Maafkanlah Takdir, Untukku

Maafkanlah Takdir, Untukku

“Awas..!!” Teriak sebuah suara tiba-tiba. Sekejap kemudian, tubuhku sudah terhempas ke belakang. Sebuah tangan menggenggam pergelanganku dan menarikku bersamanya.

Bruk! Aku terjatuh di atas trotoar jalan yang berbatu, dengan posisi terlentang. Rasanya jelas sakit, jangan ditanya. Kepalaku pun menjadi pusing karenanya.

Aku segera duduk, tak ingin berlama-lama dalam rasa sakit. Dimana tongkatku? Batinku, saat menyadari benda itu tak ada di genggaman lagi. Aku pun meraba-raba sekitar.

“Ini, Kak.” Sebuah suara berujar dari arah depanku. Suara itu…. yang tadi berteriak!

“Terima kasih.” Kataku sambil mencoba meraih tongkat yang disodorkan seseorang itu. Aku pun berusaha berdiri.

“Kakak tidak apa-apa?” Seseorang di hadapanku kembali bertanya. Mendengar dari suara dan cara memanggilnya, sepertinya dia seorang anak kecil.

“Kakak baik-baik saja..” Aku meyakinkannya, “Kamu yang tadi menarik kakak?”

“Iya..” Jawabnya, “Tadi ada mobil yang hampir menabrak kakak soalnya.”

Mobil? Ah, cerobohnya aku. Untung masih ada yang peduli dengan gadis buta macam diriku. Sekarang, mencari orang baik itu sulit. Sekalinya ada, ya seperti ini. Malah anak kecil.

Sebuah senyuman kuuntai di bibir, “Sekali lagi terima kasih ya, Dik.”

“Sama-sama.. Panggil aku Syifa saja, Kak.” Ujarnya ceria. Aku bisa membayangkan senyum sumringah tengah merekah di bibirnya. Anak ini benar-benar periang.

“Syifa.. Nama yang cantik.” Pujiku, “Kamu boleh panggil kakak, Kak Nila..”

“Kak Nila..” Ulangnya.

***

 

“Jadi, kamu bisa main biola?” Tanyaku. Sore ini, Syifa mengajakku jalan-jalan. Kami sedang berada di sebuah kafetaria sekarang. Sejak pertemuan minggu lalu, kami menjadi akrab.

“Iya.. sudah dari dulu aku suka main biola. Musik selalu bisa membuatku bahagia.” Jawab Syifa. Dia terus bercerita tentang kehidupannya. Keluarganya, teman-teman, hobinya, semuanya. Untuk anak usia 9 tahun, dia tergolong cerewet dan terbilang agak manja.

“Kakak sendiri, bagaimana kehidupannya?” Aku terdiam. Belum pernah ada yang bertanya seperti itu padaku. Aku gadis buta dan miskin, tak ada yang menarik dari hidupku.

Belum sempat aku menjawab, deru mobil terdengar. Sopir Syifa sepertinya telah tiba. Gadis itu memang selalu diantar-jemput. Dia pasti anak orang kaya. Syukurlah, masih ada orang kaya seperti dia. Ramah, humble, dan rendah hati. Semoga dia selalu begitu.

“Pulang bareng yuk, Kak.” Syifa meraih tanganku. Dia langsung menarikku dari kursi dan mengajak menuju mobil. Aku terpaksa mengikuti sambil terus meraba dengan tongkat.

“Silakan, Non.” Ujar seorang pria, disusul suara pintu terbuka. Syifa menggiringku masuk, dan duduk bersamanya. Pintu pun tertutup. Mau tidak mau aku harus menuruti Syifa.

“Kita ke rumah Kak Nila dulu ya, Pak.” Ujar Syifa bersemangat.

“Siap, Non.” Mesin mobil dinyalakan. Kami pun melaju meninggalkan kafetaria.

***

 

“Syifa, ada apa?” Kataku bingung. Gadis cilik di sampingku yang sedari tadi bernyanyi ceria, kini terdiam membisu. Padahal baru setengah lagu yang ia senandungkan.

“Tidak. Aku tidak apa-apa, Kak.” Katanya, mencoba terdengar riang. Dia berbohong. Kali ini, dia jelas memaksakan diri untuk ceria. Aku tahu itu. Tapi, kenapa?

“Jujurlah, Syifa.” Kataku bersikeras. “Syifa baik-baik saja, Kak Nila cantik..”

Beneran? Syukurlah kalau begitu.” Aku tidak bisa memaksanya. Kalau terus dipaksa, dia justru akan semakin menutup diri. Tapi, apa yang sebenarnya terjadi pada Syifa?

Tidak, tidak. Aku tidak boleh memikirkan hal yang aneh-aneh. Paling tadi Syifa sedang melamun atau mengantuk. Toh, barusan cuma lagu. Tak perlu kupikirkan.

Omong-omong, jarak menuju rumahku lumayan jauh. Setidaknya cukup untuk sang mentari kembali ke peraduan. Senja telah berganti malam. Aku bisa tahu itu dari suasananya. Suara kendaraan tergesa-gesa, adzan maghrib menggema, serta dingin yang semakin terasa.

Laju mobil semakin melambat. Sepertinya kami hampir sampai. Tak lama, Mesin mobil pun berhenti menggerung, diiringi suara pintu terbuka. Aku segera turun dari mobil.

“Dadah! Selamat malam, Kak!” Seru Syifa dari dalam mobil, sesaat sebelum mobil itu melaju kembali, “Besok aku akan mampir lagi!”

Setelah mobil itu berlalu, hening pun terasa. Tak ada suara deru mesin. Pun begitu ocehan cerewet si gadis kecil. Kini, aku sendirian. Di tengah malam yang sunyi dan dingin.

Aku menghela napas. Merasakan suasana hening yang begitu damai. Desiran angin menerpa rambutku, bagai menyambut teman lamanya. Sejenak, aku berusaha mengosongkan pikiran. Membuang semua pikiran buruk, semua masalahku, segala yang tidak penting.

Tak terasa, air mataku menetes. Kenangan yang paling ingin kuhapus, justru kembali timbul. Malam, sudah lama aku tak bisa melihatmu. Aku rindu akan purnama dan bintangmu. Aku ingin menikmati indah warnanya lagi. Andai… Aku bisa kembali melihat.

***

 

“Jadi, Kakak tak bisa melihat karena kecelakaan?” Syifa memastikan.

Aku hanya mengangguk. Mengungkit masa lalu pahit tidaklah mudah. Menerima apa yang sudah terjadi, tanpa menyalahkan takdir. Kurasa itu suatu yang hampir dikata mustahil.

Siang ini, Syifa kembali berkunjung. Seperti janjinya semalam. Kali ini pun, dia diantar sopir. Bedanya, sang sopir kini menunggui Syifa. Tidak kelayapan seperti kemarin.

“Memangnya, kapan kecelakaan itu, Kak?” Tanya Syifa lagi. “Kamu pengin tahu?”

“Iya.” Jawabnya singkat. Yah, apa salahnya berbagi dengan anak kecil. Aku pun menceritakan semuanya. Mulai dari kematian ayah dan ibuku. Lalu malam terjadinya tragedi itu. Tabrakan antara motorku dengan truk, saat aku lulus SMA, tiga tahun lalu. Tentang aku pingsan selama sepekan. Dan saat siuman, aku sudah tidak dapat melihat. Semua kuceritakan.

“Saat pertama kali menyadarinya, Kakak benar-benar takut,” kataku dengan suara parau, “Semua hitam, gelap gulita.”

“Tenang, Kak. Yang penting takdir masih memberi kakak kesempatan untuk hidup.”

Aku tak sanggup berkata. Setegar apapun manusia, pasti ada rasa jengkel jika ditimpa derita. Aku sudah merasakannya. Berhari-hari aku menyalahkan takdir. Memaki kenyataan.

“Kamu belum tau bagaimana rasanya, Syifa.” Kataku akhirnya, disela-sela tangis.

“Mungkin.” Jawabnya lirih, “Jadi, Kakak masih belum bisa memaafkan takdir?”

“Jika takdir bisa mengembalikan lagi mata Kakak, mungkin Kakak baru dapat memaafkannya.” Aku berdiri dan hendak meninggalkan ruang tamu. Sebelum….

Bruk! Kudengar sesuatu terjatuh. Aku pun berhenti dan berbalik. “Ada apa, Syifa?”

Beberapa saat aku menunggu. Namun, tak ada jawaban. Aku segera melangkah menuju arah dimana Syifa duduk tadi, “Syifa? Apa yang jatuh?”

Masih tak ada sahutan. Tiba-tiba ujung tongkatku mengenai sesuatu. Sesuatu seperti gundukan. Bukan, ini tubuh seseorang! Sebelum sempat memastikan, sebuah suara berteriak.

“Ya Allah! Non Syifa!” Langkah kaki terdengar mendekat. Sopir yang sedari tadi menunggu di luar, kini berlari dengan tergesa ke dalam rumah. Dia terdengar begitu panik.

“Syifa kenapa, Pak?” Kataku tak kalah panik. Pria itu tidak menjawab. Entah terlalu panik, atau bagaimana. Dia terus menyebut nama Syifa. Seperti berusaha menyadarkannya.

Beberapa saat kemudian, suara lain berujar. Suara gadis cilik yang kini terdengar begitu nelangsa dan parau. “Aku tidak apa-apa, Kak. Hanya kelelahan.”

Aku berlutut sambil meraba-raba. Syifa kini sudah tidak terbaring di lantai. Dia tengah duduk di pangkuan sang sopir, kurasa. Aku mencoba meraba-raba tubuh di depanku. Awalnya kaki si sopir yang kutemui. Lalu, kuarahkan tanganku ke atas, mencari wajah Syifa.

“Kamu kenapa?” Aku memegangi pipi Syifa. Kulitnya terasa lebih dingin saat ini.

“Aku cuma kelelahan.” Syifa melepas peganganku, “Aku pulang dulu, ya, Kak.”

Aku masih terdiam. Pikiranku melayang-layang. Kilas balikku dengan Syifa tiba-tiba terlintas. Kejadian hampir tertabrak, perkenalanku dengannya, serta sikap cerianya. Lalu yang di mobil semalam, kejadian barusan, dan ucapan pamit Syifa. Semua terlintas begitu saja.

Suara pintu tertutup pun terdengar. Syifa telah beranjak pergi dengan sopirnya. Semoga kamu benar tidak apa-apa, Syifa. Batinku.

***

 

Sudah tiga hari Syifa tidak berkunjung. Jangankan mampir, mengabari pun tidak.

Aku tengah menyapu ruang tamu saat suara mesin kendaraan terdengar dari luar. Itu suara mesin mobil. Jangan-jangan Syifa. Batinku.

Tongkatku dengan segera memandu ke arah pintu. Tepat saat seseorang mengetuk pintu itu. Aku pun menarik gagang pintu, mencari tahu siapa gerangan yang sudi bertamu.

“Non Nila.” Sapa seseorang dengan suara berat dan serak. Suara ini familiar di telingaku. Aku kenal dia. Ya, aku kenal pria ini. Dia Sopir Syifa.

“Pak Aryo ‘kan? Sopirnya Syifa?” Tanyaku. “Betul, Non.” Jawabnya singkat.

“Mari-mari masuk,” Kataku mempersilakan, “Omong-omong, dimana Syifa?”

“Saya ke mari bukan untuk bertamu, Non. Saya disuruh Tuan menjemput Non Nila, dan memberi kabar.” Aku masih belum paham maksud pak Aryo. “Ini soal Non Syifa…”

***

 

“Apa?! Syifa menderita leukemia!” Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku.

Sekarang, aku telah berada di rumah sakit. Pak Aryo telah mengantarku ke sini. Sopir itu bilang ini adalah perintah dari ayah Syifa. Aku tak mampu membendung tangisku saat Ayah Syifa bercerita tentang penyakit putrinya, “Bagaimana keadaan Syifa sekarang, Om?”

“Syifa….Baru saja…meninggal lima belas menit yang lalu.” Ujar pria itu sesenggukan. Sontak, aku terhuyung ke belakang. Sesaat aku merasa separuh nyawaku telah melayang. Jantungku serasa tak berdetak, darah pun seakan tak mengalir.

Kilas balik pun kembali terjadi. Saat gambaran itu terlintas, aku merasa menjadi gadis paling bodoh di dunia. Kenapa aku tak menyadarinya? Kenapa aku membentaknya karena menganggap dia tak tahu bagaimana rasa sakit itu? Padahal, justru dialah yang lebih paham!

“Syifa beruntung bisa bertemu orang sepertimu, Nila.” Ujar ayah Syifa memecah lamunanku. Aku berusaha menegakkan badan, “Dia telah menganggapmu sebagai kakak.”

Aku masih terdiam. Gadis cilik yang selalu ceria itu, tak kusangka menanggung beban yang tak terkira. Rasa sakitku pun tak sebanding dengannya. Dia harus berurusan dengan maut karena sakitnya. Sedangkan aku, takdir masih memberiku kesempatan hidup.

Kenapa kau tak membenci takdir karena penyakitmu, Syifa? Kenapa kau berusaha ceria? Kenapa kau memintaku memaafkan takdir, sementara takdir yang memisahkan kita!?
“Ini ada rekaman dari Syifa, beberapa jam sebelum dia meninggal.” Ayah Syifa menjelaskan, “Dia ingin kau mendengarnya.”

Suara klik terdengar saat pria itu menekan tombol play pada alat perekam itu. Aku tak tahu apakah itu handphone, atau tape recorder. Tapi, itu tak penting.

“Hai kak Nila! Maafin aku ya, nggak bisa menemui kakak tiga hari ini. Aku harus menginap di rumah sakit soalnya. Aku mau cerita sedikit. Kakak mau mendengarkan ‘kan?”

Suara Syifa terus terputar dari rekaman itu. Dia bercerita pasal penyakit yang dideritanya enam bulan terakhir. Kejadian di mobil itu. Kebohongannya karena mengatakan hanya kelelahan, tempo hari. Dan tentang takdir yang mempertemukannya denganku.

“Awalnya, aku ingin mendonorkan mataku nanti untuk kakak. Tapi, dokter melarangnya. Karena nggak diperbolehkan, aku minta kepada ayah agar merawat kak Nila untukku. Dan mencarikan donor untuk kakak.” Aku tak dapat membendung tangis saat mendengarnya. Gadis cilik itu masih memikirkan diriku di saat dia melawan rasa sakitnya.

“Kakak harus bisa maafin takdir, ya. Jangan menyalahkannya terus. Jika bukan karena takdir, kita tak akan bertemu.” Ujarnya, “Aku ada sebuah lagu. Semoga kakak suka.”

Musik pun mengalun. Gesekan biola yang terdengar sangatlah syahdu. Semua nada yang dimainkan membentuk harmoni yang begitu indah. Sampai menutup mata, itulah judul lagu yang kini terdengar. Aku tahu lagu ini. Lagu milik Acha Septriasa ini sangat Syifa sukai.

Tak berapa lama, bunyi klik terdengar. Rekaman dari Syifa pun selesai. Begitu juga dengan lagu indah yang teralun tadi. Aku tak kuasa menahan air mata. Syifa, terima kasih telah menjadi pengobat dan penerang bagiku. Terima kasih untuk segalanya. Untuk semua arti kehidupan yang kudapat darimu. Aku akan mencoba memaafkan takdir, untukmu.


Pemuda yang masih awam dalam dunia literasi ini bernama lengkap R. Damanhuri. Lahir di Pekalongan, 20 Juni 2001. Saat ini tengah menempuh pendidikan di MTs S Simbangkulon 01, Pekalongan. Ia beralamatkan di Desa Ambokembang Gg. 6, Kedungwuni, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Akun facebook : Erdamanz, Email : damans.remix2061@gmail.com.

Jejak Publisher

One thought on “Maafkanlah Takdir, Untukku

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.