai hujan, mendamba-dambakan tetesan air yang katanya bisa memberi kebahagiaan. Mari kuberitahu, bahwa kali ini aku adalah salah satu dari sebagian orang itu. Kota Bandung pagi ini diguyur hujan, dan untuk pertama kali aku memandang hujan lebih lama dari biasanya. Aku ingin merubah persepsiku, hujan tidak hanya tetesan air yang jatuh dari langit. Tapi hujan adalah sebuah keikhlasan. Setiap tetesnya rela jatuh berkali-kali, meski tahu bagaimana rasa sakitnya. Namun hujan tidak abadi, bukan? Ada kalanya ia berhenti. Begitupula dengan kehidupan dan cinta, ada kalanya kita harus menghentikan perjalanan dan merubah tujuan, ada kalanya kita harus melepas apa yang tidak seharusnya kita genggam.
“Melamun lagi,” suara berat milik seseorang mengusik lamunanku. Tubuhku memutar ke belakang, seperti de javu, aku melihat tubuh tegapnya berdiri di hadapanku. Kali ini dengan seorang gadis berada di sampingnya.
“Masuk yuk Na, ditunggu sama kepala sekolah tuh di dalam buat foto kelulusan.” Luna tersenyum ke arahku. Karena terlalu lama memandang hujan aku sampai lupa untuk masuk ke ballroom di belakangku, tempat dimana acara kelulusan dan pelepasan murid kelas XII diadakan.
“Kalian masuk duluan aja, nanti aku nyusul,” balasku. Juna dan Luna mengangguk kemudian melangkah masuk ke dalam dengan tangan saling menggenggam. Aku terus memandang mereka sampai punggung mereka hilang dibalik dinding gedung. Aku tersenyum. Membiarkan semua berjalan sesuai rencana Tuhan.
Setiap cerita tidak selalu berakhir bahagia, karena bahagia itu sendiri bukan berada di penghujung, namun menyatu bersama proses. Setiap perjalanan tidak selalu sukses dengan menemukan tujuannya. Terkadang kita harus mengulangi perjalanan kita dari awal untuk mencapai tujuan yang berbeda. Perjalanan berhenti, namun kebahagiaan tidak akan pernah berhenti, akan ada orang lain yang mampu memberikan kebahagiaan dalam bentuk lain. Kunci utamanya hanya mengikhlaskan, merelakan, dan percaya bahwa Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih indah.
Ananda Aprilia (Lahir di Jakarta, 13 April 1999) adalah siswi tingkat akhir di SMA Negeri 85 Jakarta. Pernah meraih Juara 1 Cipta Puisi tingkat Kabupaten di Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N), dan meraih Juara Harapan 3 Cipta Puisi di tingkat Provinsi.