Angin Bulan Februari – Sepilihan Puisi Inas Pramoda

Angin Bulan Februari – Sepilihan Puisi Inas Pramoda

SENANDUNG MALAM

 

Malam membungkus malu dalam dekapnya

jadi kala malam tiba

ada bunyi-bunyi dari rumput yang menunggu embun

juga suara tangis anak kecil

dan lirih ibu yang menenangkannya

kala malam datang

disembunyikannya kata-kata menjadi rahasia

bayangan mengumpat di balik lampu

mengintip, adakah langkah kaki yang mencarinya

 

Malam adalah tamu yang tersipu-sipu

dibawanya rindu yang tersesat

kemudian dilepasnya

agar menemukan jalan pulang

sampai pagi datang

kala tiba waktunya hilang

malam pergi tanpa pamit

namun mereka yang kesunyian

akan melihat kala ia kabur lewat jendela

 

Fes, 7 Januari 2017


 

JAKARTA MASIH IBU KOTA

 

Andai Jakarta bukan ibu kota

pasti banyak kursi yang kosong

halte-halte sepi

Gambir tak lagi menarik

Patung Selamat Datang mungkin melambai

sampai jumpa

lebaran dan hari-hari biasa

tak banyak berubah

 

Andai Jakarta bukan ibu kota

pasti gedung-gedung tak seramai kini

asap tak gelisah

lalu-lalang tak lagi membingungkan

Patung Pancoran mungkin bisa terjun bebas

di atas aspal yang lowong

banjir mungkin tinggal genang

hujan disyukuri

 

Andai Jakarta bukan ibu kota

pasti kampanye tak seriuh sekarang

poster-poster tak banyak beredar

dan laporan ditangguhkan

Patung Tujuh Jenderal tetap tegap

tanpa diungkit dosa di baliknya

mimbar-mimbar hanya menyeru sopan

bebas dari isu-isu pesanan

 

Karena Jakarta masih ibu kota

banyak yang berebut kursi

berdesakan di halte

kereta di Gambir terlambat datang

lebaran dirindukan

gedung-gedung menyalip Monas

asap membumbung jadi awan

lalu-lalang memuakkan

genangan sampai banjir

hujan dikutuk

kampanye hitam putih

poster buronan dan wakil rakyat berjejer

banyak yang melapor

mimbar dihentak keras-keras

pengalihan isu jadi bincang

Patung Selamat Datang lelah menyambut

Patung Pancoran tak mau turun

Patung Tujuh Jenderal menangis

dan garuda di belakangnya

patah sayap tak bisa terbang

 

Fes, 12 Januari 2016



TEMBOK RATAPAN

 

berlembar-lembar uang tak tentu mulia

kadang nilainya timpang dengan berat

yang mahal adalah tinta

dan angka-angka yang ditulisnya

logam yang lebih mahal dijual murah

kertas yang rapuh ditukar tinggi

yang untuk menulis

dan yang dipakai di pasar

ditebang dari pohon

dicabut dari akar-akar kehidupan

berkorban sama dalam merenggut sukma

namun ditempa berbeda

dipotong berbeda

dicetak berbeda

membangun dinding pembatas

tanpa lubang untuk angin berhembus

sekat yang bolak-balik dipanjat

juga jatuh bertingkat-tingkat

ada yang mati bunuh diri

sengaja melompat terjun dari gigirnya

ada yang dijegal kakinya

dipatahkan lentik jemari tangannya

dipaksa berpisah dengan cincin kawin

dan terkapar berdarah-darah

yang lain tertawa

sementara mereka yang sibuk menulis

berharap tembok itu roboh

dengan kata-kata

ada yang sibuk membangun

ada yang sibuk meruntuhkan

ada yang mengingat harkat

ada yang melupa martabat

orang-orang meratap di balik tembok

menyebut nama-nama

 

Fes, 27 Januari 2017



ANGIN BULAN FEBRUARI

 

Aku tersenyum pada angin di bulan Februari

Angin yang membawa kabar untuk ilalang

Yang mengelus mesra benalu dan inangnya

Semilir mengantarkan kecup gerimis pagi

Yang disampaikan kepada halaman sekolah

Di hari-hari libur tanpa curiga

Angin di bulan Februari

Tak pernah lupa untuk mampir di ruang tamu

Menjamu tuan rumah dengan obrolan bisu

Dengan nada-nada yang dihasilkan gesekan pintu

Juga celah-celah jendela yang merayu

Menitipkan kerinduan di antara kotak sepatu

Aku menjemput angin bulan Februari

Dengan tangan yang terbuka

Membawa butir-butir padi

Untuk diterbangkannya kepada merpati

 

Fes, 2 Februari 2017


 

AIR MERANTAU

 

Awan menurunkan hujan

Untuk mengantarkan salju kembali kepada air

Meniupnya kembali mengalir

Kembali jadi cermin

Semua air sepakat pada murni

Bahwa tenang adalah upah

Dari ketiadaan faedah

Maka mereka beriak

Mereka bergejolak

Ombak-ombak menyeru ribut di karang pantai

Sungai-sungai menderas keras di tepian

Sementara air-air yang dalam

Menggulung dalam diam

Senada riak-riak yang mereka sembunyikan

Hingga pada suatu hari nanti

Badai jadi wasiatnya

Semua bergerak pada waktunya

Menanggung tiap kadar

kemana saja bermuara

 

Fes, 2 Februari 2017


 

BARA-BARA DENDAM

 

Tidakkah kaudengar

angin-angin menjerit

menyeru kedinginan

menggigil kebisuan

Tidakkah kaulihat

genangan air memohon

berharap ada bayang

merindu riak yang hilang

Orang buta bermimpi cuma suara

Orang bisu bernyanyi cuma diam

Orang tuli menyimak cuma sepi

Bukankah kaudengar suara-suara mengiba

Bergema di cerobong asap yang pensiun dini

Memanggil-manggil namamu

Dan hujan yang terlampau teduh

Cukup untuk memadamkan percik api di kayu bakar

Bara-bara dendam harus mati

Harus segera melarikan diri

Agar tak ada lagi yang bersembunyi

 

Fes, 2 Februari 2017



PESAN IBU

 

Sering aku pamit

Ibu selalu berpesan,

“Sedia payung sebelum hujan, Nak.”

Tapi siapa yang mengira akan turun hujan?

Jadi aku pergi

Tanpa baju ganti

Dan saat hujan turun

Aku menyesal

Bukan karena tak bawa payung

Tapi karena tak peduli kata ibuku

Dan untuk berputar balik

Sudah terlampau jauh aku melangkah

Saat tiba waktunya pulang

Ibu datang menjemput

Membawa payung dan makan malam

 

Fes, 2 Februari 2017



GUGUR DAUN SEMANGGI

 

kau gugur daun semanggi

kau pucuk cemara pagi

bersamamu tenang

berduka dalam sepi

bersamamu hilang

dendam di dini

 

ku embun hanya sejenak

ku gerimis di benak

bersamaku cepat

melewati jembatan

bersamaku singkat

lalu sirna di awan

 

abadilah dalam sukmaku

menghilanglah bersama lagu

 

Fes, 3 Februari 2017



ILHAM KATA-KATA

 

Gubahan puisi adalah ilham

Yang dititipkan Tuhan kepada hambaNya

Untuk disuarakan di tengah sumur

Bahkan untuk air yang tak sempat ditimba

Ia hadir selayaknya mimpi

Tak sempat kita suratkan maka lupa

Ia harus segera dialamatkan

Ditiup ruhnya

Diantarkan menuju keabadian

Sebelum mati

Dan tak sempat dikuburkan

 

Fes, 4 Ferbruari 2017


Dilahirkan dengan nama Agus G. Ahmad. Agus karena lahir pada Agustus 1996. Menikmati masa kecil di Jakarta lalu merantau ke Malang dari SMP sampai lulus SMA. Sempat aktif di teater Sajadah Senja dan jatuh cinta dengan sastra. Kini diasingkan ke Maroko untuk mengambil Sarjana Studi Islam. Menggunakan nama pena: Inas Pramoda. Masih terus berproses dalam berkarya. Kumpulan puisinya bisa dibaca pada antologi puisi Purnama Merah (2017).

Email: inaspramoda@gmail.com

Facebook: Agus Ghulam Ahmad

 

JejakPublisher

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.