Emas Yang Terkubur
Cerpen Iis Tentia Agustin*
Dalam remang itu sekumpulan manusia masih bergelayut dalam pergumulan. Satu hal besar akan prof Aryo ungkap di balik hutan yang dikeramatkan oleh warga. Dia masih berusaha melobi agar mendapat izin dari Abah Ugi, sang pemimpin dari desa adat Ciptagelar. Prof Aryo memang sangat berambisi untuk dapat menapaki hutan tutupan. Ada sebuah rahasia yang ingin sekali dia singkap. Tanpa sadar dia tengah mengatakan sesuatu begitu keras, yang mendapat respon kurang baik bagi para penduduk.
Sisa-sisa siang tadi betul-betul membuat prof Aryo lelah, tetapi selama dia berkeliling keramahan dan kebaikan warga merasuki jiwa raganya. Hingga dingin suasana yang dia rasa, pupus hilang oleh kebersamaan warga. Kendati pun begitu, fisiknya yang tidak terbiasa di tempat sunyi, sudah mulai meneriakan kata-kata bersama gemerutuk tiap sendinya yang kini mengutuk.
Kelelawar berkelebatan dengan sedikit suara, terusik oleh teriakan manusia. Sedangkan para manusia itu tak mendengar bisikan mereka. Hanya mahkluk unik dengan pendengaran luar biasa yang mampu mendengar bisik-bisik gelombang ultra sonik. Terlihat pula menitik, lampu temaram di tengah hutan yang teraliri listrik. Napas dari lampu itu berasal dari sumber daya air “mikro hidro”, milik orang pedalaman yang kini sedikit terusik.
“Ya, kami hanya sekumpulan penduduk pelosok, silahkan kalau Saudara memanggil kami kolot, terbelakang, kampungan.” Wajah berjanggut Abah Ugi memerah, tapi raut wajah berwibawanya tak terlihat marah. Meskipun di rambutnya yang sebagian tertutup iket, belum satu pun helai-helainya terlihat memutih. Dia tak ingin mengusik ketentraman hatinya yang begitu tenang dan anggun seperti tanah tempatnya berpijak sehari-hari. Hanya saja, ini permasalahan yang mengusik jati diri leluhurnya. Kepercayaan mereka yang disinggung sarat takhayul, magis, syirik, musyrik.
“Jangan sekali-kali Saudara menghina leluhur kami. Kami mungkin cinta damai tapi tak mentolerir penghina adat-istiadat!” Baris kolot menimpali dengan gemeretak gigi tua yang masih utuh sempurna.
“Mata pencaharian utama kami adalah bertani. Tani kami sama saja, namum menjadi sedikit berbeda, karena kami tidak sembarangan menggarap tanah. Hanya di leuweng bukaanlah tempat biasa kami beraktivitas..” Abah hendak mengingatkan prof Aryo mengenai Kasepuhan yang mengenal tiga jenis kawasan, leuweng tutupan, leuweung titipan, dan leuweng bukaan. Leuweung tutupan merupakan hutan yang tidak boleh diganggu, dibuka, termasuk dijadikan tempat tinggal. Leuweung titipan adalah hutan keramat yang harus dijaga oleh setiap orang dan tidak boleh digunakan tanpa seijin Sesepuh Girang, meski mereka dapat menggunakan hasil hutannya bila ada wangsit dari leluhur. Hanya di leuweung bukaan-lah tempat mereka menggarap pertanian itu.
“Apakah tidak terlalu sempit? Kita mesti memperluas area” Prof Aryo masih kebingungan.
“Itu tidak membuat Kami kelaparan, bahkan meski panen padi Kami hanya setahun sekali.” Ya, Abah bangga dengan panennya yang selalu melimpah. Penduduk hidup gemah ripah. Puji syukur Tuhan memberikan mereka kekayaan. Sejak dulu tak ada tangis kelaparan. Terhitung sudah 647 tahun mereka menggelar seren taun dengan lancar. Di acara puncak syukur seren taun, digelar 8 panggung berisi pentas hiburan kesenian berbeda. Semua tamu akan dijamu secara swalayan di dalam Imah Gede, rumah kebanggan tempat menjamu para tamu. Haram hukumnya ditempat itu apabila membiarkan orang kelaparan. Para tamu akan mencicipi hidangannya yang telah dipersiapkan oleh 19 baris bikang, barisan para ibu yang bekerja bergiliran siang dan malam.
“Hasil panen dan penghasilan utama Kasepuhan hanya padi? Apakah tidak pernah mencoba hal lainnya, tempat ini begitu potensial..” Prof Aryo bertanya, dia mengeluarkan tablet PC sebagai pena dan catatannya.
“Padi bukanlah sekedar komoditas pangan belaka, tetapi simbol dari kehidupan. Padi bagi kami Saudaraku, adalah dewi pasangan hidup manusia, titisan Nyi Pohaci Sanghyang Asri.” Abah menjelaskan bahwa sudah menjadi kewajiban untuk terus merawat padi. Sejak ia ditabur di sawah hingga waktu panennya kelak. Siklus dan budidaya sistem pertanian mereka diatur lewat aturan adat.
“Oh itu sebabnya segala macam ritual dilakukan?” Prof Aryo mengerinyatkan keningnya yang luas bak lapangan bola.
Sejenak hening. Suara lantunan jangkrik menyanyi lagu rindu dari semak belukar. Indah menggelegar karena keheningan membantu suara jangkrik membaur lebih kuat. Abah menyulut asap dari daun kawung berisi linting tembakau kering yang beradu dengan cengkih dan rempah, “Semua masyarakat kasepuhan melaksanakannya serempak dengan taat, dari proses penanaman hingga panen. Itulah kunci kesuksesan hasil panennya yang jarang gagal atau terserang hama.”
“Maka aturan adat sekali lagi adalah jantung hidup kami. Saudara harus perhatikan hal itu, sekali lagi dengan hormat..” Kembali baris kolot tua yang tulang punggunya masih tegap kuat menambahkan.
“Zaman sudah berubah? Bagaimana nasib anak cucu Kasepuhan kelak dengan era globalisasi ini?” Prof Aryo masih ingin menggali data, sembari mencoba meyakinkan bahwa apa yang dia lakukan adalah demi kebaikan warga.
“Jika Saudara pikir kami tidak memikirkan masa depan, itu salah besar. Hanya saja tabungan kami bukan uang, bukan pernak-pernik logam ataupun batu akik.”
“Bagaimana bisa, tanpa ada sistem perbankan roda ekonomi tak kan bisa bertahan..”
“Saudaraku, bank kami adalah leuit, lumbung kami.” Abah Ugi menunjuk ke arah lumbung mereka yang deretannya dipantulkan cahaya remang.
Prof Aryo teringat tadi siang, dia sudah melihat jelas lumbung itu, bentuknya menyerupai rumah dengan ukuran bervariasi. Satu leuit kurang lebih menampung 500 – 1.000 ikat pare gede, padi khusus kebanggan yang hanya mereka tanam. Dia mengamati, satu ikatnya bisa mencapai 5 kg. Otak cerdasnya mulai menghitung berepa ton cadangan mereka. Aduhai banyak sekali, pikirnya.
“Saudara harus ingat, uang dan harta itu tak bisa dimakan..” Seorang Baris Kolot mulai berkata kembali.
“Jadi padi adalah uang dan harta bagi warga Kasepuhan?” Prof Aryo masih menggali data, sambil mengangkat cangkir kopi hangat, menempelkan ke bibirnya. Lalu meneguk tiga tegukan kopi nikmat itu perlahan-lahan.
“Ya, maka padi itu kami simpan dengan hati-hati, bahkan dengan upacara simbolik ngadiukeun di Leuit Si Jimat, lumbung utama tabungan simpan pinjam rakyat milik kami.” Abah menghembuskan asap, kehangatan menyibak kabut yang berputar-putar di kening prof Aryo.
“Ya kalau kita berpikir panjang. Emas, logam, uang, apalah itu, memang tak bisa dimakan… Tanpa itu semua manusia masih bisa hidup lestari.” Dalam gumamnya Prof Aryo sedikit demi sedikit mulai paham. Lesung pipit di pipi prof Aryo muncul kepermukaan. Prof Aryo tesenyum sipu. Disambut sedikit senyuman lega Abah dan para Baris Kolot.
Sentuhan tradisi dengan nuansa sakral yang sebelumnya prof Aryo anggap kuno itu, justru membuat leuit di lingkungan warga kesatuan adat bisa lestari. Dasar pemahaman mereka adalah “Ibu bumi, bapa langit dan tanah ratu”. Itu berarti bumi menyediakan segala kebutuhan untuk manusia. Langit yang memberi naungan dan hujan. Tanah turun-temurun leluhur yang merupakan pemberian Allah SWT. Mereka sejatinya selalu mengingat bahwa Tuhan telah memberikan sumberdaya, dan perlu melestarikannya agar tercapai keberlanjutan.
Memang sudah menjadi hukum adat di Cipta Gelar. Ketika seorang akan menikah, ia akan dinilai dari “kepandaian” dalam memperhatikan leuit-nya. Begitupun ketika bayi lahir, sebagai “hadiah” bayi itu akan dibangunkan leuit. Mereka menyadari keberadaan leuit sangat vital bagi ketahanan pangan mereka. Dan yang terpenting inilah yang membuat seisi Cipta Gelar hidup mandiri. Mereka sadar bisa tetap hidup tanpa harta benda, tapi tidak dengan pangan.
Berkat kepemimpinan Abah Ugi yang bijaksana, dibantu para sesepuh girang dan baris kolot-nya mereka semua tetap bahu-membahu. Saling bergotong-royong, saling hormat pengertian, saling sapa dan tanya. Diantara semua penduduk sekampung, pastilah mengenal satu sama lain. Kehidupan mereka rukun, makmur dan tentram. Berbeda dengan kehidupan hiruk pikuk di kota kini yang miskin nilai sosial, meski kehidupannya tampak lebih megah, mewah dan nyaman.
“Oh ada sedikit hal yang ingin saya ketahui, jika warga Kasepuhan tidak memiliki uang bagaimana pembangunan bisa berjalan?”
“Kami bukan tidak memiliki uang, warga kami pun mengenal dan menyimpan uang. Melakukan transaksi dengan uang, dan uang tetap berlaku di sini. Kami hanya menempatkan uang di tempat yang semestinya.”
“Maksud Abah?”
“Saudara tentu melewati jalan sepanjang 9 km ketika menuju kemari bukan? Jalur yang membelah hutan itu dibangun hanya dalam waktu tiga hari. Tiap warga mendapat jatah pembangunan 1 meter jalan dengan satu cangkul. Nyaris tanpa mengelurkan sepeser pun uang yang biasanya memakan ratusan juta bahkan mungkin milyar rupiah.” Penjelasan Abah tentang uang kali ini begitu menohok. Dia kembali menjelaskan uang bukanlah segalanya.
Prof Aryo semakin sadar, ternyata permasalah dari kemiskinan bukanlah uang, tapi akses akan sarana hidup. Dia tersadar kehidupan mereka yang bersahaja. Sejak kecil sederhana. Tak ada gadget, tak ada mall, tak ada video game. Tapi raut wajah mereka, sungguh terlihat rona bahagia, para tua penuh keriput di pinggiran bibirnya. Menyisakan jejak masa lalu mereka yang sering tersenyum gembira. Bahkan sepertinya merasa lebih bahagia dibandingkan manusia yang disebut gaul, orang maju, orang kota, modern termasuk dirinya. Di sini bahkan Prof Aryo, begitu terbelalak menikmati keindahan alamnya. Alam sebagai taman firdaus tersisa di pulau Jawa. Sejauh mata memandang, prof Aryo disuguhkan kebahagiaan, berjuta pengalaman yang jauh lebih berharga daripada gemerlap kehidupan. Atau jajaran logam mulia di jari, pergelangan dan leher istrinya.
“Bagaimana dengan akses kesehatan warga Kasepuhan? Kemana mereka berobat apabila sakit?”
“Kami akui, cara perwatan kesehatan kami masih sangat tradisional. Bahkan diantara warga kami memiliki pantangan untuk berobat ke dokter..”
“Warga kekurangan akses kesehatan?”
“Kalau Saudara beranggapan kami kekurangan akses kesehatan, Anda salah besar. Sekalipun mayoritas kami adalah perokok, namun usia rata-rata harapan hidupnya sangat tinggi. Saudara silahkan lihat warga kasepuhan kami. Meski diantara kami usianya sudah mencapai seratusan tahun lebih, namun mereka masih aktif bekerja, mengolah sawah, ladang dan mencari kayu bakar di hutan, memiliki daya ingat yang terawat baik.” Abah Ugi kembali membuat prof Aryo mengangguk. Tertegun pula menyaksikan Baris Kolot di depan matanya yang menjadi bukti perkataan Abah.
Tak menyangka, sungguh Prof Aryo terbelalak memandangi seisi kampung adat Ciptagelar. Gelar yang tertulis panjang mengapit namanya, tak mampu menandingi keindahan gelar dan kebijksanaan turun-temurun dari leluhur mereka. Warga Cipta Gelar memang sangat berbeda dengan orang kota. Selain gaya hidup sederhana, tak banyak kemauan dan piawai mengelola keinginan dan harapan. Tentulah tingkat stres mereka menjadi rendah. Lebih dari itu perihal konsumsi, mereka juga mereka cenderung menghindari makanan yang digoreng. Kalaupun harus digoreng maka mereka menggunakan minyak kelapa buatan tangan-tangan sendiri. Bukan minyak sawit yang konon dibuat setelah membakar hutan itu.
“Sungguh nikmat suguhan ini, saya merasa berterima kasih sekali dengan jamuan Kasepuhan..” Prof Aryo menyeruput kembali kopi yang uapnya mengepul, harumnya tercium semerbak. Tangan kanannya menyambar jagung rebus hangat yang sangat nikmat. Pas sekali dengan dinginnya hawa pegunungan.
Prof Aryo menikmati masakan kasepuhan yang sederhana tetapi nikmat luar biasa. Warga kasepuhan hanya mengenal istilah bubuhi-kulub-sepang-bakar sebagai teknik memasak. Di-bubuhi adalah dengan cara dimasukan ke dalam abu tungku perapian, di-kulub itu direbus, di-sepang itu dikukus, dan terakhir dibakar.
“Saudara bisa nikmati pisang bakar, jagung rebus bersama kopi nikmat yang kami suguhkan ini, langsung kami sajikan alami dari alam, tanpa kimia sintetis.”
Prof Aryo semakin menggangguk, sudah ratusan anggukan telah dia gores hari ini. Sebagai seorang guru besar biasanya dirinya yang menciptakan banyak anggukan mahasiswanya, tetapi di sini ilmunya seolah tak seberapa. Sekali lagi gelar yang tertulis panjang mengapit namanya, tak mampu menandingi keindahan gelar dan kebijksanaan turun-temurun dari leluhur mereka.
Prof Aryo, yang sejak tadi dihipnotis oleh kenikmatan di depan matanya, tertunduk malu. Isi pengetahuan dan wawasan di kepalanya ternyata jauh lebih kecil dibanding orang-orang di hadapannya yang notabene tidak mengenyam pendidikan tinggi. Dalam soal hidup mereka lebih cerdas dari siapa pun, bahkan dari dirinya yang memiliki banyak gelar dan lulusan luar negeri. Tak disangka kebijaksanaan itu dia temui di tempat yang sebelumnya dia anggap terbelakang dan kolot. Pedalaman yang masih berada satu pulau dengan tempat kelahirannya.
Jagung rebus nikmat yang dia cicipi sejenak dia pandangi. Sambil merenung, Ia kini teringat sepenggal puisi WS Rendra, yang dibacanya minggu lalu:
Seonggok jagung ia di kamar
Tidak menyangkut pada akal
Tidak akan menolongnya
Seonggok jagung dikamar
Tak akan menolong seorang pemuda
Yang pandangan hidupnya berasal dari buku
Dan tidak dari kehidupan
Yang tidak terlatih dalam metode
Dan hanya penuh hafalan kesimpulan
Yang hanya terlatih sebagai pemakai
Tetapi kurang latihan bebas berkarya
Pendidikan telah memisahkanya dari kehidupanya
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalanya?
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya mendorong seseorang
Menjadi layang-layang di ibukota
Kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
Belajar filsafat, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja.
Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“disini aku merasa asing dan sepi”[1]
Entah mengapa, kini Prof Aryo serasa tengah ditampar bolak-balik. Kumis tipis yang berada di bawah hidung mancung itu, bergoyang karena getaran bibirnya menahan malu. Larik-larik sendu dia teguk bersama beberapa kopi hangat racikan tangan dewa orang-orang Kasepuhan. Harum kopi tercium, mengalun indah sampai membuat bergidik bulu romanya. Dia menelan ludah. Selama ini ternyata cita-citanya untuk memajukan daerah melalui potensi hasil penelitiannya justru salah besar. Dia baru tersadar apa yang dilakukannya. Dengan embel-embel kemajuan, ternyata adalah suatu kemunduran bagi peradaban manusia. Dia tersungkur, masih terpekur akan perdebatannya yang membuatnya semakin bijaksana. Benarlah pepatah, diatas langit masih ada langit.
Esok pagi Prof Aryo akan segera pamit dari tempat ini. Cukup sudah seluruh ekspedisi yang dipimpinnya terkait pencarian logam mulia yang tersimpan di punggungan gunung Halimun. Akan dia hentikan sekarang juga. Kini ia ikut yakin, seseorang yang ingin sukses hidupnya atau bahagia, harus dapat mencapai satu kesatuan hidup- rasa manunggal. Yakni menyatukan alam makro kosmos dengan mikro kosmos. Menyatu dengan alam semesta yang merupakan sistem teratur dan seimbang.
Keteraturan dan keseimbangan alam semesta merupakan sesuatu yang mutlak. Oleh karena itulah tugas utama manusia memelihara dan menjaga keseimbangan hubungan berbagai unsur yang ada di alam semesta ini. Tugas yang amat berat. Karena musuh utamanya adalah hawa nafsu dirinya itu sendiri. Nafsu yang menggebu, kerakusan yang di pimpin atas nama logika dan kemajuan. Padahal kemunduran bagi seisi bumi dan warisan penderitaan atas nama anak cucu kemanusiaan.
Abah Ugi, pemimpin adat yang dituakan meskipun umurnya terbilang muda itu pun tersenyum lega. Tetapi di hatinya masih terdapat berbagai masalah, terlebih gonjang-ganjing kawasan gunung Halimun saat ini yang mungkin berada di titik kulminasi. Banyaknya kepentingan di kawasan ini tampaknya perlu dicari jalan keluar terbaik. Terlalu banyak kepentingan beserta ragam potensi terkandung dalam kawasan, semuanya bercampur aduk. Abah Ugi berharap, berdoa dalam benaknya, semoga keseimbangan itu tetap terjaga. Rahasia terpendam yang mesti diwariskan pada anak cucu kelak itu bukanlah harta karun emas, tetapi jauh berharga dari pada itu.
“Mampukah kita menggalinya?” Abah Ugi terdiam sejenak. Menunggu wangsit dari leluhur. Dia adalah titisan yang mampu berhubungan secara alam transendental. Ia menjalankan segala sesuatunya berasal dari restu semesta. Di balik telapak tangannya, di bawah kakinya. Terletak warisan besar, rahasia yang belum terungkap. Akankah manusia mau mengungkapnya? Sekali lagi dia hanya bisa berharap.
[1] Penggalan Puisi Berjudul “Seonggok Jagung” karya WS Rendra.
*Iis Tentia Agustin, perempuan manis dari suku Sunda ini penyuka warna pink. Hobi mendengar lagu, travelling, menari dan membaca. Baru saja menikmati hidupnya sebagai seorang istri. Bercita-cita menjadi istri yang shaleha. FB: Iis Tentia Agustin.
Credit Ilustrasi: http://nusantara-kita.com/wp-content/uploads/2016/02/CIPTAGELAR-%E2%80%9CMencari-Damai-di-Balik-Halimun%E2%80%9D-1024×499.jpg